— Welcome To The Author's Alley —
Selamat datang di blog kepenulisan. Silakan menimba ilmu di sini dan jangan copy-paste.
"Keep writing and play your imagination" — Yudha Pasca
► Join Us On : LightNovel.ID
Minggu, 15 Oktober 2017
The Codex of Lucifer: Chapter 10 - Dark Memories
'Dark Memories'
Gemulai kedua kaki gadis itu telah menapak pada lantai
balkon apartemen. Sayap-sayap mereka basah, begitu pula dengan gaun hitam yang
mereka kenakan karena derasnya hujan yang tak kunjung reda hingga pukul dua
belas tengah malam.
Napas mereka masih berat karena stamina yang
dikeluarkan pada pertarungan tadi cukup banyak terkuras, lalu mereka menjatuhkan
tubuh bersandar pada dinding, memandang pada gelapnya langit dengan petir yang
masih terus menyambar.
Dalam mode astral ini, Chika dan Ratih dapat melihat tubuh
asli mereka berdua yang masih terduduk di dalam lingkaran sihir merah. Tubuh
itu tak bernyawa, hanya sebuah raga kosong yang nantinya akan terisi kembali
saat mereka akan menyelesaikan astral projek ini.
“Di mana Belial?” tanya Ratih, matanya menoleh ke
segala arah di gelapnya langit. Dia baru sadar saat kembalinya mereka dari
medan perang menuju apartemen, Belial sudah tak berada di belakangnya.
Chika juga baru sadar Belial hilang, pandangannya pun
tak berhasil menemukan malaikat jatuh itu. Padahal ada beberapa pertanyaan yang
ingin Chika ajukan padanya.
“Dia telah pergi, tak mungkin dia akan ke sini,” jawab
Rofocale, si kucing hitam, yang berhasil membuat Chika dan Ratih memasang
ekspresi terkejut.
“Eh, kenapa?”
“Belial bergerak sendiri, tanpa diriku.”
“Jadi kau memang sebelumnya sudah tahu bahwa selain
Sam masih ada iblis lainnya yang masih hidup?”
Rofocale menghela napas. “Ya. Belial, yang tak ikut
serta dalam perang besar di masa lalu.”
“Tapi sebelumnya, siapa Belial itu?” tanya Chika. “Dia
hebat juga bisa mengimbangi Gabriel.”
“Bisa kalian katakan Belial adalah dalang dari semua
kekacauan di surga.”
“Dalang?”
“Ya, dia yang telah membujuk Lucifer untuk tak mau
bersujud pada Adam, manusia pertama yang Tuhan ciptakan. Tapi memang, malaikat
gagah seperti Lucifer tak pantas bersujud pada makhluk yang terbuat dari tanah
menjijikan itu.”
“Jadi, Belial ….”
“Belial berkata benar,” potong Rofocale. “Lucifer
adalah malaikat yang berkata sebenarnya, bahwa malaikat tak perlu tunduk pada
manusia yang lemah dan berlumur dosa, yang nantinya hanya menimbulkan peperangan
di bumi. Pada awalnya mereka, para malaikat sebelum berpredikat ‘malaikat
jatuh’ pun bertanya pada Tuhan untuk apa membuat manusia yang nanti hanya akan
membuat onar di dunia yang Dia ciptakan sendiri. Tapi sudah terlanjur juga.
Karena-Nya, aku dapat bertemu kalian berdua, huh.”
Chika terdiam, dalam hati dia juga selalu bertanya
untuk apa adanya eksistensi manusia jika Tuhan itu sudah sempurna dengan
malaikat-malaikat-Nya. Apa Tuhan bosan lalu menciptakan manusia sebagai
‘mainan’-Nya?
Entah.
Sejak kedua orang tua Chika saling bertengkar,
Chika-lah yang menjadi bahan pelampiasan mereka. Karena hal ini sudut pandang
Chika berubah tentang manusia. Benar kata Lucifer, manusia itu jahat, tak
seharusnya ada di bumi. Bahkan bumi tanpa manusia pun akan lebih baik. Karena
manusia pula Chika merasakan sakit hati.
Mendengar jawaban Rofocale tadi Chika sudah setuju
sedari SMP bahwa manusia tak seharusnya diciptakan oleh Tuhan, menurutnya itu
kesalahan pertama yang Tuhan buat. Tapi jika Tuhan tak menciptakan manusia,
Chika tak dapat hidup, tak dapat juga bertemu Ratih.
Hati Chika kosong, seperti ada lubang yang dapat ia
rasa. Dalam gelap dia dipeluk iblisnya dari rasa sakit hati yang selalu datang
setiap hari, dan itu membuatnya nyaman.
“Hey, kok ngelamun aja?” Ratih menyadari temannya
tiba-tiba terdiam setelah mendengar jawaban dari Rofocale.
“Aku capek.” Chika menghela napas panjang. “Tidur,
yuk. Badanku udah kangen kasur, tahu.”
Ratih hanya menggaruk rambut hitam panjangnya,
dipikir-pikir ucapan Chika memang ada benarnya juga.
“Baiklah, aku akan pergi dari sini.” Sam yang masih
berwujud iblis kadal merenggangkan sayapnya, dan pergi melayang menuju gelapnya
langit, lalu dia hilang dalam rintik derasnya hujan.
Sam telah pergi, kini tinggal mereka berdua dan
Rofocale.
Chika memejamkan mata, lalu dalam sekejap astral
projeknya hilang. Jiwanya kini telah kembali ke raga asli yang kemudian
tersadar dari tapanya. Tubuhnya menjadi pegal akibat pertarungan besar melawan empat
malaikat surga, juga puluhan grimoire yang telah dia kumpulkan.
Dia beranjak dari duduknya, lalu merenggangkan badan
ke atas dan ke samping. Menggaruk rambut pendeknya, dia lalu menenggelamkan
diri ke hangatnya kasur berselimut putih. Nyaman, akhirnya dia dapat
beristirahat malam ini.
Ratih juga melepas astral projeknya, dan sekarang
jiwanya telah kembali ke dalam raga. Sesaat kemudian dia menarik napas panjang,
dan membuangnya.
“Rofocale, aku ingin bertanya.”
Kucing hitam yang masih berada di balkon itu segera
masuk ke dalam kamar. Dia terpanggil atas ucapan Ratih dan mendekatinya. “Apa?”
“Saat itu hanya Chika yang dapat melihat momen di mana
dia mati, tapi kenapa aku enggak?”
Rofocale terdiam dan memejamkan mata. “Memangnya kau
benar-benar ingin melihatnya?”
“Heh, Ratih penasaran?” Chika seketika bangun dari
tidurnya, dan spontan bertanya begitu pada mereka.
Ratih mengangguk pelan. “Iya. ‘Kan nggak adil kalau
cuma kamu doang.”
Kucing hitam itu menyetujui, dan berjalan mendekati
Ratih yang masih tengah terduduk. “Baiklah, sekarang pejamkan mata.”
Sedikit penasaran, namun Ratih mengikuti perintah
Rofocale.
Kembali ke masa lalu, seperti memakai mesin waktu.
