Selamat datang di blog kepenulisan. Silakan menimba ilmu di sini dan jangan copy-paste.

"Keep writing and play your imagination" Yudha Pasca

Join Us On : LightNovel.ID


Senin, 13 Juli 2015

Tips Menulis Novel Horor


Apa yang kalian bayangkan jika mendengar atau membaca kata "horor"?
Mambayangkan hantu? Iblis? Atau mantan? Ah, sudahlah.
Horor dalam novel adalah sebuah genre yang menimbulkan rasa takut pada pembaca. Jika novel berlabel horormu malah garing, ya berarti kamu gagal membuat genre ini dan harus terus berusaha agar mereka yang membaca merasa ketakutan setengah mati.

Berikut tips menulis novel horor ala saya:

1). Ide
Pokok awal menulis sudah pasti mempunyai ide. Ide di sini mengacu pada hal-hal yang sangat menyeramkan. Ide bisa kita dapat dari pengalaman pribadi, pengalaman teman atau orang sekitar, cerita rakyat, atau dari manapun.

Sederhananya, kita ambil ide pokok dari sebuah tempat, misal yang ada di sekitar kalian, seperti; sumur angker, gudang, sekolah, rumah sakit, hotel, motel, dll. Atau juga benda, seperti; boneka, piano, batu nisan, dll. Atau juga cerita masyarakat, seperti; kucing hitam, wanita yang mati tak wajar, kepala melayang setiap malam, dll. Terserah!

Ide lainnya bisa kamu dapatkan dari membaca novel/cerpen, video games, menonton film. Semua yang berbau horor. Perlu diingat: Janganlah menjiplak sesuatu yang kamu baca dan lihat.

2). Kerangka Cerita
Buatlah event-event yang akan kalian mainkan. Kejadian dan jalan cerita yang kalian mainkan nanti janganlah terlalu mainstream, atau terlalu biasa. Boleh saja, asal kalian dapat mengolahnya dan menjadi sebuah karya fantastis, tergantung bagaimana kalian mengkomposisikannya.

Buatlah kerangka dari awal hingga akhir. Pisahkan opening, event I, event II, event III , event ...,  dan ending.

Dalam genre horor, buatlah opening yang membuat satu tanda tanya di benak pembaca, lalu kemudian timbul tanda tanya lainnya. Buatlah pembaca bingung dan berpikir bagaimana itu bisa terjadi.

Di event I, taruh sebuah kejadian yang cukup penting. Kejadian ini akan berangsur sampai karakter yang kamu ciptakan menuai tanda tanya dan meluapkan emosi. Bisa dibilang, "mimpi buruk pertama".

Di event II, taruh kejadian yang lebih mengerikan, atau kematian. Ciptakan misteri atas kejadian atau kematian tersebut. Karaktermu akan mulai waspada terhadap ancaman berikutnya dari sang antagonis di sini.

Di event III, si antagonis mulai terlihat. Uraikan bagaimana bentuk dan rupanya, buat ia seperti telah mengalami rasa sakit yang amat dalam dan melampiaskan ke tokoh protagonismu.

Event lainnya...

Ending, terserah mau bagaimana.

3). Membuat Karakter
Settinglah karakter novelmu dengan berbagai sifat, terlebih di genre horor ini. Si cewek bagaimana, si cowok bagaimana. Penakut, pemberani, pemabuk, pintar, pemakai narkoba, dll. Rangkailah karaktermu sedemikian cocok dengan latar cerita dan unsur cerita yang kamu pakai.

4). Antagonis
Hantu, kita ambil contoh sebagai antagonis. Ia harus cukup menyeramkan saat kamu mendreskipsikannya pada pembaca. Misal si hantu ini menyimpan dendam masa lalu yang tak terbalas, sehingga arwahnya tak tenang di alam sana dan mengganggu manusia. Kamu harus pintar memainkan karakter hantu ini seperti seorang psikopat; buru dan bunuh. Ia haus darah dan ingin tumbal manusia setiap harinya.

Karakter si hantu adalah wayang utama yang menebar teror ke karakter protagonis, jadi kamu harus lihai "menyiksa" karakter yang kamu buat. Kamu juga harus paham dengan rasa sakit yang dialami si hantu, lalu tuang ke dalam kertas sehingga para pembaca juga dapat merasakan apa yang si hantu rasakan.

Tebarlah teror ke karakter protagonismu hingga mereka menderita, teriak meminta tolong, lalu mati mengenaskan. *eh, itu terserah kalian yang menentukan bagaimana cara mereka mati :p

5). Riset
Kalau ingin membuat yang berdasarkan kisah nyata, tentu kamu butuh sebuah riset. Riset bisa kamu dapatkan dari masyarakat yang tinggal di sekitar tempat yang kamu akan jadikan sebuah latar cerita. Kalau kamu tak bisa ke sana, atau tak punya dana untuk ke sana, Google adalah sahabat rumah paling ramah :))

Riset yang detail adalah riset yang sempurna, karena kamu memperoleh banyak data yang akan kamu butuhkan untuk melengkapi puzzle cerita.

Jika kamu membuat cerita yang berdasarkan imajinasi, itu juga butuh riset. Misal, latar yang kamu pakai adalah hotel, kamu harus tahu bangunan hotel itu seperti apa, sih. Kamu harus tahu dari lantai basement sampai lantai atasnya itu rupanya seperti apa.

6). Unsur
Hati-hati jika memainkan dan memasukkan sebuah unsur ke dalam sebuah novel, jangan sampai kamu ter-counter attack sendiri. Ada unsur ilmu ghaib, ajaran sesat, ritual pemanggilan roh, netherworld, dll.

Unsur yang kamu mainkan harus kamu riset dahulu dari akar hingga pucuknya. KELOGISAN ADALAH SEGALANYA. Kalau unsur yang kamu pakai nyeleneh, kamu pasti akan dikomentari pedas oleh pembaca ceritamu.

7). Mengatur Ketegangan
Horor tanpa tegang bukan horor namanya. Ibarat menonton film horor, sound effect akan menunjukkan ketegangan dan kita akan menunggu sesuatu yang muncul dari balik dinding. Tapi, adakah yang muncul di sana? Kadang ya, kadang juga tidak. Kadang kamu takut, kadang juga tidak. Itulah ketegangan di mana jantung akan berdegup lebih cepat.

Horor adalah tentang ketakutan, ketegangan, kejutan, tragedi, teror, dan kematian.

8). Plot Twist
Cerita jika sudah ketahuan, matilah ceritamu. Untuk itu, jika cerita yang kamu buat pasti sudah ketahuan jalannya, buat saja sebuah plot yang membuat mereka terkejut. Ciptakan plot twist yang bahkan mereka tak pernah sadari dari awal.

Kunci dari membuat cerita plot twist adalah "ciptakan karakter yang akan kamu buat sebagai kambing hitam".

9). Gaya Menulis
Menurut saya, jangan terlalu detail. Sederhana, tapi berisi. Tujuannya agar pembaca mengimajinasikan sendiri ketakutan yang kamu suguhkan. Jika terlalu detail, itu telalu memaksakan si pembaca untuk berimajinasi. Terserah kamu juga, sih :))

10). Waktu
Lebih nyaman menulis di siang atau malam hari? Apalagi horor, mungkin di malam hari, kan?
Menulis horor lebih terasa jika di malam hari, apalagi jika di ruangan yang tertutup. Kamu akan merasa tertekan dengan atmosfir yang ada. Kamu merasa tak sendiri, padahal kamu sedang sendiri. Kamu merasa dilihati, padahal tak ada sepasang mata di sana.

Jadi, dia siapa?

11). Pemilihan Kata/Mengolah Diksi
Horor, sudah pasti seram. Rangkailah kata menjadi gothic dan mistik agar novelmu dicap horor oleh mereka. Perlu diingat, jangan sembarang dalam memilih kata untuk novel bergenre horor. Tips dari saya; perbanyak membaca novel bergenre horor dan curi ilmunya.

Carilah kata-kata yang terkesan sadis, jangan terlalu halus dalam menyampaikan sebuah derita.

12). Ending
Sudah membuat kerangka cerita? Pasti sudah punya rencana untuk mengakhiri penderitaan si karakter, dong?

13). Editing
Kamu baca ulang lagi novelmu. Sekarang pakailah sudut pandang kamu sebagai pembaca. Jika novelmu tidak seram, coba suruh temanmu untuk membacanya. Jika masih tidak seram, edit lagi.

Banyak novel yang memang idenya seram, tapi diksinya tidak seram. Camkan itu.
Ubahlah gaya menulis dan juga pemilihan diksimu.