Ratih kini berada di sebuah bar malam yang dikerumuni keramaian manusia. Mereka
berdansa mengikuti irama DJ yang memutar lagu elektro, diiringi oleh kerlip
lampu laser warna-warni yang menembak ke segala arah.
Ratih tak ingat momen ini, dia sama sekali lupa,
bahkan dia tak tahu bar ini ada di daerah mana. Ingin dia menggali memori ini
dan memutuskan untuk berjalan di tengah keramaian.
Saat ingin menyapa seseorang, seketika itu ia tersadar
dirinya tak bisa menyentuh, juga disentuh. Semua manusia di tempat ini tembus
oleh badannya, seperti sebuah hologram.
Sial, batinnya. Dia tidak bisa mendapat informasi di mana ini.
Dan lekas setelah itu Ratih berjalan kembali.
Sampai di sudut bar, di sana Ratih melihat sekumpulan
empat lelaki muda tengah berpesta minuman sambil tertawa riang. Mabuk
berkelanjutan membuat muka mereka terlihat bodoh. Mereka berpakaian serba hitam
seperti anak geng motor dengan banyaknya tindikan di beberapa bagian wajah,
juga tatto yang melukis kulit-kulit tubuh.
Tak hanya mereka berempat yang duduk di sofa merah
itu, juga di sana ada seorang gadis berambut panjang yang menemani malam
keempat lelaki muda tersebut.
“Itu … aku?”
Ya, itu Ratih.
Melihat sosok wanita yang menemani empat lelaki tersebut membuat Ratih bingung.
Dia sama sekali lupa dan tak mengingat wajah mereka, juga bahkan momen ini.
Empat pria dan gadis—yang diketahui adalah Ratih
dulu—itu pun beranjak dari sofa, dan pergi meninggalkan tempat dengan kondisi
mabuk berat. Terhuyung-huyung mereka berjalan menuju pintu keluar, sampai
terkadang menabrakkan diri ke tembok untuk bersandar.
Setelah keluar melewati pintu belakang, tibalah mereka
di sebuah gang yang jalannya cukup muat dilewati satu mobil. Agak sempit,
memang, dan juga cukup gelap karena lampu penerang jalan berada sekitar lima
belas meter dari tempat mereka berdiri.
Di tempat ini, seorang pria berambut pendek dengan
tindikan di hidung mencoba memeluk Ratih dari belakang. Dia mendekap pinggang
Ratih erat dan membuat senyum picik di wajahnya.
Dalam kondisi mabuk ini Ratih masih tertawa bercampur
bingung apa yang sedang ingin temannya itu lakukan, tapi Ratih tak membuat
sebuah gertakan, dia malah seperti memberi lampu hijau padanya.
Pria berambut pendek itu mencoba mendekatkan bibirnya
ke pipi Ratih, mengusapnya manja dengan hidung. Bau alkohol pun tercium tajam,
pria itu kini tahu bahwa Ratih sudah mabuk berat.
Ratih mencoba mengelak dengan membuang pandangannya ke
arah lain, namun tangan pria itu merebut dagunya dan memaksa Ratih untuk
menatap wajahnya.
Seram, beringas, bercampur nafsu. Itu hal pertama yang
Ratih tangkap dalam matanya yang sayu. Sekarang dia sadar walau telat.
Ratih kini memberontak, tubuhnya meronta, namun sayang
dia yang mungil kalah oleh badan pria yang lebih besar darinya. Dia yang
terjepit tak bisa berbuat apa-apa, berteriak pun sudah, namun hanya desir angin
kosong yang menjawab.
Tak ada harapan.
Tiga rekan pria itu mulai menggerayangi tubuh Ratih.
Baju polos yang Ratih kenakan dilepas paksa oleh tangan-tangan kotor mereka,
sementara gadis malang ini terus memohon pada Tuhan, berharap sebuah
pertolongan datang dari siapa saja yang akan hadir dari ujung lorong gang itu.
Tidak. Tidak ada yang datang.
Ratih sudah ditelanjangi di sana, tanpa sehelai benang
menutupi tubuhnya dari dinginnya malam. Kini ia meratapi empat pria yang
memasang wajah bak seringai setan, dan dalam duduk dia memasang posisi
bertahan.
Satu pria memegang kedua tangan Ratih, mencengkramnya
erat hingga menimbulkan rasa sakit, dan dua lainnya mulai meraba-raba tiap inci
kulit putih mulus Ratih.
Gadis berdarah Bandung ini pun akhirnya diperkosa
bergilir di belakang bar, tanpa orang lain tahu, bahkan dinding bata merah
tempat dia bersandar pun tutup mata dan pura-pura bisu. Tak ada harapan gadis
itu menangis, bahkan Tuhan sekalipun seperti tak mendengar doanya.
Hingga selesai, Ratih yang sudah lemah tak berdaya pun
dicekoki pil putih. Tidak satu, tapi banyak. Ratih tak bisa menolak, dan
pil-pil itu pun langsung masuk ke dalam tenggorokannya, tertelan habis tanpa
air sebagai pembantu.
Ratih tak sadarkan diri, cahaya dalam matanya mulai
pudar, pandangannya pun telah kabur. Masih bertelanjang bulat dia digendong
menuju parkiran mobil, dan diletakkan di dalam bagasi. Setelahnya barulah keempat
pria itu masuk ke dalam mobil, dan mesin mobil mulai dihidupkan.
Di dalam bagasi yang sempit Ratih hampir tak bisa
bernapas, membuka mata juga terasa sulit. Kepalanya berat, dan semakin berat
ketika mobil yang ditumpangi mengalami guncangan. Hingga pada suatu saat
tubuhnya bereaksi kejang. Dada kiri terasa sakit kepanasan, perut pun seperti
ditusuk panah api. Dalam derita ia tak bisa berteriak. Lalu dia merasa mual
ingin muntah.
Hingga sampai di sebuah desa yang gelap, mesin mobil
pun dimatikan, para preman itu memarkirkannya di pinggir sawah.
“Turun. Gotong dia,” pinta si supir, dan ketiga
rekannya pun keluar dari mobil.
Bagasi dibuka, tubuh Ratih pun dikeluarkan. Entah gadis
yang sedang mereka gendong itu sudah mati atau belum, yang pasti mereka membawa
tubuh Ratih ke tengah sawah, dan membuangnya begitu saja tanpa memakaikannya
sebuah pakaian atau kain penutup tubuh.
Minimnya pencahayaan membuat aksi mereka berjalan mulus.
Setelah membuang Ratih, mereka bertiga pun kembali masuk ke dalam mobil, dan cepat-cepat
pergi dari tempat ini.
Keesokan harinya, seorang petani menemukan tubuh
seorang gadis muda sudah memucat kaku di tengah sawah. Diperkirakan masih
berstatus pelajar, namun bukan salah satu dari warga mereka. Kemungkinan mayat
dari daerah lain yang dibuang di sini.
Warga sekitar berebut tempat untuk melihat, walau dari
jalan pinggir sawah sudah ditutupi garis dilarang melintas. Antusias mereka
begitu besar, karena mungkin baru kali ini ada kasus pembuangat mayat di tempat
ini.