14). Poin lainnya...
Inti dari horor adalah membuat mereka, para pembaca takut. Buatlah karakter yang kalian mainkan menderita, atau mati secara misterius, atau mati secara menjijikan, atau mati secara mengenaskan. Tuangkan nuansa mistik ke dalam ceritamu, tak perlu banyak, tapi tak sedikit.

Seperti kabut yang menyelimuti, naskahmu TAK BOLEH ditebak bagaimana karaktermu mati dan akhir jalan ceritamu ketahuan.

Sekian.

Semoga artikel ini membantu kamu dalam membuat novel horor.
Share jika artikel ini bermanfaat :)


Selasa, 07 Juli 2015

My Diary: Grow Up, Mr. Teen!

Title: My Diary: Grow Up, Mr. Teen!
Genre: Drama
Author: Alien Mars
==================================

Masa SMA adalah masa di mana kita mulai berpikir kritis dan dewasa, kita bebas memilih apa yang kita mau dan ego yang besar akan mengalahkan nurani. Tanpa orang tua yang membimbing, seharusnya kita sudah tau mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang harus didekati dan mana yang harus dijauhi.

Ngomong-ngomong tentang masa SMA, masa SMA gue itu lumayan menyenangkan, menjengkelkan, dan juga memuakkan. Sepahit-pahitnya masa SMA lo, dari sana elo akan mendewasakan diri dan berpikir untuk terus maju ke depan. Intinya; "Elo mau jadi apa nanti? Baru begini aja udah nangis".

Pola hidup gue rada berantakan, dikit lah. Apa-apa semau gue dan gue nggak mau diatur, karena punk menganut hukum "bebas" dan gue selalu terapkan itu ke dalam kehidupan sehari-hari.

Bisa dibilang gue ini jahil, usil, tapi gue nggak bandel. Punk di diri gue cuma sebatas musik, bukan tindakan anarki yang melayangkan gear motor untuk berpesta pora bersimbah darah di tengah jalan. Enggak. Itu kampungan.

Green Day dan Blink 182 adalah inspirasi gue. Gue kenal musik-musik mereka sejak kelas 6 SD dari acara musik tv lokal, pas itu mereka muterin video klip American Idiot-nya Green Day, dan gue langsung takjub sama vokalisnya yang ganteng dan lihai memainkan gitar, suara vokalnya juga mempunyai ciri khas, jadi kalo elu dengerin lagu dia di radio, pasti elu langsung tau kalo dia Billie Joe Armstrong. Terus gue coba searching di google lagu-lagu mereka yang lain, dan nggak taunya gue jatuh cinta sama Green Day. Gue juga nyari band-band yang mirip sama Green Day, dan gue dapet beberapa nama seperti Blink 182 dan Sum 41. Dari situ gue mulai cinta sama musik punk.

Di semester tiga SMA, akhirnya gue menemukan makhluk-makhluk yang beraliran sama kayak gue. Sandy si tukang godain cewek dan Rafael si tukang tidur, mereka berdua gue temuin di kantin yang pas itu nggak sengaja gue denger mereka lagi muterin lagu Simple Plan, dan yaudah gue pungut aja mereka.

"Lo bisa maen musik nggak, Van?"

"Bisa, gue pegang bass. Kalo elu, San?"

"Gue bisa gitar, tapi nggak jago. Si Rafael jago ngedrum, tuh."

"Sok tau lu, gue biasa mukul bedug mesjid."

Insting pun membujuk, "Gue mau buat band, nih. Lo berdua mau ikut nggak?"

"Wait, genre elu apa dulu, Van?"

"Gue sih demen punk, rock, punk/rock, alternative. Kalo elu berdua? Boyband, yeh?"

"Anjritt, elo aja sana sama keluarga lo yang metal-metal," ejek Sandy. "Kalo gue juga ke rock, pop/rock, punk juga sih."

"Kalo gue—"

"Bodo amat, Raf," potong gue. "Lo ikut kita berdua aja."

"Tapi, Van? Gue—"

"Udeh, bawel lu, ah."

Dan dari situ awal genk kecil kita terbentuk.

Setiap pulang sekolah, gue sama Rafael selalu ke rumah Sandy buat ngulik-ngulik lagu dan kebetulan cuma si Sandy doang yang punya gitar, ya walau gitar punya abangnya. Lagu pertama yang kita kulik adalah First Date-nya Blink 182. Kalo ditanya kenapa, ya karena gue yang pengen aja.

Ternyata rumahnya Sandy enak juga, kita main gitar di atap rumah gitu sambil ngopi dan ngerokok, searching lirik-lirik lagu dan akhirnya kita bertiga pun bingung.

"Nanti siapa yang mau jadi vokalis?" tanya Rafael.

"Sandy."

"Elu aja, Van."

"Lha? Lu tau 'kan suara gue kayak kecoa lagi ngeden."

"Ya... udah, kita paduin aja vokalnya. Ganti-gantian gitu."

"Whatever."

Mulai deh kita berimajinasi kalo band yang gue bentuk ini jadi band besar dengan nama yang menjual. Dan kita bingung lagi.

"Nama band kita apa?"

"Tambal Band?"

"Sinting lu, San."

"Nyari nama yang berkelas dikit, dong. Nama yang harus keren dan kalo dijajarin sama band lain keliatan pas," imbuh gue.

"Dijajarin? Maksudnya?"

"Ya misal gini, ada MC yang manggil nama-nama band, misal; "Kita tampilkan; Green Daaay, Paramoreee, All Time Looow, dan Tambal Baaand!", nah, 'kan nggak enak, bikin ngerusak acara dan penonton bakal kena struk mendadak. Pokoknya harus serasi."

"Lu punya nama bagus, Van?"

"Belum, sih, hehee."

"Lha ..., yaudah, nama mah belakangan aja, yang penting kita ngulik lagu dulu."

Hubungan gue sama mereka berdua makin erat karena musik. Awalnya gue sama sekali nggak kenal mereka, lho. Pas semester awal, gue ngeliat Sandy udah kayak bos mafia, tertutup gitu bajunya, selalu pake jaket, tapi ternyata dia bisa gue jinakin.

Sandy dari 11 IPA 3 dan Rafael dari 11 IPS 2, kalo gue dari 11 IPA 2. Walau kelas kita beda, tapi pas jam istirahat kita selalu ngumpul di kantin. Pokok obrolan adalah band-band rock, kita selalu nyari lagu-lagu baru buat dikulik, apalagi tiga bulan nanti ada festival band sekolah, dan band gue harus ikut serta.

"Mau bawain lagu apa nanti?" tanya gue.

"Apaan, kek. Suju aja kalo perlu, Bonamana versi punk."

"Lu pulang nanti bisa kena santet dari k-popers."

"Ya nggak tau dah, bingung mau lagu apa."

"Gue tau!"

"Apaan, Raf?"

Rafael walau keliatan freak, tapi dia orang paling pinter di antara kita.

Setelah satu minggu, akhirnya kita punya nama untuk band ini; Mr. Junkies. Entah itu keren apa enggak, tapi kita bertiga penggemar berat karun Spongebob. Mr. Junkies adalah orang tua dengan kursi roda, jadi karena dia pakai kursi roda, kita jadiin Mr. Junkies sebagai nama band kita, dan ini bener-bener nggak nyambung.

Sandy punya pacar, namanya Tamara, cewek sedikit tomboy yang sekolahnya di SMK Kinclong Abadi jurusan administrasi perkantoran. Kadang setiap pulang sekolah Sandy nganterin Tamara pulang dulu, baru kita ngulik lagu di rumahnya. Dan yang gue tau, Sandy itu punya tiga cewek; Lisa, Nadine, dan Tamara. Kadang gue bingung, dia emang nggak pusing ngurusin tiga cewek? Sebagai temen, gue selalu nasehatin, tapi jawabnya, "Hidup ini bebas, Bro, kayak punk."

Kadang susah juga ngeladenin si Sandy, tapi biarlah, toh kan yang penting nggak ngeganggu band.

Kalo si Rafael, dia baru aja putus. Putusnya ya gitu, dia ketauan selingkuh. Mungkin nasib Sandy juga bakal sama. Dari saat dia putus, dari situlah lagu pertama kita tercipta. Ternyata mantan memberikan dampak positif untuk sebuah band. Raditya Dika harus jadi musisi.

Semakin gue deket sama Sandy dan Rafael, semakin gue tau siapa mereka. Gue kaget pas pertama kali tau kalo mereka berdua suka itu mabuk-mabukan dan ngeganja. Gue juga pernah ditawarin ganja sama mereka, terus ya gue tolak. Haram, Bung.

"Enak ini, Van, semua beban pikiran lu bakal ilang. Gue jamin," kata si Rafael yang mabuk.