Jasad Ratih pun segera dibawa tim penyidik forensik
untuk diidentifikasi.
Melihat itu semua, Ratih yang sekarang merasa tak
percaya. Dia mati setelah diperkosa, lalu jasadnya dibuang begitu saja tanpa
dosa.
Sebegitu
kejamnya kah manusia? Sebinatang itukah manusia?
Tidak
… tidak!
Ratih menjambak rambut hitamnya, terjatuh, berlutut di
atas tanah melihat memori kelam saat hari kematiannya. Dia tak percaya kenapa
sebegitu hinanya dia mati, apa memang tak ada cara lebih baik lainnya?
Dia menangis, air mata itu terus mengalir di pipi
tirusnya. Di mana Tuhan kala itu? Apa Tuhan tidur? Apa Tuhan buta? Ke mana Dia
saat Ratih butuh pertolongan?
“Aaaaaaaaakh!”
Percuma dia menjerit, tak ada satupun warga di sana
yang akan mendengarnya.
Lalu memori itu runtuh, semua latar tempat dia
terduduk menjadi hitam, lalu kembali ke dalam apartemen Chika. Rofocale telah
mencabutnya, dan mengembalikan jiwa Ratih.
Ya, Ratih masih menangis, tak mau berhenti. Isak
tangisnya terdengar di malam yang masih diguyur hujan ini.
Chika yang tak tahu apa-apa mencoba menenangkan Ratih,
namun gadis berambut panjang itu malah menepis tangan Chika, seakan Ratih tak
ingin tangisnya ini diganggu siapapun.
“Kamu kenapa?”
Ratih bangkit dari duduknya, dan tanpa menjawab
pertanyaan Chika, dia lekas keluar dari kamar ini, dan menuju kamarnya sendiri.
Rofocale yang tahu semuanya hanya diam, bahkan saat
Chika bertanya pun Rofocale tak ingin menjawab. “Sudah kubilang, manusia itu
tak pantas ada. Sebuah kesalahan Tuhan menciptakan kalian.”
Setelah si kucing hitam berkata begitu Chika segera
beranjak dan ingin mengejar Ratih.
“Percuma!” teriak Rofocale. “Kau tak perlu
mengganggunya. Biarkan dia!”
Chika mengelak, “Tapi dia temanku!”
“Mau dia teman atau saudara, beri dia ruang untuk
merenung tentang masa lalunya. Yang sekarang dia butuhkan adalah jarak. Dia
mungkin tidak sekuat dirimu.”
Dan Chika terdiam, dia membatalkan niatnya untuk
mengejar Ratih.
Malam ini berakhir tanda tanya di kepala Chika, dia
tak mengerti apa-apa. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, Chika saat itu juga
seperti Ratih sekarang ini, namun tak begitu parah sampai tak ingin mendengar
ucapan temannya.
Gadis berambut pirang itu berjalan menuju balkon yang
belum ditutup pintunya, menatap pada langit gelap di sana yang terus
memancarkan kilat petir. “Jadi … cara bagaimana Ratih mati itu lebih parah
dariku, ya. Pantas saja dia diam.”
Pintu balkon segera ditutup, dan dia lekas kembali ke
kasurnya untuk tidur.
* * *
Pagi yang mendung, hujan telah berenti sedari subuh
tadi, dan kini hanya menyisakan udara dingin dan angin yang bertiup nakal
mengibas rambut-rambut para pejalan kaki. Sejuk bak daerah pegunungan, sangat
jarang udara Jakarta terasa menyegarkan hari ini.
Chika yang lengkap mengenakan seragam putih abu-abunya
sudah siap untuk berangkat sekolah. Baju dimasukkan, rok pendek sedengkulnya
pun dikalungi sabuk hitam, dan tak lupa juga dasi yang tergantung di lehernya.
Dia begitu cantik, tapi sayang banyak manusia yang buta warna, termasuk orang
tuanya.
Chika menunduk lesu di depan cermin, mengingat masa
lalunya yang mati bunuh diri karena dia tak tahan dengan tekanan orang tuanya.
Mengingat tingkah Ratih semalam, dia merasa sedikit bersalah, padahal dia tak
melakukan apa-apa.
“Entah. Derita Ratih mungkin lebih besar dari yang
kurasa,” pikirnya lagi.
Tas yang sudah diisi mata pelajaran untuk hari ini
terpanggul di bahu. Dia pun lekas keluar dari kamar ini setelah mengikat tali
sepatunya.
Begitu keluar dia menghapiri kamar nomor 142, tak jauh
dari tempatnya berada.
Pintu diketuk bersama dia memanggil Ratih untuk
berangkat sekolah bersama, namun yang didapat bukan Ratih yang membuka pintu,
malah ibunya yang masih menggunakan celemek dapur.
Wanita tua berambut panjang itu menjelaskan, “Kayaknya
Ratih hari ini nggak masuk sekolah.”
“Lho kenapa?” Chika memasang ekspresi bingung,
terpikir kejadian semalam yang mungkin menjatuhkan mentalnya.
“Nggak tahu, dari malam dia nggak mau buka pintu
kamar, padahal Tante udah masak makanan favoritnya tadi.” Ibunya pun
mengeluarkan sebuah amplop putih dari kantung celemek. “Ini surat izin nggak
masuk sekolah, tolong kasih ke gurunya, ya.”
Ternyata benar dugaan Chika, dia pun menghela napas
sebelum membalas, “Ya sudah, nanti Chika beri tahu bu guru.”
Setelah menerima surat, Chika mencium tangan wanita
tua itu. Terasa harum bumbu dapur, memang. Dan terbesit andai ini dilakukannya
setiap hari dengan ibu kandungnya, mungkin hidup ini terasa indah.
“Chika pamit, ya.”
“Iya, suratnya jangan lupa dikasih.”
Beranjak dari tempat, Chika segera berjalan menuju
lift yang juga sedang ditunggu oleh para penghuni apartemen ini. Mereka telah
berpakaian rapi dengan jas dan dasinya, dan siap berangkat ke kantornya
masing-masing.
Ya, Chika yang paling muda di antara mereka.
Setelah sampai di lobi apartemen, gadis berusia 16
tahun ini berjalan menuju pintu keluar bersama dengan lainnya.
Saat tiba di luar, hawa sejuk langsung menyapa,
menggelitik leher mungilnya yang terkalungi neck
bracelet hitam. Untung saja dia menyelimuti tubuhnya memakai jaket,
sehingga dingin yang terasa sedikit berkurang.
Pepohonan rindang yang tertanam di pinggir jalan
meneduhkannya, harum yang tercium sangat ia sukai, wangi sisa hujan bekas
semalam. Mungkin hanya mereka yang akan menemani perjalanan Chika hingga sampai
ke sekolah.
Sesejuk embun pagi, senyum itu merekah menjalani hari,
walau dia tahu semua akan berjalan sama saja. Hari tanpa Ratih mungkin akan membuatnya
sepi saat di sekolah, karena hanya Ratih-lah teman satu-satunya yang Chika
miliki.
Punggung Chika sebenarnya terasa pegal. Tidur jam satu
lalu bangun subuh, dalam hati dia masih ingin sekali tidur di kasurnya. Ini
semua gara-gara tiga malaikat sialan yang tetiba muncul membantu Raguel. Anda
mereka tak datang, mungkin Raguel telah mati, dan kekuatan militer Metatron
berkurang.
* * *
Di sebuah ruangan besar berdinding putih, beberapa
malaikat telah duduk di kursinya masing-masing. Meja panjang itu telah ramai
dan rapat pun sebentar lagi akan dimulai.
Malaikat berjubah merah darah itu duduk memimpin,
sementara yang lain memandang dirinya penuh dengan hormat. Yakni Michael, Sang
Jenderal Perang, kedua matanya melirik ke para peserta yang telah hadir ke
tempat ini.
Rapat pun dimulai dengan Michael. “Menurut laporan
yang kuterima, iblis utuh masih
tersisa tiga di alam semesta ini. Rofocale, Samael, dan Belial. Dan iblis
jadi-jadian adalah Lilith dan Succubus. Hanya lima yang sekarang dapat
terdeteksi.”
Raguel menambahkan, “Dan semua berkumpul di Jakarta,
Indonesia. Kemungkinan besar bahwa markas mereka ada di daerah tersebut.”
“Raguel benar,” tanggap Sandalphon, si malaikat
berjubah hijau. “Aku sudah menyusun rencana untuk menguak di mana markas mereka
berada.”
Michael memiringkan kepala. “Rencana apa itu, wahai
Sandalphon?”
“Aku meminjam satu malaikatmu, yakni Raguel jikalau
berkenan. Aku akan mengirim Raguel ke bumi, menyamarnya menjadi manusia. Iblis
jadi-jadian yang Rofocale bangkitkan, menurut informasi yang kuterima, mereka
adalah wanita muda. Terlihat dari warna kulit yang putih juga rambut yang masih
berkilau. Dari ciri-ciri yang kami dapat, kemungkinan mereka adalah pelajar
atau wanita kantoran dengan umur berkisar 15 sampai 25 tahun.”
“Silakan jika kau ingin memakai Raguel dalam misi
ini,” jawab Michael. “Tapi ini terlihat bahaya, karena Belial bukan iblis
sembarangan, bahkan dia bisa mengimbangi Gabriel.”
“Hei, kau menganggapku lemah?!” potong Raguel sedikit
tak terima.
“Terima saja bahwa kau masih lemah, Raguel.”
Dan Raguel terdiam, menghela napas panjang tak
membalas. Kalau saja bukan Michael yang menjawab, mungkin ruangan ini sudah
menjadi lautan api.
Michael lanjut bertanya, “Jadi bagaimana kau akan
mencari para iblis itu, wahai Sandalphon? Karena kita tahu, mantera yang
Rofocale pakai melindungi mereka dari mata Tuhan.”
“Raguel mempunyai sampel rambut iblis jelmaan Lilith
yang sempat jatuh saat pertarungan semalam. Dengan ini, aku akan mengirim anak
buahku untuk melacaknya. Selanjutnya jika sudah ketemu, akan kumasukkan Raguel
ke dunia manusia, lalu membuat manusia setengah iblis itu memberitahu di mana
markas mereka. Terlihat mudah, tapi aku tahu nanti tak akan semudah yang telah
aku ucapkan.”
“Bagus jika begitu.”
“Tapi tidak hanya mereka yang menjadi incaranku, wahai
Michael.” Malaikat berjubah biru itu membuka mulut dari diamnya. Raut wajahnya
terlihat serius memandang sang ketua rapat.
“Apa itu, wahai Gabriel?”
“Kau tahu, Rofocale memegang buku yang saat ini
menjadi pedoman misinya. Yakni The Codex of Lucifer. Kodeks milik Lucifer yang
di sana tertulis lengkap rahasia-rahasia Tuhan yang seharusnya tak boleh bocor,
tapi setelah dia diusir dari surga, buku itu kini berada di tangan Rofocale.”
Setelah mendengar sanggahan Gabriel, Michael memegang
keningnya yang terdapat dua tatto titik hitam. “Kau benar juga, itu sempat aku
pikirkan juga, tapi …”
“Tapi apa?”
“Ini tak akan mudah. Kau tahu, kemungkinan besar
Rofocale akan membunuh dua bonekanya itu jika mereka buka mulut di mana letak
markas mereka. Maka dari itu, tolong gunakan cara halus agar Rofocale tak
mengetahui penyamaran Raguel.”
“Baik. Dimengerti, Komandan.”
“Setelah The Codex of Lucifer itu kita dapatkan, kita
harus segera menghancurkannya, karena tidak boleh ada satupun dari kita yang
boleh mengetahui rahasia Tuhan, atau kita akan bernasib sama dengan Lucifer.”
“Tapi bahkan, kita tak tahu bagaimana rupa buku itu,
benar bukan?” tanya Raguel. Ungkapan yang dia lontarkan memang benar, dan cukup
membuat hening ruang rapat ini untuk beberapa detik. Di surga ini hanya ada
satu malaikat yang mengetahui wujud buku tersebut, yakni Metatron.
“Haruskah kita tanyakan padanya?” sela Uriel bertanya.
“Tidak, bahkan Metatron pun tak ingin dia memberitahu
buku itu pada kita, karena siapapun, kecuali dia, tak boleh ada yang tahu
identitas buku terlarang itu,” jawab Michael. “Bagaimanapun juga, walau kita
tak tahu bagaimana rupa buku itu, buku itu harus dihancurkan setelah kita
berhasil mendapatkannya. Hanya itu yang Metatron sampaikan padaku.”
Dan para peserta rapat hening kembali.
Sabtu, 30 September 2017
The Codex of Lucifer: Chapter 09 - The Old Friends
Menari di udara, dengan pedang lavanya Sam
membabi-buta menyerang Raphael, membuat malaikat berjubah hijau itu tak punya
waktu banyak untuk melancarkan tornadonya. Sam mendominasi permainan, sampai
saat ini Raphael hanya mampu bertahan dan menghindar
Walau sudah berkali-kali mengayunkan pedang lava,
namun seluruh serangan Sam dapat terbaca oleh mata Raphael.
Melancarkan serangan cepat, setelah Sam mengayunkan
pedangnya, dia pun memutar tubuh, dan menggunakan ekor sebagai serangan kedua.
Ekornya itu berhasil menggores lengan kanan Raphael, namun amat disayang
Raphael yang mempunyai kekuatan penyembuhan dengan cepat menutup luka, dan
membunuh racun Sam dalam hitungan detik.
Gagal, dia kesal. Sam menggertakkan gigi, menyinggung
alis matanya. Serangan racun tak cukup ampuh untuk melawan malaikat yang satu
ini, sangat dispesialkan oleh Tuhan sebagai juru medis surga.
“Tak ada jurus lain, Samael?” ejek Raphael dengan
ujung bibir yang terangkat. “Kalau begitu terima ini!”
Raphael mengangkat tongkat emasnya tinggi-tinggi,
seketika bola mustika itu menyala hijau terang, dan lalu muncullah puluhan
pedang-pedang angin yang melayang di sekitarnya. Segera sesaat Raphael
mengayunkan tongkat, pedang-pedang angin tersebut melesat bebas menuju Sam.