"Rugi, Van, kalo elo nggak nyoba," tambah Sandy.

"Ya, elu aja, habisin bagian gue."

Selama di sekolah, mereka berdua itu kayak murid biasa yang selalu belajar dan taat aturan, tapi pas di luar sekolah tingkah mereka udah liar dan jauh dari kata sehat. Gue pengen nasehatin, cuma nggak enak, takut mereka tersinggung atau marah, karena kalo orang udah mabuk bawaannya pasti negatif ke orang lain. Apalagi mereka berdua udah pernah berhubungan seks. Gila. Gue nggak tau mesti gimana, tapi band tetaplah band.

"Gue pertama kali pas itu sama Lisa di rumah," tutur Sandy. Gue heran dia mau jujur.

"Kalo gue dulu sama Meggy, sama, di rumahnya," tambah Rafael.

Haduh, my friends.

*****

Festival band akhirnya dimulai. Beberapa band udah naik panggung dan gue merasa minder karena band mereka keren-keren banget. Rata-rata mereka bawain lagu rock dari dalam negeri, kayak lagu dari band Netral, Kotak, Cokelat, SID.

"Santai, Van. Nggak usah tegang."

"Hahaa, iya, San."

Sandy sama Rafael tiba-tiba pergi ke belakang, padahal dua band setelah ini giliran Mr. Junkies yang tampil. Gue sih ngikut mereka aja, daripada nggak ada temen dan cuma duduk-duduk doang.

Dan nggak taunya, mereka berdua malah ngerokok dengan tembakau yang diganti ganja. Edan.

"Mau, Van?" tawar Rafael.

"Gak, ah."

"Biar elu pede pas nyanyi."

"Ah, biasa aja. Tinggal nyanyi doang."

Gue bingung sama mereka, nanti mereka teler apa enggak ya di panggung? Takutnya juga sih bakal ketauan sama satpam kalo mereka bawa ganja sekarang, apalagi banyak security di sini.

Akhirnya Mr. Junkies naik panggung, lagu yang kita bawain adalah Twist And Shout-nya The Beatles yang kita remake. Pokoknya keren. Gue tampil pede main bass sambil nyanyi, Sandy juga main gitarnya keren sambil nyanyi, dan Rafael juga main drumnya santai karena lagunya nggak terlalu keras. Penonton juga ikutan goyang-goyang kepala karena irama musik country dari lagu yang kita bawain.

Kalo ngeliat tampang-tampang para juri, mereka kok pada kaku, ya pas menilai band gue? Gue takutnya kalah dari band-band lain. Ya, pasrah.

Well, shake it up, baby, now (Shake it up, baby)
Twist and shout (Twist and shout)
C'mon, c'mon, c'mon, c'mon, baby, now (Come on baby)
Come on and work it on out (Work it on out)

You know you twist your little girl (Twist, little girl)
You know you twist so fine (Twist so fine)
Come on and twist a little closer, now (Twist a little closer)
And let me know that you're mine (Let me know you're mine)

Di penghujung acara, akhirnya diumumkan juga pemenangnya, dan Mr. Junkies dapet juara 3. WOW banget. Kita sampe nggak percaya bisa merebut tempat ketiga dari 32 peserta. Lumayan untuk band yang baru berumur tiga bulan dan baru pertama kali ikut festival. Hadiahnya 5 juta dan kita berencana untuk ngerekam lagu pertama kita, dan lagu kedua, ketiga, dan seterusnya. Tapi, yah, tetep aja disisihin buat beli buat bir dan ganja.

Pas pulang festival, gue ketemu sama cewek dari SMA tetangga, dia cantik dan kita tukeran nomor hp. Namanya Ratih, kulitnya putih, pipinya cuteih, dan baunya kayak minyak kayu putih (boong).

Gue dan Ratih saling kenalan di sms, lalu ke sosial media. Gue stalk akun facebook-nya dan menemukan ratusan foto dirinya, dan yang terpenting; dia jomblo.

"Gila dah cantiknya."

Gue seneng ada cewek cantik yang mau kenalan sama gue. Btw, dia rabun apa enggak, ya?

Pas malem minggu gue akhirnya dating sama Ratih. Kita jalan-jalan naik motor muterin Jakarta. Kemerlapnya malam di Ibu Kota membuat segaris senyuman di wajah Ratih, dan dia meluk gue dari belakang. Bahagianya gue malam ini.

Di sebuah kafe gue berhenti karena laper dan haus. Tempatnya lumayan romantis, nggak terlalu remang. Pengunjungnya nggak terlalu sepi dan juga nggak terlalu rame.

Gue memberanikan diri. "Ratih, elu mau nggak jadi pacar gue?"

"Mmm ..."

"Mmm ...?"

"Mmm ... mau, Van."

OAAAAAAAAAAARRRRRGGGHHHH!! Status gue bukan jomblo lagi!!

Pulang kencan, gue langsung bikin lagu tentang Ratih dan jadi single kedua untuk band gue.

Berbagai hari telah kita lewati. Pas pertama kali kencan sejak gue jadian, gue jadi canggung yang melebihi canggung pas kencan sebelum jadian. Aneh, kayak ada daya tarik yang mengacaukan sistem syaraf. Gue main di Time Zone, nonton bioskop, makan bareng, pokoknya seharian sama dia di mall. Gue penasaran udah berapa kali gue ngiterin pintu masuk. Dan pulang kencan lagi-lagi gue nulis lagu tentang first date.

Banyak banget kenangan indah gue sama Ratih. Bagi gue, Ratih bukan cuma sekedar pacar gue, tapi juga inspirasi gue dalam menciptakan lagu. Udah lima lagu yang gue buat tentang Ratih. Gila. Dia udah kayak narkoba dalam hidup gue.

Menginjak bulan ke lima belas, hubungan gue sama Ratih mulai retak, entah egonya dia atau egonya gue yang sama-sama nggak mau ngalah. Kita berantem seharian. Dan malam harinya kita putus.

Gue kembali bikin lagu buat Ratih, lagu terakhir tentangnya dan juga segala kenangannya. My first love.

Gue nggak harus marah ataupun dendam sama mantan. Karena mantan, gue jadi tau apa artinya cinta dan kasih sayang, dan gue juga tau perihnya sakit hati dan ditinggalkan. Ini akan mendewasakan gue dalam hal percintaan. Intinya; jangan marah.

*****

Dua tahun berlalu cepat, udah kayak daun yang gugur disapu petugas kebersihan jalan. Mr. Junkies semakin melebarkan sayap sebagai musik indie. Kita kenal banyak orang, jadi mudah untuk ngepromosiin band. Ada sebuah komunitas band indie yang pas itu tertarik sama Mr. Junkies, apalagi sama suara Sandy yang katanya khas, dan akhirnya kita masuk ke komunitas mereka.

Jerry, pendiri Komunitas Band Indie Jakarta emang suka nyari bibit-bibit musisi, udah gitu dia punya jaringan (kenalan) luas. Malaysia, Singapura, Australia, Jepang, Kanada, bahkan Amerika pernah dia datengin buat manggung sama bandnya. Jerry juga suka ngepromosiin band di komunitasnya, jadi dia walau main keluar provinsi atau keluar negeri nggak bakal lupa buat ngasih tau temennya di luar sana kalo dia itu ketua komunitas musik indie.

Singkatnya, gara-gara Jerry, kita sering jadi band yang ngisi acara pentas seni di sekolah-sekolah. Lumayan juga bayarannya, dan tetep aja si Sandy dan Rafael beli ganja dari hasil manggung.

Kita memutuskan untuk nggak kuliah karena males, karir kita udah keliatan di dunia musik, nama Mr. Junkies juga udah terdengar sampe Kalimantan, dan itu keren banget.

Konser antar kota-kota besar udah kita jalanin, dari Jakarta, Bandung, sampe Bali. Perjalanan jadi anak band yang menakjubkan. Nggak kebayang kita bertiga jadi begini, padahal kita dulu sering disuruh lari muterin lapangan gara-gara ke kantin mulu pas jam pelajaran buat ketemuan, tapi berbuah manis di masa depan.

"Gimana, San, jadi anak band besar?"

"Hahaa, keren, untung dulu elu ngajak gue jadi personel Mr. Junkies, hahahaaa," tawanya lepas di tepi pantai sambil menyaksikan matahari terbenam.

*****

Gladdys, cewek berdarah Bandung ini udah lama dipantau Rafael. Rafael kadang suka curhat ke gue tentang Gladdys, tapi dia nggak berani nembak secara langsung. Udah berbulan-bulan mereka saling kenal dan berteman, tapi nggak ada kemajuan yang gue lihat.

Sementara itu, Sandy juga naksir sama Gladdys. Jadi ceritanya kita ketemu sama Gladdys di acara Party Nite Indie Festival, Gladdys adalah vokalis dari salah satu band yang ngisi acara di festival tersebut dan kita pun saling kenalan sama Gladdys dan bandnya. Mereka ramah, ngobrol apa aja nyambung, apalagi Gladdys yang suka ceplas-ceplos. Sandy suka sama Gladdys dari awal mereka ketemu dan saling tuker pin BB, udah beberapa kali mereka makan malem bareng.

Satu bulan berlalu, dan akhirnya masalah besar dateng di band gue. Rafael yang lagi mabuk tiba-tiba marah ngeliat Sandy lagi jalan sama Gladdys. Rafael langsung ngelabrak Sandy dan Sandy pun marah.

"Lo apa-apaan sih, Raf?!"

"Lo tuh yang apaan? Lo ngapain jalan sama Gladdys?" tanyanya sambil melotot.

"Emang kenapa? Dia cewek gue."

"Nggak bisa. Gladdys cewek gue, San."

"Sejak kapan, hah?"

Rafael memalingkan pandangan sejenak. "Ya ..., sejak gue kenal sama dia, dia udah gue deketin dari awal kenal."

"Ya gue juga, Raf."

"Nggak bisa, pokoknya Gladdys itu milik gue," bantah Rafael seraya mendorong dada Sandy.

"Raf, lo ngerti kek jadi temen! Gue udah jadian sama Gladdys kemaren!"

"Lo tuh yang seharusnya ngerti!" Rafael makin di luar kendali. "Emang elu nggak nyadar kalo gue ngedeketin dia? Elu kan juga tau kalo gue suka nelponin Gladdys tiap malem!"

"Terus selama ini lo udah nembak dia apa belum? Belum, kan? Nah, berarti Gladdys milik gue!"

"Nggak akan!" Dan Rafael pun langsung meninju wajah Sandy.

Sandy yang marah langsung ngebales pukulan Rafael, Rafael langsung bales nendang Sandy. Begitu seterusnya sampe gue dateng akhirnya mereka berdua berhenti.

"Lo berdua apa-apaan sih? Kayak anak kecil tau nggak?!"

"Bukan urusan elu, Van!"

"Ya urusan kalian juga urusan gue, gue itu temen kalian, bahkan udah gue anggap keluarga!"

"Dia ngerebut Gladdys dari gue," kata Rafael.

"Elo tuh yang yang nggak breani nembak dia!" bales Sandy.

"Terserah! Lo pilih putusin Gladdys atau gue keluar dari band ini?"

Ucapan Rafael bener-bener bikin gue muak.

"Raf, please, lo nggak harus keluar dari band juga, kan?"

"Gue mending keluar daripada main sama pecundang kayak dia!"

Sandy makin naik pitam. "Lo bilang apa tadi, Raf?"

"Oke, gue keluar dari band ini! Gue muak!"

"Terserah!"

Malam pun berlalu dengan sang fajar yang menggantung di cakrawala. Sejak kejadian tadi malem, gue sekarang nggak bisa ngehubungin Rafael ataupun Sandy, manager gue juga udah coba buat nelpon mereka, namun hasilnya nihil kayak gue.

Gue bingung harus gimana nanggapin dua temen gue itu. Lima tahun saling kenal, cuma gara-gara satu cewek mereka berdua sampe harus keluar dari band.

Hah, Mr. Junkies akhirnya tinggal kenangan, dan gue pun memutuskan untuk membuat band baru.

Bye.

Sabtu, 04 Juli 2015

Jakarta Is A Mistake

Title: Jakarta Is A Mistake
Genre: Drama
Author: Alien Mars
==================================



Hidup di pinggiran kota Jakarta membuatku harus memutar otak untuk bertahan hidup. Bagaimana tidak, semua bahan makanan di pasar melonjak naik setelah pengumuman kenaikan harga BBM. Orang kaya mungkin tidak keberatan jika sembako naik seribu hingga dua ribu rupiah, tapi bagi kaum kecil seperti kami kenaikan harga sembako tentu mempengaruhi pengeluaran bulanan. Menyedihkan, kami serasa tertindas tinggal di negara sendiri. Tapi protes pada petinggi negara juga bukan satu-satunya jalan keluar, bekerja lebih giat adalah pintu lainnya yang disediakan.

Keseharianku hanya bekerja sebagai supir pengantar barang, gaji ini tidak terlalu mencukupi kebutuhan keluarga kecilku, namun ini sudah patut disyukuri, karena dari gaji yang kecil ini aku sudah bisa memberi makan kedua orangtua dan satu adikku, Ratna, yang masih duduk di bangku kelas 2 SD.

Aku juga mempunyai seorang kakak perempuan, namanya Siska. Dia sangat berbeda dengan kami, dia selalu mementingkan pacarnya yang sangat ‘nakal’. Bapak dan Ibu tidak tahu pekerjaan Mbak Siska selama ini, hanya aku yang tahu semua tentangnya. Sudah puluhan kali aku membujuknya untuk memutuskan pacarnya dan hidup sehat dari obat-obatan, namun ia selalu menepisnya dengan cibiran tajam dari lidahnya.

Jam sudah menunjukkan pukul lima sore, sudah seharusnya aku pulang dari tempat kerjaku. Setelah beres-beres tas, aku lalu pamitan pada rekan-rekan di sini.

“Akhirnya pulang juga,” gumamku dalam hati.

Aku tersenyum sepanjang jalan, angin sore yang meniup nakal rambut gondrongku membuat sejuk tubuh yang tadinya penuh keringat ini. Hari ini agak mendung, namun ini adalah cuaca favoritku.

Jarak dari tempat kerja ke rumah hanya satu kilometer, tidak lama, mungkin hanya butuh waktu sekitar tiga puluh menit berjalan kaki. Soal membeli kendaraan, aku tak pernah memikirkan diriku sendiri. Ya, sisa uang gajianku aku tabung untuk keperluan Ratna bersekolah, apalagi ia selalu ngambek-ngambek untuk minta sepada baru. Duh, jika tidak dia menuntut untuk tidak sekolah.

Kondisi ekonomi inilah yang membuat kedua orang tuaku menangis dalam doa di tiap malamnya. Setiap malam aku selalu mendengar beliau mengadu pada Tuhan, ingin rasanya aku membahagiakannya, namun apalah daya aku hanya seorang supir pengantar barang.

Tak terasa aku sudah sampai di depan rumah. Rumah semi-permanen ini adalah rumah tempat aku dibesarkan selama ini. Lingkungan tempat ini sangat jauh dari kata layak, banyak sampah yang berserakan di pinggir jalan, bahkan parit pun menjadi sarang nyamuk-nyamuk berbahaya.

“Assalamu’alaikum,” salamku pada penghuni rumah.

“Wa’alaikumsalam, Rio, kamu sudah pulang, Nak?” sambut Ibuku. Ia masih mengenakan mukena putihnya, mungkin ia berdzikir dulu sesudah sholat ashar tadi.

Aku pun mencium tangan Ibu. “Bapak belum pulang, Bu?”

“Belum, Nak,” jawabnya dengan suara agak serak. “Bapak mungkin masih sibuk memungut sampah di blok sebelah.”

“Oh, ya sudah. Rio mandi dulu ya, Bu.”

“Iya.”

*****

Bos menelponku malam ini untuk mengantar barang ke suatu daerah, lumayan dapat lemburan. Lelah juga sih, namun ini acuan semangatku untuk membelikan Ratna sepeda baru.

“Rio, kamu antar barang ke tempat ini, yah,” pinta bosku seraya menujukkan alamatnya.

“Oh, iya, akan saya antarkan, Pak,” jawabku. “Malam ini saya sendiri, ya?”

“Iya, satu-satunya yang bisa diharapkan malam ini ya cuma kamu, Rio. Bapak tolong, yah?”

“Iya, Pak, tenang saja. Ya sudah saya langsung antar saja barangnya.”

“Oke.”

Setelah selesai, aku pun segera menyalakan mesin mobil dan pergi ke tempat tujuan.

Dingin juga malam ini, untung saja aku memakai jaket biru pemberian ayahku. Walau sudah robek dan penuh jaitan, namun aku tetap bangga memakainya. Aku merasa ada cinta di setiap rajutan jaket ini.

Malam ini tak ada bintang, langit masih tampak mendung seperti tadi sore. Ramainya kota Jakarta membuat jalan macet di sana-sini, bahkan aku juga terjebak dalam kemacetan ini. Banyak dari mereka yang baru pulang kerja dengan mobil-mobil pribadinya. Duh, bisa-bisa aku telat sampai ke tempat tujuan, nih.

*****

Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, berarti aku lebih cepat tiga puluh menit untuk sampai ke tempat tujuan.