“Ergh! Kurang ajar!” Sam mengacungkan jari telunjuknya,
lalu sedetik kemudian muncul sebuah dinding kaca berwarna ungu. Tabrakkan dua
elemen pun terjadi, pedang-pedang angin Raphael pecah saat mencium pelindung
Sam.
Serangan jarak jauh Raphael masih tak berdaya.
Sam mengeratkan genggaman pada pedang, lalu kembali
terbang menuju Raphael.
Tongkat emas itu kembali diacungkan ke langit, lalu
terciptalah angin ribut menyerupai kepala naga hijau berleher panjang. Dengan
satu perintah, naga angin yang meraung tersebut berputar menuju Sam. “Maju!”
Sam menghentikan kepakan sayapnya, dan mulai membuat
lingkaran sihir lagi dengan tangan kiri. “Terhisaplah!”
Diayunkan tangan kiri menuju angin ribut milik
Raphael, dan terhisaplah ia ke dalam lubang hitam yang Sam buat. Angin ribut
itu pun sirna, dan tiba-tiba Raphael telah menghilang dari pandangan Sam yang
seharusnya masih melayang di depan sana.
“F5!” Suara itu muncul dari belakang, secepat kilat
malaikat berambut gondrong itu sudah membuat tornado besar menjulang tinggi
menembus langit. “Rasakan ini!”
“Kurang ajar!” Sam tercengang melihatnya saat tornado
itu telah datang mendekat, dan dia tak punya cukup waktu untuk mengeluarkan
lubang hitam lagi, atau bahkan melarikan diri.
Sebelum tornado itu berhasil mencium Sam, terdengarlah
suara kepakan sayap datang mendekat. Dari aroma yang Raphael endus, dia seperti
pernah mengenalnya. Bau yang dulu pernah berada di surga, jauh sebelum Lucifer
meniup terompet perang.
Tornado Raphael tiba-tiba pecah oleh pilar api merah
yang tiba-tiba muncul di tepat di inti dalam tornado, terbangun dari dasar bumi
menjulang tinggi hingga menembus gelapnya langit. Sedetik kemudian pilar api
itu meledak, apinya melebar luas berputar membentuk lingkaran dan terus meluas,
membakar apa saja yang berada di dekatnya.
Melihat api itu hendak membakarnya, dengan sergap
Raphael membuat dinding perlindungan berupa bola dengan dia yang berada di
dalamnya. Begitu pula dengan Sam, dia membuat dinding perlindungan bola ungu
untuk menahan serangan api yang entah siapa pemiliknya.
“Hahaa .…” Sang pemilik tersenyum, menampakkan taring
tajam di antara barisan giginya.
Sam dan Raphael, keduanya kini berada di dalam badai
api yang terus berkoyak, perlahan meretakkan dinding pertahanan mereka. Terus
bertahan dan meningkatkan kekuatan, bocor sedikit saja tubuh mereka akan
terlahap api tersebut.
Perlahan pilar api itu padam memudar. Si pemiliknya
terbang lebih tinggi dari mereka berdua. Sepasang sayap hitam itu lebar
berkibar, dengan ujung sayap menyerupai jari-jari tangan seakan melambai
memberi salam.
Melihat sosok yang baru saja muncul membuat Sam dan
Raphael terdiam. Begitu pula pada Uriel yang sedang melawan Ratih, dan Raguel
yang sedang melawan Chika. Sosok yang terbang di atas sana berhasil mencuri
perhatian mereka.
“Be-Belial!” gumam Raguel. Dia yang sedang menahan
dorongan pedang Chika menarik mundur serangannya.
Saat petir besar menyambar bumi, cahaya kilatnya
menampakkan jelas malaikat berjubah hitam tersebut. Belial, sosok malaikat
jatuh menampakkan dirinya lagi dihadapan malaikat surga.
Raphael, Uriel, dan Raguel sempat tak percaya
kehadiran si malaikat jatuh ini. Awalnya dikira hanya Rofocale dan Samael saja
yang masih hidup, namun sosok ketiga ini muncul di hadapan mereka untuk
memperkenalkan diri.
“Siapa dia?” Chika dan Ratih yang masih awam tak
mengenali sosok itu, entah teman atau musuh, mereka berdua siap melawan jika
makhluk berkulit hitam itu hendak membunuh Sam.
“Lama tak menggunakan kekuatan ini,” gumam Belial,
menatap Sam dan Raphael yang telah melepas pertahanannya. “Juga lama tak
berjumpa, Raphael.”
Tongkat mustika hijau ditodongkan pada Belial. Dengan
kencang Raphael berteriak, “Apa maksud kehadiranmu, Belial?!”
“Begitukah cara malaikat menyambut tamu? Di mana sopan
santun yang telah Tuhan ajarkan, hei?”
Setelah itu Uriel dan Raguel segera terbang mendekati
Raphel dengan meninggalkan lawan mereka masing-masing.
“Oh, ada Uriel dan Raguel juga, ya,” lanjut sapanya. “Malam
ini akan menjadi malam yang panjang, sepertinya.”
Uriel dengan murka mengacungkan pedangnya, lurus tepat
pada merahnya bola mata Belial. “Kuwakilkan kemarahan Metatron malam ini!”
“Hahaa, pelawak itu?” Sebaliknya, tak ada rasa takut
yang dinampakkan Belial. Dia teramat rileks, bahkan pedangnya pun masih berada
dalam sarung.
Di tengah derasnya hujan lebat, angin yang semakin
kencang menggoyangkan rambut merah Belial. Dirinya terbang masih membawahi para
malaikat dan iblis di sana. Dia lalu menunjuk Raphael dan berkata, “Dadu masih
bermain, kawan.”
Pernyataan yang Belial ucapkan membuat Uriel dan
Raguel terbingung, begitu pula dengan Sam, Chika, dan Ratih. Semua pandangan
tertuju pada Raphael.
“Malaikat jatuh, atau apalah itu. Kami malaikat surga
telah mencap kalian sebagai tentara iblis. Mati saja!” Setelah berkata
demikian, Raguel mengeratkan jemarinya pada gagang pedang, lalu mengepakkan
kedua sayapnya terbang menuju Belial.
Seringai tertampak pada bibir lebarnya, bola mata
merah itu dapat melihat jelas malaikat sembrono yang dengan cepat sedang mendekat.
Segeralah pedang tipis itu dikeluarkan dari sarungnya, hanya sepanjang satu
meter.
Jaraknya semakin dekat dengan Belial. Raguel memutar
badan, dengan sekuat tenaga diapun melampiaskan segala kemarahan dengan ayunan
pedang gergajinya.
Dan seketika hening. Mata mereka saling bertemu
pandang.
Ayunan pedang gergaji Raguel yang berat dapat dengan
mudah ditahan oleh pedang tipis nan kecil milik Belial. Secara logika memang
sebuah hal yang mustahil.
Raguel yang penasaran terus menekan dorongan pedangnya.
“Ke-kenapa bisa?!”
“Kau tahu karena apa?” tanya Belial. “Karena ‘dosa’.”