Aku menghentikan laju mobilku di depan sebuah rumah. Pikirku, pasti ini rumah orang kaya, tamannya saja banyak bunga-bunga, belum lagi ada air mancur yang menambah kesan sejuk di pekarangannya. Iri juga aku dengan sang pemilik rumah ini.

Begitu aku berdiri di depan pagar, aku lalu memencet bel dan memberi salam pada penghuni rumah. “Assalamu’alaikum …”

Hening, tidak ada jawaban. Apakah mereka sudah tidur? Duh, jadi merasa bersalah.

Aku coba lagi. “Assalamu’alaikum …, permisi …”

Seseorang pun mencoba membuka pintu rumah yang tingginya bagai pintu istana. “Wa’alaikumsalam …, sebentar …”

“Syukurlah mereka belum tidur,” batinku senang.

“Ada apa ya, Mas?” tanya si penghuni rumah. Parasnya masih terlihat muda, walau ia sudah mirip seperti tante-tante.

“Ini Bu, ada pesanan lima boneka beruang atas nama Lukman. Apa benar ini rumah Pak Lukman?” tanyaku.

“Oh ya, benar,” jawabnya. “Saya pembantunya, tadi Pak Lukman menitipkan barang antaran untuk anaknya pada saya.”

“Ya sudah, Bu, ini surat tanda buktinya, mohon ditanda tangani,” pintaku sambil memberikan buku surat perjalanan. Saat sang pembantu sedang mengisi tanda tangan, aku meluangkan waktuku untuk mengambil boneka dari dalam mobil.

“Ini Mas, sudah saya tanda tangani.” Ia pun memberikan tanda bukti itu padaku.

“Terima kasih, Bu, ini lima boneka beruangnya,” jawabku. “Kalau begitu saya pamit dulu, ya. Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumsalam.”

Lega juga perasaanku setelah mengantar barang malam ini, lumayan untuk tambah-tambahan uang lemburan.

Setelah selesai, aku langsung tancap gas dan pergi dari tempat ini.

*****

Makin malam makin liar saja kota Jakarta. Tidak sedikit dari para pelacur yang duduk-duduk di pinggir jalan menanti sang hidung belang datang. Aku berpikir, apakah tidak ada pekerjaan lain bagi mereka? Kenapa mereka tidak mencari pekerjaan yang halal? Ah sudahlah. Aku pun tahu, menjadi pelacur bukanlah pilihan, tapi itu tuntutan ekonomi yang mendesak mereka. Kakakku contohnya.

Miris, keluarga kecil yang dikenal ahli agama di kalangan tetangga mempunyai anak pertama yang jauh dari kesucian. Jika aib ini terbongkar, keluargaku mungkin akan diusir dari kampung. Maka dari itu aku terus menyembunyikan aib kakakku. Aku tak ingin orangtuaku bersedih lagi. Sederhana, namun sulit melakukannya.

Lupakan, tak seharusnya aku yang sedang menyetir mobil malah merenungkan hal yang membuatku kehilangan konsentrasi.

Duh, lagi-lagi aku terjebak macet, padahal ini sudah hampir larut malam, tapi kendaraan yang berlalu-lalang tidak pernah surut. Karena aku lelah menunggu, aku pun memilih untuk memutar jalan, aku tak peduli walau jaraknya dua kali lebih jauh, yang penting aku tidak pusing menunggu lancarnya jalan protokol ini.

Kemilau lampu-lampu kota yang menyinari di pinggir jalan mengiringi perjalanan pulangku ke tempat kerja, ternyata indah juga suasana Jakarta pada malam hari. Aku sangat jarang keluar malam hari, dan jika hanya menerima lemburan saja aku akan keluar, ya seperti sekarang ini.

Saat aku melewati gang kecil yang minim penerangan, aku melihat seorang wanita yang sudah tak asing lagi bagiku. Rambut hitam yang tergerai panjang itu sudah membuatku kental mengenalinya dari jauh. Dia Mbak Siska. Bersama tiga orang temannya, mereka tengah berfoya-foya berjalan di tengah dinginnya malam.

Tertawa riang, apakah dipikirannya lupa akan keluarganya yang miskin?

“Pasti ke tempat pacarnya lagi,” pikirku kesal. Ini sudah tak aneh, tempat ini adalah salah satu tempat hiburan malam di Jakarta, sudah pasti banyak para pelacur dan pria hidung belang yang menghabiskan malam di tempat ini.

Karena aku juga sudah kesal dengan gaya hidupnya, aku pun memakirkan mobilku di salah satu kios yang sudah tutup. Aku lalu keluar dari mobil dan berjalan menghampiri Mbak Siska.

Sambil berlari kecil, aku pun memanggilnya dari jauh, “Mbak!”

Ia pun berhenti berjalan, begitu juga dengan ketiga temannya yang langsung menengok ke arahku.

“Lo mendingan ke tempat itu duluan deh, gue ada perlu sebentar sama adek gue,” pinta Mbak Siska pada tiga temannya.

“Yaudah, tapi jangan lama-lama, ya?”

“Iya iya, udah sana cepet!”  Dan akhirnya tiga teman Mbak Siska pergi duluan. Dari belakang tampak sekali cetakan tubuh mereka, pakaian yang mereka kenakan terlalu mencolok malam ini.

“Mbak! Mbak masih kerja kayak beginian? Katanya udahan, kan?” tanyaku sedikit emosi.

“Terus kenapa? Masalah buat lo?!” gubrisnya langsung. “Gue mau kerja ini kek, itu kek, terserah gue! Lagian uang yang gue hasilin lebih banyak daripada elu yang cuma kurir antar barang!”

“Tapi, Mbak, kalo bapak sama ibu tau kan bahaya! Atau Rio langsung laporin aja ke bapak ibu?” ancamku padanya. Aku sebenarnya sudah muak menyimpan rahasia ini.

“Lo berani ngelawan kakak lo, hah?” balasnya cepat sambil mengacungkan jari telunjuknya tepat ke arah wajahku. “Inget ya, gue bakal nyuruh pacar gue buat ngehajar lu sampe babak belur!”

“Jadi Mbak lebih mentingan pacar Mbak dari pada adik Mbak sendiri?!” ucapku lantang.

“IYA!!”

Dug ...!

Bagai pedang yang menghunus jantung, tiga huruf atas jawabannya langsung menyayat hatiku dalam. Bagaimana tidak? Ia lebih mementingkan orang lain daripada keluarganya sendiri.

“Kenapa lo diem?” bentaknya padaku yang tersendu.

“Kalo Mbak nggak nganggap aku adik, itu gapapa, seenggaknya, Mbak—”

“Heh? Please deh!” potongnya. “Lo nggak usah nuntut gue harus ini-itu! Pergi sana!”

“Terserah Mbak, Rio pokoknya udah ngingetin puluhan kali!” Setelah menatap matanya dalam, aku pun lekas pergi menuju mobil kembali, tak peduli Mbak Siska yang mencaciku dari belakang.

Kesal, ya mau bagaimana lagi untuk menghadapi kakak yang tidak mau beralih ke jalan yang benar? Apakah adiknya ini benar-benar telah dibuang dalam pikirannya?

Semenjak SMA, kakaku sudah terjun ke dunia gelap, ia mengenal narkoba dari pacarnya yang hingga sekarang masih langgeng. Dan herannya, pacarnya juga tahu kalo Mbak Siska itu seorang pelacur. Aku tak tahu apakah Mbak Siska pernah hamil atau tidak, jika pernah, mungkin ia sudah pernah mengaborsi janin di dalam rahimnya. Kasihan.

Dengan perasaan kesal, aku pun menancapkan gas ke tempat kerja.

*****

Esok harinya, sepulang kerja …

Uang lemburan kemarin rasanya sudah cukup untuk membelikan sepeda untuk Ratna. Dengan perasaan riang, aku pun berjalan menuju rumah Pak Mukhlis.

Pak Mukhlis adalah orang yang berjualan sepeda di dekat tempat kerjaku. Sepeda bekas ataupun baru ia juga menjualnya. Aku berpikir untuk membeli sepeda bekas saja, karena kualitasnya tidak kalah dengan yang baru, apalagi sepeda bekasnya juga telah dipoles ulang yang menambah kesan cantik pada si pembeli.

“Assalamu’alaikum, Pak Mukhlis …”

Pak Mukhlis yang sedang mengamplas sepeda langsung bangkit dari kursinya. “Wa’alaikumsalam, Rio, toh. Ada apa?”

“Ini Pak, saya mau beli sepeda cewek buat Ratna. Ada?”

“Oh ada!” jawabnya senang dengan segaris senyuman di bibir hitamnya. “Mau yang baru atau yang bekas?”