Setelah mengetahui jawaban itu, Raguel menarik mundur
pedangnya, dan mengambil beberapa jarak. “Apa maksudmu?”
Belial tertawa saat menjawab, “Tentu pedang ini pedang
kutukan. Pedang yang menyerap dosa manusia. Semakin banyak manusia melakukan
dosa di bumi, pedang ini akan semakin kuat dan padat. Aku bahkan penasaran
apakah Metatron akan mati dengan sekali tebasan ini.”
Pernyataan Belial segera menyulut emosi Raguel.
“Jangan bercanda dengan tipuan murahanmu!”
“Makan saja ini!” Belial mengangkat tinggi pedangnya
pada gelapnya langit. Bunga-bunga api seketika muncul, lalu membesar pada
punggung Belial, membentuk sebuah sayap yang membentang hingga tiga puluh
meter. Api itu berkoyak memberontak liar, kemudian membentuk enam ekor kepala
naga yang segera terbang ke arah lawannya.
“Ini gawat!”
Lalu dengan satu ayunan, Belial pun menyuruh api-api
itu melahap Raguel.
Menyala terang di kolong langit Jakarta, enam kepala
naga itu mengamuk dan melaju cepat. Raguel yang tak punya banyak waktu segera
membuat dinding salib yang melindungi seluruh dirinya dalam bola.
Dan enam kepala naga itu membenturkan dirinya pada
tameng salib Raguel.
“Kita uji lagi.” Belial menjilat atap bibirnya. Dia
tak main-main, api itu semakin dibesarkannya menjadi tujuh hingga delapan
kepala naga menyerang Raguel sekaligus.
“Ergh, kurang ajar!” Pertahanan Raguel semakin goyah,
terbukti dengan timbulnya retakkan kecil di sisi kirinya.
“Enyah saja, dasar kotoran neraka!” Melihat Raguel
yang semakin terpojok, Raphael pun mengangkat tinggi tongkatnya, lalu tornado
hijau seketika muncul dekat dengan bara amuk naga api Belial, dan hendak
menabrakkannya.
Sam yang mengetahui Raphael sedang menyerang segera
melakukan tindakan, namun Uriel yang berada di dekat Raphael membuat dinding
salib, dan menghalangi jalan Sam yang langsung terhenti.
Chika
dan Ratih masih belum beranjak dari tempat. Dengan kedua bola matanya, mereka
dapat melihat dari jauh bahwa tornado milik Raphael bertabrakkan dengan kobaran
api kepala naga milik Belial.
Dan
patah. Api-api yang menyerupai kepala naga berleher panjang itu berhasil
dipatahkan oleh tornado Raphael, musnah menyelamatkan nyawa Raguel yang masih bertahan
diri dalam cangkang bola pelindung.
Raguel merasa lega, dia melepas pun tamengnya.
Malaikat jatuh itu—bukan, iblis itu masih melayang gagah dengan sepasang sayap
hitamnya, menatap Raphael yang rupanya berhasil menghancurkan jurus api kepala
naga.
“Hebat juga,” batin Belial. “Kalau begitu coba hadapai
yang satu ini!”
Belial mengangkat tangan kirinya, mengacungkan dua
jari yang merapat pada awan hitam. Pada ujung jari, menyalalah sepercik api,
lalu membentuk lingkaran kecil yang lama-lama membesar seukuran kepalanya.
“Kuperlihatkan ‘neraka mini’ pada kalian yang rindu
pada rumah.”
Sejurus kemudian, awan gelap di belakangnya memancarkan
cahaya jingga, meledak menjadi merah bersanding dengan amukan guntur yang
menggetarkan gendang telinga. Dari atas sana, berbondong-bondong batu meteor jatuh
ke bumi atas perintahnya. Membara, menyala. Mereka menyerang apa dan siapa saja
yang berada di bawahnya.
“Pesta malam ini seru juga, ya,” batin Belial.
Seluruh mata yang menyaksikan pun terbelalak.
Batu-batu dengan ukuran variasi itu terbakar, dan menghempas jatuh ke bumi.
Meteor itu menyerang para malaikat surga yang kemudia mereka pun membuat tameng
masing-masing.
Beruntung bahwa pertarungan ini pisah dimensi antara
dimensi manusia dan ghaib, menjadikan dunia manusia tak terkena dampak dari
segala pertarungan yang terjadi.
Tak hanya menyerang para malaikat, batu-batu meteor
yang Belial jatuhkan juga menyerang Sam, Chika, dan Ratih yang menyebabkan
mereka bertiga juga membuat bola pelindung.
Resah-gelisah terukir di wajah. Hujan meteor
menghantam keras pertahanan mereka tiap detiknya. Keretakkan mulai terlihat
pada tiap tameng, mengharuskan mereka meregenerasikan jurus masing-masing
sesegera mungkin.
Di saat Belial tertawa karena telah menangkap bayang
kemenangan, semuanya pun berubah seratus delapan puluh derajat hanya dalam
hitungan detik saat petir besar menghantam bumi.
“Aaargh!” Belial memekik, teriakannya nyaring merambat
cakrawala. Sampai pada akhirnya sebuah petir yang teramat cepat menyambar,
kilatnya memancarkan cahaya silau, dan akar petir itu membakar, memotong sayap
kanan Belial hingga terlepas dari punggungnya. Dan karena itu pula Belial pun
jatuh ke bumi.
Irama surgawi terngiang saat malaikat bercahaya itu
turun ke bumi. Dia yang memakai cincin emas melingkari kening, berambut hitam
keriting panjang seleher. Matanya itu mengutuk pada Belial, lalu dengan izin
Tuhan dia pun kembali menyambarkan petirnya kembali.
Belial tersambar bertubi-tubi, membuat Sam, Chika, dan
Ratih tak bisa berkutik, dan hanya mewaspadai kehadirannya.
Alam berpihak pada malaikat yang baru turun dengan
sepasang sayap putihnya. Kencangnya angin mengibaskan jubah biru yang dikenakan,
lalu dia berdiri melayang di depan Raphael dan Uriel.
“G-Gabriel! Kau tak perlu turun ke bumi!”
Memandang Gabriel membuat Sam tak percaya, kulit
tubuhnya merinding menyadari bahwa Gabriel tak sepadan dengannya.
Gabriel mengangkat tangan kanannya ke atas,
menggenggam angin kosong. Saat kilat menyambar dari gelapnya awan, serpihan
kilat itu pun tergenggam pada tangannya.
“Kalian para iblis patut lenyap di hadapanku!” Tak ada
ampun, segeralah Gabriel melempar petir itu pada Sam. Petir yang tadinya kecil
berubah menjadi besar menyerupai kepala monster bermata merah.
Sam yang melihat datangnya ancaman segera menodongkan
tangan kirinya ke depan, tepat ke arah kilat monster itu. Dan seketika
muncullah lingkaran sihir dengan lubang hitam yang kemudian menghisap petir
monster Gabriel.
“Ergh! Tidak bisa dibiarkan!” Melihat temannya
kesusahan, dengan kecepatan kilat Chika dan Ratih segera mendekati Sam,
melindungi iblis berbentuk kadal besar itu dari para malaikat dengan senjatanya
masing-masing.