“Yang bekas aja deh, Pak,” pintaku.

“Tunggu sebentar, ya?” Pak Mukhlis lalu berjalan menuju tempat puluhan sepeda diparkir. Ia lalu datang kembali sambil menenteng sepeda bekas berwarna merah muda dengan keranjang di depannya.  

“Wah, cocok sekali dengan warna kesukaan Ratna, Pak!” ucapku senang.

“Ini harganya Rp. 120.000,-, tidak bisa kurang, lho.”

“Umm, ya sudah, saya ambil deh,” jawabku menyepakati harganya. Aku pun merogoh uang di dompet dan menyerahkan padanya, “Ini Pak.”

“Terima kasih, ya. Ini sepedanya. Semoga Ratna jadi semangat bersekolah.”

“Hehee, iya Pak. Kalau begitu saya langsung pulang saja. Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumsalam.”

Akhirnya aku pulang membawa kado untuk Ratna, adik perempuan tercintaku. Dengan sepeda ini, aku harap ia tidak membuat orang tuaku menangis lagi karena ngambek-ngambek minta dibelikan sepeda.

Ngomong-ngomong, aku jadi memikirkan ucapan kakakku semalam. Apakah semalam ia serius mengatakannya? Atau itu hanya pengaruh alkohol yang membuat emosinya naik? Entah. Rasanya aku ingin menanyakan langsung padanya hari ini.

Setibanya di rumah, aku langsung disambut oleh keceriaan bapak dan ibu yang sedang minum kopi di halaman rumah, di sana juga ada Ratna yang menemani mereka. Waktunya sangat tepat sekali untuk memberikan kejutan pada Ratna.

“Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumsalam,” jawab bapak. “Kamu beli sepeda baru, Rio? Apa uangmu cukup?”

“Cukup kok, Pak, yang penting Ratna senang.”

“Yey, Mas Rio beli sepeda buat Ratna!” teriak Ratna senang. Aku, bapak dan ibu juga senang melihat anak bungsunya ini tersenyum ceria mendapati sepeda barunya. Air mata tak terbendung di hatiku, bahkan aku sempat menahan air mata melihat keluarga kecil ini bahagia.

“Nah, Ratna, kan sudah dibelikan sepeda baru oleh Mas Rio, ayo bilang ‘terimakasih’.”

“Iya, Bu. Terima kasih ya, Mas Rio, Ratna suka banget sama sepedanya,” ucapnya riang. Imut sekali adikku ini. Senyuman yang mengembang di bibirnya membuatku harus kuat menahan air mata bahagia ini. Aku harap sepeda ini membuatnya semangat dalam mencari ilmu, tidak seperti kedua kakaknya yang bodoh.

“Oh ya, apa Mbak Siska ada di rumah?”

“Tadi Mbakmu pergi, nggak tau mau ke mana,” jawab ibu.

“Kalo gitu Rio nyari Mbak Siska dulu, yah?” Dengan senyuman, aku pun langsung pergi meninggalkan mereka bertiga.  Aku sebenarnya juga nggak tahu di mana Mbak Siska, tapi biasanya Mbak Siska ada di ‘gunung sampah’ setiap sore menjelang maghrib.

Dan benar adanya, dari jauh aku dapat melihat Mbak Siska sedang duduk di atas gunung sampah beralaskan ban bekas. Rambut panjang yang terurai berkibar layaknya bendera yang tertiup angin. Begitu angggun layaknya putri raja. Namun aku heran, mengapa ia sampai jatuh ke hitamnya dunia.

Aku pun menghampirinya. “Mbak …”

“Rio …”

Aku lalu duduk di sampingnya.

“Maafin Mbak ya, Rio, Mbak nggak ngomong serius ke kamu semalem,” katanya sambil memandang wajahku sendu.

“Iya Mbak, gapapa kok, Rio tau,” jawabku membalas senyum padanya.

“Mbak mau bilang sesuatu ke kamu, tapi tolong jangan bilang-bilang ke bapak sama ibu, yah?” pintanya serius padaku.

Aku bingung harus apa. “Memangnya penting ya, Mbak?”

“Sebenernya …, Mbak kena HIV, Rio,” akunya, bulir air mata pun mengalir di pipi manisnya. Wajah cantiknya seolah pudar atas kesedihannya.

“Beneran, Mbak?”

“Iya. Mbak ngecek sama temen Mbak semalem, dan hasilnya positif,” lanjutnya. Ia pun mulai menangis lebih dalam dan membaringkan kepalanya di bahuku.

“Kalo bapak sama ibu tau nanti gimana, Mbak?”

“Mbak juga bingung, Rio.”

“Tenang aja, Mbak, bapak sama ibu pasti memaafkan Mbak Siska. Mereka sangat mencintai Mbak Siska.”

“Apa mereka akan memaafkan Mbak yang hina ini? Mbak sudah kotor! Mbak pun malu, Rio!” Kembali ucapannya disertai nada isak tangisnya, aku yang duduk di sampingnya pun tak tahan menahan air mata.

“Ayo, Mbak, kita bicara pada bapak dan ibu,” bujukku padanya. “Rio yakin, ibu dan bapak pasti mengerti situasi dan kondisi Mbak selama ini. Mbak kerja juga dengan niat baik untuk menghidupi keluarga ini, cuma caranya aja yang salah.”

“Iya, Mbak nyesel selama ini.”

“Ya sudah, yuk kita pulang.” Aku pun segera menggandeng tangannya dan membawanya pulang ke rumah. Sepanjang jalan, ia terus menangis dalam penyesalan. Tak seharusnya wanita secantik Mbak Siska ini harus menelan pahitnya dunia.

Setibanya di rumah, Mbak Siska langsung berkata jujur pada bapak dan ibu. Dari ia memakai narkoba semenjak SMA, sampai ia melacur juga ia ceritakan secara rinci. Mbak Siska mengaku sudah pernah tiga kali aborsi, dan itu adalah buah dari percintaan ia dengan para pelanggannya.

Bapak sudah naik pitam, hampir saja tamparan dilayangkan pada pipi Mbak Siska, namun aku segera mencegahnya. Ibu dan Ratna pun menangis di dalam kamar, tak kuasa ternyata anak pertamanya bekerja menjadi pelacur selama ini.

Aku pun memutuskan untuk mengkarantina Mbak Siska, dan akhirnya bapak pun setuju dengan usulku. Tak ada jalan lain selain ini, aku harap virus HIV-nya tidak menular pada kami sekeluarga.

*****

Setiap hari sepulang kerja aku selalu mengunjungi Mbak Siska di rumah sakit. Aku pun juga membawakan novel untuk bacaanya di saat senggang, aku yakin dia juga bosan terhadap lingkungan rumah sakit yang penuh dengan bau obat.

Aku melihat Mbak Siska sedang duduk di taman rumah sakit, ia juga mengenakan pakaian pasien berwarna biru muda polos. Tatapannya kosong memandangi percikan air mancur di depannya. Kasihan juga melihatnya. Aku pun segera menghampirinya.

“Mbak …”

“Eh, Rio?”

“Udah baikan?”

“Lumayan. Hati Mbak udah agak tenang di sini,” jawabnya sambil melempar senyuman padaku. “Makasih ya, Rio, kalo kamu nggak menyadarkan Mbak, Mbak bisa lebih parah.”

“Iya, Mbak, Rio juga seneng akhirnya Mbak Siska udah nggak bergaul sama mereka-mereka lagi.”

“Tapi, bapak sama ibu?”

“Tenang, Mbak, mereka juga seneng dengan perkembangan Mbak Siska di sini. Bapak, ibu sama Ratna nitip salam juga, lho, ke Mbak Siska.”

“Bener? Berarti bapak udah nggak marah?”

“Obati cinta dengan cinta. Cinta orang tua pada anak nggak ada batasnya. Sebagai anak, kita harus membalas budi cinta dan kasih orang tua selama ini. Cinta orang tua abadi pada anaknya, walau sang anak tanpa sadar telah melukai hati kedua orang tuanya. Walau hanya kata ‘maaf’ yang kita lontarkan, tapi bapak sama ibu pasti mengerti kesalahan kita dan akan memaafkannya. Allah saja Maha Pemaaf, masa manusia tidak?”

“Kamu bener, Rio, sekali lagi makasih, yah.”

Dari sekian lama, akhirnya aku dapat melihat senyuman kebahagiannya lagi di wajah cantiknya.

“Iya, Mbak, sama-sama.”

================== END ==================

Selasa, 30 Juni 2015

Friday 13th: James Ritual

Title: Friday 13th: James Ritual
Genre: Horror
Author: Alien Mars
==================================



Dunia ghaib tak seharusnya kita usik. Keberadaan manusia mungkin akan mengganggu tidur tenang mereka. Jangan berurusan dengan mereka jika kita tak ingin terluka, seharusnya.

Yang tak bernyawa meninggalkan jasad. Jasad tersebut lalu dikebumikan, kemudian menjadi makanan bagi hewan tanah, dan eksistensinya menghilang menyisakan tulang.

Lalu nyawa? Ke manakah nyawa kita pergi setelah meninggalkan jasad?

Ada yang percaya ada sebuah kehidupan sesudah mati, namun ada juga yang tidak. 

Jika kalian tidak percaya, lalu kalian akan ke mana? Apa ingatanmu di dunia akan menghilang? Apa dirimu akan hilang? Apa semua tentangmu akan menghilang? Pikirlah sampai dirimu gila.

Jika kalian percaya, di manakah kalian nanti berpulang? Tempat seperti apakah kehidupan sesudah mati itu? Surga atau neraka? Siapkah dirimu bertemu dengan Tuhan?

Lalu apa itu hantu? Apa hantu penunggu rumah itu arwah manusia? Apa hantu yang bergentayangan itu arwah manusia? Apakah semua hantu itu arwah manusia?

Entah.

*****

“Caroline, sudah siap untuk malam ini?”

“Oh, Jane! Ya, mungkin. Aku tak yakin.”

“Oh, ayolah, kita akan menghapus mitos itu dan menjadi yang pertama.”

“Umm …, ngomong-ngomong, hanya kita berdua?”

“Tidak. Vega dan Avril akan ikut malam nanti,” jawabnya. “Akan kutunggu jam sebelas malam. Jangan telat.” Jane lalu pergi meninggalkanku di toilet wanita.

“Sampai nanti.”

“Jangan jadi pecundang sekolah!”

Hari ini adalah Jumat, tepatnya tanggal 13. Mitos mengatakan akan ada banyak hantu yang berkeliaran di Friday 13th, karena portal dunia manusia dan dunia hantu saling terhubung satu sama lain. Entahlah, aku juga tidak percaya hal itu, tapi Jane benar-benar memaksaku untuk ini.

Dua belas tahun yang lalu, lima murid di sekolahku hilang tanpa sebab di gudang lama, sebuah gudang yang sudah tak dimasuki selama dua puluh tahun. Gudang tersebut sudah tak digunakan lagi karena seorang anak bernama James bunuh diri karena alasan yang tak pasti. Rumor beredar bahwa kelima murid tersebut di bawa James ke dimensi lain saat kelima murid tersebut melakukan ritual pemanggilan hantu.

Mungkin Jane tertantang oleh Matt, kekasihnya yang menantang untuk mencari misteri kematian James, tapi anehnya Matt tidak ikut dengan kami. Pecundang.

*****

Bulan tampak sempurna menggantung di langit malam, dan makin sempurna karena tak ada cahaya lampu yang menyinari area parkir sekolah. Gelap gulita. Sumber cahayaku hanya telepon genggam saja yang membimbing sampai gudang lama, jaraknya juga masih jauh. Sial.

Berjalan sendirian di tengah malam membuat leherku menggigil, padahal tidak ada siapa-siapa di kanan-kiri, kurasa. Dari area parkir, dengan cepat aku bergegas untuk sampai ke lapangan sekolah, tempat titik pertemuan kami berempat.

“Hai, pecundang, lama sekali.”

“Diamlah, Jane, seharusnya kau berterima kasih padaku.”

“Baiklah, Nona manis, mari kita masuk ke gudang itu.”

Bersama, kami berjalan menyusuri lapangan menuju gudang tua tersebut.

Malam yang mencekam, aku merasa ada hal buruk yang akan terjadi. Ingin aku mundur, tapi Jane pasti akan menghalangiku dengan seribu rayuan mautnya. Vega dan Avril tak merasa takut sedikitpun, mereka malah tertawa bersama Jane sepanjang perjalanan.

Sampai. Gudang tua ini terlihat lebih mencekam di malam hari. Aura negatif yang terpancar membuat diriku merasa sedang diawasi dari segala arah.

“Ayo masuk,” kata Vega.

“Ya.”

Pintunya sudah lama tak terkunci, jadi siapa saja bisa masuk dengan leluasa. Penjaga sekolah pun sudah tak peduli jika ada orang yang berniat aneh di tempat ini. Lagian orang bodoh mana yang akan melakukan hal tersebut? Ya, kami.

Pemandangan yang pertama kulihat adalah setumpuk kursi dan meja yang sudah rusak dan penuh debu, juga sarang laba-laba di seluruh pejuru gudang. Kumuh adalah kata pertama yang pantas untuk melukiskan gudang tua ini. Ruangan ini begitu tinggi, mungkin sekitar empat meter. Cahaya rembulan dapat masuk dari celah kaca yang pecah berlapis teralis, tak buruk untuk sebuah penerang jalan.

Avril mulai berjalan masuk dengan lampu sorotnya yang membimbing kami. Gemetar, merinding. Pandanganku tak dapat menatap ke depan pasti, selalu tengok kanan-kiri, atas-bawah.

Dan sebuah tangan mendarat di pundakku.

“Ayolah, penakut.”

Kami makin masuk lebih dalam, melihat beberapa arsip dokumen lama yang sudah berdebu di raknya, serta buku-buku pelajaran dan alat-alat olahraga yang sudah rusak. Aku mengambil sebuah arsip, tertulis June 1982, berarti tepat 20 tahun yang lalu. Kubuka halaman demi halaman dan menemukan nama James Louis. Tapi, ada tiga nama James yang aku temukan. 

Tengok kiri, lalu kanan. Sepi. Aku kembalikan arsip tersebut dan berjalan lebih cepat menyusul teman-temanku. 

Kami sampai di pertengahan gudang, tak ada barang apapun sehingga kami dapat duduk leluasa di lantai yang berdebu.

“Kita mulai?” tanya Jane.

“Keluarkan barang yang ada di tasmu, Avril.”

Avril lalu mengeluarkan sebuah boneka pria berbaju hitam, pisau, kapas, benang jahit merah, jarum jahit, pena, buku tulis, kapur merah, enam lilin, dan korek api dari dalam tasnya.

Pertama, Vega menggambar lingkaran di atas lantai dengan kapur merah, lalu dilanjut dengan menggambar heksagram di dalamnya. Kedua, kami menyalakan lilin dan menaruhnya di tiap sudut heksagram.

“Darah.”

“Apa?” tanyaku.

Jane menyayat jari telunjuknya dengan pisau, lalu darah yang keluar ditempelkan pada selembar kapas putih.

“Kalian juga harus melakukannya,” pinta Jane, dan kami hanya mengangguk.

Vega, Avril, lalu aku yang terakhir. Kami memasukkan kapas yang berlumur darah tadi ke dalam tubuh boneka, lalu boneka tersebut dijahit kembali dengan benang merah. Boneka tersebut lalu ditaruh ke tengah lingkaran, lalu tangan kanannya diberi pena yang diikat benang, dan kami duduk di luar lingkaran dengan lilin yang menyala.

“Mantranya.”

“Ya.”

Kami semua memejamkan mata. 

Aku sedikit gugup.

“Roh yang tertidur, roh yang terlelap. Darah kami menyatu, izinkanlah. Bangkitlah dari kesengsaraan neraka, bangkitlah dari api yang menyala, taburkanlah dendam ke pelosok bumi lagi. Tubuh barumu telah di sini, menyatu dengan darah kami. Terimalah persembahan kami.”

Mantra tersebut kami ucapkan bersama dengan lantang, hingga sesuatu yang tak diinginkan pun terjadi.

“Apa itu?”

Kami mendengar suara piano tua yang dimainkan, hanya ditekan beberapa tuts, lalu diam. Angin berhembus menggelitik leher. Dan yang terakhir, boneka tersebut berdiri …, dengan sendirinya.

Dan kami lupa satu hal yang paling penting.

“Vega, kau tak mengikatnya?!”

“Kau tak memberitahuku untuk membawa tali, Jane!”

Sontak kami memandangi boneka itu, ia hanya berdiri, lalu mengapung, dan naik perlahan.

“Wahai Tuan Boneka, siapa namamu?” tanya Jane.

Boneka itu diam.

“James? Apa kau James Louis?” tanyaku.

Boneka itu diam lagi. 

“James Chester?”

Boneka itu tetap diam.

“Atau James Florence?”

Dan boneka tersebut langsung terjatuh ke lantai.

“Cepat ikat!” 

Aku mencari tali dan Avril mengambil bangku. Kami mengikat boneka tersebut di bangku, namun anehnya boneka tersebut terasa panas. Lalu kami memberikan buku tulis.