Melihat Chika dan Ratih yang berdiri terbang di depan
Sam, Gabriel malah menyungging senyum merendah. “Dasar lalat!”
Tangan kiri diayun, pada telapaknya memercikkan
petir-petir yang memberontak, dan lalu seketika petir-petir itu pun menyambar
ke arah para iblis.
Chika dan Ratih bekerja sama, mereka berdua membuat
tembok yang menghalau petir-petir Gabriel.
Tak hanya di situ, di arah jam enam, yakni tepat di
belakang Sam sudah berdiri Uriel yang sudah siap dengan apinya. Dan dari arah
belakang, dia mencoba menyerang Sam.
Sam yang sadar segera menahan dengan pedang lavanya,
dan kedua bilah pedang itu pun beradu.
Dari atas mereka sudah ada Raphael yang mengangkat
tinggi tongkat emasnya. Pada bola mustika yang menyala terang, seketika angin
ribut tercipta, makin membesar dan membesar membuat tornado yang kemudian hanya
dengan satu hentakan, angin ribut seukuran gedung itu pun berputar meluncur ke
arah para iblis.
Chika dan Ratih yang sedang membuat dinding pelindung
bingung harus apa, begitu pula Sam yang sedang beradu pedang dengan Uriel.
Uriel meloloskan diri saat tornado itu hendak
mendekat, kini Sam tak punya waktu untuk membuat lingkaran sihir maupun jurus
semacam pelindung.
“Malaikat sialan!”
Sedetik kemudian bergemalah sebuah teriakan yang
disertai api besar meledak dari dasar bumi. Yakni Belial yang sekali lagi
beraksi dengan badai apinya, mencoba mengusir tornado milik Raphael.
Belial terbang dengan satu sayap, namun sayap yang
patah tergantikan oleh sayap api yang menyala. “Gabriel, kau hanya merusak
suasana saja!”
Semua aktivitas serangan terhenti. Para malaikat
berlindung di belakang Gabriel, serta Chika dan Ratih berada di dekat Sam,
menatap Belial yang baru saja bangkit dari serangan petir Gabriel.
“Kau masih dapat bernapas? Harus kuakui kau hebat
juga,” puji Gabriel.
Kesal direndahkan, Belial menggertakan giginya. Dia
terlalu sombong menilai para malaikat. Kini di hadapannya adalah Gabriel,
malaikat besar nomor dua yang ada di surga.
Sam tahu bahwa dia harus menarik mundur Chika dan
Ratih, namun ini semua tergantung pada Belial yang masih mau melanjutkan
pertarungan atau tidak. Dilihat dari gelagatnya, Belial nampak geram dan justru
malah masih ingin melawan.
“Belial, kita sebaiknya mundur.”
“Sam, apa-apaan ucapanmu itu!” balas Belial. “Justru
kehadirannya akan membuat pesta ini semakin menarik.”
Belial mengacungkan pedang tipisnya ke langit. Hujan
membasahi pisaunya, dan sedetik kemudian atas mantera yang dirapalkan, pedang
Belial yang tipis tadi berubah besar setelah diselimuti api hitam.
Mengeluarkan pedang terlarang ini menunjukkan bahwa
Belial akan serius menghadapi Gabriel. Yakni pedang Wail, sebuah pedang hitam
bermata satu yang panjangnya dua meter dengan gagang pedang yang panjangnya
setengah meter. “Tak kusangka harus mengeluarkan senjata ini.”
Gabriel senang melihat lawannya yang serius, dia pun
mengangkat tangan kanannya, dan seketika petir menghantam, menjadikan sebuah
pedang tipis panjang berwarna biru sudah tergenggam di tangannya.
“Hyaaa!” Belial terbang maju, menggenggam pedang
besarnya erat berselimut api hitam. Di samping itu Gabriel juga maju dengan
sepasang sayapnya, dan pedang itu memercikkan kilatan petir biru yang siap
membakar lawannya.
Lalu kedua pedang itu beradu, energi mereka
berbenturan, menciptakan gelombang angin yang menghempas hingga ratusan meter,
sampai mengibaskan jubah dan rambut pasukan malaikat dan iblis yang menonton.
Imbang. Belial menunjukkan seringainya lagi. Dia
manatap tajam pada mata Gabriel yang sedang ingin memenggal kepalanya. Mereka
berdua pun saling menarik mundur senjata, mengambil beberapa meter jarak.
Gabriel mengacungkan pedangnya ke gelapnya langit. Atas
kuasa Tuhan, petir besar pun menyambar pedangnya, lalu dipantulkan pada Belial,
menciptakan sebuah gelombang laser.
Belial dengan gila malah maju mendekat. Dia terbang
mendekati Gabriel. Pedang hitamnya terbakar api hitam, mengamuk menyelimutinya.
Saat petir besar berwarna biru itu mendekatinya, Belial dengan mudah
mengayunkan pedang api hitamnya itu, dan membenturkannya.
“Apa?!” Gabriel terkesima. Dia tak menyangka petir
besar miliknya dihancurkan hanya dengan sekali tebas, dan bola matanya menangkap
jelas bahwa Belial sedang dalam perjalanan menuju ke arahnya.
“Bodoh! Kau sekarang tahu berapa banyak dosa yang
telah manusia buat?”
Dan tabrakan kedua elemen terjadi, menimbulkan
gelombang energi kembali. Gabriel semakin mantap dengan kuda-kudanya, tak mau
menyerah atas dorongan pedang Belial.
Petir biru meloncat-loncat keluar dari pedang Gabriel,
dan api hitam besar terus berkobar dari pedang Belial. Mereka sama-sama saling
mendorong tenaga, tak mau kalah saing berlaga.
“Ergh!” Dan keduanya saling menarik senjata. Mereka
imbang kembali.
“Tak kusangka Belial mampu mengimbangi Gabriel!” batin
Rofocale, menatap jauh pertarungan mereka dari balkon apartemen. “Tapi
sebaiknya aku menarik mereka mundur.”
Chika dan Ratih siap dengan senjata mereka, begitu
pula dengan Sam yang menggenggam pedang lavanya. Setelah Belial mengambil jarak
mundur, mereka bertiga pun maju dengan sasaran utama adalah Gabriel.
Hal itu tidak bisa dibiarkan. Dengan sigap Uriel,
Raphael, dan Raguel pun segera menghalangi jalan ketiga iblis tersebut, dan
senjata mereka saling berbenturan.
“Menarik. Kita imbang,” ucap Gabriel menodongkan ujung
pedangnya pada Belial. “Tapi cukup sudah usaha kalian!”
Pedang biru itu kembali diacungkan Gabriel, dan petir
besar menyambar membelah hitamnya langit, menerangi kegelapan. Petir besar itu
terserap ke dalam pedang, memberinya kekuatan. Lalu hanya dengan satu ayunan,
petir besar itu pun dipantulkan lagi ke arah Belial.
Uriel, Raphael, dan Raguel segera terbang menghindar.