Bertanya. Napas kami mulai memburu, dan menatap satu sama lain.

“Siapa namamu?”

Ia mulai menulis; “James”.

“Kenapa kau mati?”

Ia menulis; “Karena nyawaku sudah tiada”.

“Kau dibunuh?”

Ia menulis; “Iya”.

“Di mana?”

Ia menulis; “Di suatu tempat, di mana matahari tenggelam”.

Aku asumsikan, ia bukan dibunuh di gudang ini, karena gudang ini terletak di sebelah selatan.

“Berapa orang yang membunuhmu?”

Ia menulis; “Tujuh”.

“Kau kenal siapa saja? Coba sebutkan”.

Ia menulis; “Salah satu di antaranya adalah ayah kalian”.

Dan kami tercengang, saling menatap satu sama lain kembali.

“Lalu kau ingin menuntutnya?”

“Avril!” sanggah Jane. “Pertanyaan macam apa itu?!”

Ia menulis; “Suatu saat, lihat saja siapa yang akan mati malam ini”.

“Kau tahu kasus dua puluh tahun lalu, tentang lima murid yang hilang di sini?”

Ia menulis; “Batu bersusun berdiri, di balik meja arsip”.

Aku asumsikan, di dinding, di balik meja arsip.

“Kau membunuhnya?”

Ia menulis; “Pikirmu?”

“Kenapa?”

Ia menulis; “Ia melakukan hal yang sama yang seperti sekarang kalian lakukan”.

Kami saling menatap satu sama lain, terdapat rasa takut yang amat kronis di dalam hatiku.

“Kau …, apa kau nanti akan membunuh kami?”

Ia menulis; “Mengapa tidak?”

Oh Tuhan.

Kami mulai menjauh dari lingkaran, dan sang boneka tiba-tiba meronta-ronta ingin terbebas dari ikatan. Kami telah melakukan hal yang tak sepatutnya kami lakukan. Kami salah, mengusik roh halus tak seharusnya dilakukan.

Vega lari terlebih dahulu, kulihat tali sepatunya tak terikat, lalu terinjak kaki lainnya. Vega terjatuh dengan kening yang membentur ujung meja, lalu tak sadarkan diri dengan darah yang melumuri kepalanya. 

Kami teriak histeris dan beranjak ke pintu keluar.

“Pintunya terkunci!”

“Toloooooongg!”

Teriakan kami menggema di ruangan ini, namun tak ada satupun yang mendengarnya dari luar. Pintu sudah kutendang, namun tak berhasil terbuka. Sial. Kami makin panik dan berteriak histeris meminta tolong. Memanjat jendela juga percuma, terlalu tinggi dan juga berlapis teralis besi.

Sia-sia, tak ada orang lain di sekolah ini. Tak ada bantuan. Kami terperangkap.

Dan sepasang bola mata menggelinding ke arah kami.

Kami terdiam, tercengang, dan hampir tak bisa mengeluarkan suara melihatnya.

“T-tidak! T-tidak mungkin!”

Mata kami berkaca-kaca, dan menangis, saling mendekat dan merangkul satu sama lain. Kami bertiga lalu berjalan ke tempat ritual kembali. Rasa takut dan penasaran berkecambuk menjadi satu. Kulihat Vega terbaring kaku dilantai …, dengan kedua mata yang bolong.

“Oh, Tuhan. Tidak, jangan …”

Kami mulai mengangis melihat Vega di sana. Teman bermain dari sekolah dasar kini sudah mati di hadapan kami. Inikah takdirnya?

Dan tersadar, boneka yang menjadi mediasi kami menghilang, terlepas dari ikatannya. Kami panik, tak tahu harus ke mana mencariya. Aku teringat akan boneka Chucky yang dapat membunuh.

Sebuah buku terjatuh di depan kami, berjarak lima kaki. Lalu sebuah tumpukan meja bergerak dengan sendirinya, seperti digoyangkan. Kami takut, jantung kami berdegup kencang. 

Jane memberanikan diri untuk memeriksa buku tersebut. 

“Kosong,” katanya. Ia lalu kembali berjalan mundur ke arahku.

Sebuah buku kembali jatuh, kali ini buku di dekat pintu keluar, tempat di mana aku membaca arsip James. Kami lalu berjalan pelan ke sana, walau diselimuti rasa takut.

Tak ada apa-apa, kosong. Dan sialnya, Avril menginjak salah satu bola mata Vega layaknya telur puyuh. Avril berteriak sembari menutup mulutnya.

Kami mundur, dan berbalik arah. Tiba-tiba kepala Avril ditarik ke atas oleh sesuatu, seutas tali yang mengalungi lehernya. Avril meronta-ronta di atas, ia kehabisan napas, menggelinjang layaknya ikan di darat. Kami mencoba menarik kakinya agar turun, namun itu hanya membantunya untuk cepat mati. 

Dan ia kini benar-benar telah mati.

“Oh, tidak! Avril! Avril! Avriiiiill!”

Aku dan Jane menangis histeris, sudah dua teman kami yang mati di sini. Kami menggebuk-gebuk pintu memohon pertolongan, namun sudah berulang kali dicoba tetap tak ada sang penyelamat.

“Tolong kami! Tolong!!”

“Caroline, aku tak ingin mati di sini!”

“Aku juga, Jane!”

Terdengar suara tawa yang menggema ke seisi gudang. Kami berhenti memukul pintu dan menelisik tiap sudut ruangan. Napas kami terengah, adrenalin kami meningkat, kematian serasa sudah sejengkal di atas kepala kami. Kami tersudut menempel pada pintu, tak ada tempat lari, namun boneka itu sedari tadi tak muncul.

Gelas jatuh, pecah di ujung ruangan. Kami lelah, namun harus memeriksanya.

“Kosong, Jane.” 

Lagi-lagi tak ada apa-apa. 

Pintu lemari menggedor sendiri layaknya ada yang terkunci di dalam, dan kami terlalu takut untuk memeriksa. Gelas di dekat kami jatuh dengan sendirinya. Dua buku jatuh dari raknya. Meja di samping kananku bergeser. Aktifitas supranatural makin meningkat di sini. Kami dibuat mainan olehnya.

Pikiranku melayang, hasrat ingin bunuh diri di tempat ini. Aku memeluk Jane dari samping, kami saling berpelukan menahan takut. Dan lalu kami berlari ke pintu keluar.

“Caroline, toloooongg!!”

Langkah Jane terhenti, tiba-tiba saja telapak kakinya menginjak paku yang menembus alas sepatunya. Aku memapah Jane untuk berjalan tanpa mencabut paku tersebut, dan paku lainnya kembali menusuk telapak kaki Jane.

“Aw, sakiit.” Ia meronta.

“Jane, bertahanlah. Aku akan menemanimu!”

Kami dikerjai oleh hantu tersebut.

Kami kembali berjalan menuju pintu keluar, namun Jane sudah tak dapat bangkit karena kedua kakinya tertusuk paku. Memapahnya pun percuma, ia hanya dapat berjalan dengan tumitnya saja. Jane menangis di sampingku dan memohon untuk tidak meninggalkannya.

Aku memapah Jane kembali, ia berjalan menggunakan tumit dengan menahan rasa sakit. Aku tak pernah melihat Jane menangis seperti ini sebelumnya.

Kami sampai di pintu keluar dan mencoba berteriak minta tolong, namun hasilnya tetap nihil. Kami kepalang panik, teramat sangat panik. James tertawa puas di atas derita kami.

Dan seseorang akhirnya membukakan pintu.

“Matt!”

Si pecundang itu akhirnya datang sebagai penyelamat, Jane menangis dipelukannya, lalu kami keluar menjauhi gudang tersebut.

*****

Pagi harinya, polisi dipanggil untuk menggeledah gudang tua tempat kedua teman kami terbunuh semalam. Sekolah diliburkan, semua murid dipulangkan. Aku dan Jane diminta menjadi saksi atas kejadian ini.

Aku dan Jane masih trauma akan kejadian tadi malam, begitu kerasnya pikiran kami dipermainkan oleh James hingga kami benar-benar kapok bermain di gudang tua itu. Mungkin saja kematian James lebih sakit dibanding gangguan psikologis kami hingga ia tega membunuh siapa saja yang mengganggunya guna melampiaskan dendam masa lalunya.

Para polisi mulai menggali dinding di balik meja arsip. Di sana mereka menemukan tulang-berulang manusia. Satu persatu tulang mulai dikeluarkan dan diusahakan tanpa cacat sedikitpun. Benar kata James, mereka semua terkubur di sana.

Dan kami lupa akan satu hal; “Di manakah boneka yang dirasuki arwah James?”

Celaka, kami tak menyadarinya ...