Karena satu jalur, dampaknya juga akan berpengaruh pada Sam, Chika, dan juga
Ratih. Petir besar itu merayap cepat menuju tiga iblis tersebut.
“Beraninya kau!” Belial mengambil langkah. Dia membuka
lebar telapak tangan kirinya, terarah pada petir besar Gabriel. Bibirnya
merapal cepat sebuah mantera, lalu dengan sihirnya sebuah lingkaran berpola
bintang enam tercipta, menghisap petir besar Gabriel masuk ke dalam lubang
hitam.
Tidak. Jurusnya belum cukup sampai di situ. Belial
menodongkan pedang hitam besarnya pada Gabriel, dan lingkaran sihir baru tercipta
tepat di samping lingkaran sihir pertama. Lingkaran sihir barunya itu
mengeluarkan petir Gabriel yang terhisap sebelumnya, memuntahkan petir besar
itu kepada pemilik aslinya.
“Yang benar saja!” geram Uriel. Malaikat berjubah ungu
ini pun membuka lebar telapak tangan kirinya, lalu terciptalah bola api kecil
yang kemudian membara, membesar, menciptakan sebuah pelindung yang menepis,
beradu dengan serangan petir Gabriel.
“Hebat juga, haha!” tawa Belial melihat jurusnya
berhasil dipatahkan.
Raphael, malaikat berjubah hijau itu siap dengan
tongkat emasnya, ditemani oleh Raguel dengan pedang gergajinya, mereka berdua
pun melesat terbang menghampiri para iblis.
Chika, iblis
berambut pendek ini mengacungkan pedangnya ke langit, seketika itu aura hitam
menyelimuti pedangnya. Bola-bola angin hitam pun tercipta, dan dengan satu
hentakan enam bola itu diluncurkan ke arah Raphael dan Raguel. “Makan malam
sudah siap!”
Melihat datangnya serangan, Raguel pun segera
mengayunkan pedangnya. Bara api muncul dari setiap mata gergajinya, membara
besar dan diayunkan, membakar bola-bola angin Chika dengan mudahnya.
Raphael terbang mendahului Raguel. Tanpa berhenti
sembari terbang mendekat, bola mustika di tongkat emasnya itu menyala hijau,
lalu memunculkan angin ribut menyerupai kepala naga berleher panjang yang
menjalar terbang mendekati para iblis. “Maju!”
Ratih mengampil langkah sigap. Sabit itu berputar di
atas jemari manisnya, mengeluarkan sebuah energi negatif berwarna hitam.
Seketika energi negatif itu berubah menjadi elemen petir hitam berkepala naga
berleher panjang yang juga terbang, hendak beradu dengan naga angin Raphael.
Dan energi mereka berdua berbenturan, meledak,
menciptakan desis angin yang menyapu debu-debu di medan pertempuran.
“Mundurlah!”
Wajah mereka terkejut. Tiba-tiba suara bisikan
terdengar. Di antara Gabriel dan Belial, mereka sama-sama mendengar seruan itu.
Sebuah perintah untuk mundur dari tuannya.
“Kenapa, Rofocale?” batin Belial, melakukan telepati
pada kucing hitam yang nan jauh sedang bersembunyi.
“Pertarungan ini hanya semakin menguak identitas kita.
Aku ingin kau menarik mundur pasukanku sekarang juga.”
“Kau berani sekali kau memerintahku!”
“Lakukan saja, Belial,” balasnya enteng. “Menyerang
tanpa strategi seperti ini hanya membuang waktu dan tenaga kita. Terlebih
mungkin kau bisa saja memancing Michael turun, dan semua rencana akan menjadi
kacau balau.”
Belial mengerang kesal, tapi ucapan Rofocale memang
benar adanya. “Baiklah kalau begitu.”
“Uriel, Raphael, Raguel, kita mundur,” pinta Gabriel,
dan ucapannya tadi membuat ketiganya bingung.
“Tapi kenapa? Kita sudah hampir unggul.”
“Tidak, Uriel,” balas Gabriel. “Pertarungan ini lebih
baik dihentikan. Metatron yang berbicara padaku langsung.”
“J-jadi itu perintah Metatron? Baiklah.” Raguel
mengangkat pedang gergajinya, mengarahkan pada empat iblis yang terbang di
depannya. “Kalian para tikus berhasil lolos hari ini!”
Provokasi Raguel menyulut emosi Sam, iblis kadal ini
tak mau membiarkan mangsa yang sudah di depan mata kabur begitu saja.
“Jangan, Sam!” cegah Belial. “Kita juga mundur.”
“Eh?” Pernyataan Belial tadi membuat bingung Sam,
Chika, dan juga Ratih.
“Rofocale menyuruh aku dan kalian untuk mundur juga.”
Sam menggeram, dia sedikit tidak setuju dengan
perintah Rofocale, tapi karena sudah melakukan perjanjian bahwa dia akan
menuruti kata-katanya, mau tak mau Sam harus mundur sesuai perintah.
Yang lebih dahulu pergi adalah para malaikat. Gabriel,
Uriel, Raphael, dan Raguel lekas terbang meninggalkan bumi dengan kecepatan cahaya,
menyisakan bulu-bulu putih yang rontok jatuh ke tanah.
Bersamaan dengan perginya para malaikat, pasukan iblis
yang sekarang sedang dipimpin oleh Belial juga ikut mundur, kembali ke kamar
apartemen Chika.
Viewers
Popular Posts
-
EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) adalah tata bahasa dalam Bahasa Indonesia yang mengatur penggunaan bahasa Indonesia dalam tulisan, mulai da...
-
Dialog adalah percakapan antar tokoh dalam cerita novel. Kehadirannya membuat karya tersebut hidup, tanpanya karya tersebut akan mati kare...
-
>> Ejaan Van Ophuijsen << Ejaan Van Ophuijsen atau ejaan lama adalah jenis ejaan yang pernah digunakan untuk bahasa Indon...
-
Light novel (Jepang: ライトノベル raito noberu | Indonesia: novel ringan) adalah sejenis (sumpah gue kesel kalo ada yang bilang ini ‘sejenis’,...
-
Pada zaman dahulu, alat tulis pena telah dibuat oleh bangsa Sumeria di Mesopotamia pada 5000 tahun silam. Dari mulai yang paling sederhana y...
-
Masa tua biasanya dihabiskan untuk bersantai-santai, menikmati penghujung usia dengan anak dan cucu-cucunya. Tapi, wanita kelahiran 12 Apri...
-
Apa yang kalian bayangkan jika mendengar atau membaca kata "horor"? Mambayangkan hantu? Iblis? Atau mantan? Ah, sudahlah. ...
-
Hola, guys! Bagaimana harimu tadi? Membosankan atau seru? Dapet gebetan baru atau malah ketemu si mantan? Ah, sudahlah, bukan...
-
Siapa sih yang nggak doyan thriller? Genre yang satu ini memang penuh tantangan, guys. Bayangkan kalo berbangga hati masang &qu...
-
Kenapa Naskah Saya Ditolak? pict: google/image Tau nggak sih? Udah berapa kali kamu ngirim naskah ke penerbit? Udah berapa naskah yan...
Labels
Diberdayakan oleh Blogger.