Selamat datang di blog kepenulisan. Silakan menimba ilmu di sini dan jangan copy-paste.

"Keep writing and play your imagination" Yudha Pasca

Join Us On : LightNovel.ID


Selasa, 07 Juli 2015

My Diary: Grow Up, Mr. Teen!





Title: My Diary: Grow Up, Mr. Teen!
Genre: Drama
Author: Alien Mars
==================================

Masa SMA adalah masa di mana kita mulai berpikir kritis dan dewasa, kita bebas memilih apa yang kita mau dan ego yang besar akan mengalahkan nurani. Tanpa orang tua yang membimbing, seharusnya kita sudah tau mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang harus didekati dan mana yang harus dijauhi.

Ngomong-ngomong tentang masa SMA, masa SMA gue itu lumayan menyenangkan, menjengkelkan, dan juga memuakkan. Sepahit-pahitnya masa SMA lo, dari sana elo akan mendewasakan diri dan berpikir untuk terus maju ke depan. Intinya; "Elo mau jadi apa nanti? Baru begini aja udah nangis".

Pola hidup gue rada berantakan, dikit lah. Apa-apa semau gue dan gue nggak mau diatur, karena punk menganut hukum "bebas" dan gue selalu terapkan itu ke dalam kehidupan sehari-hari.

Bisa dibilang gue ini jahil, usil, tapi gue nggak bandel. Punk di diri gue cuma sebatas musik, bukan tindakan anarki yang melayangkan gear motor untuk berpesta pora bersimbah darah di tengah jalan. Enggak. Itu kampungan.

Green Day dan Blink 182 adalah inspirasi gue. Gue kenal musik-musik mereka sejak kelas 6 SD dari acara musik tv lokal, pas itu mereka muterin video klip American Idiot-nya Green Day, dan gue langsung takjub sama vokalisnya yang ganteng dan lihai memainkan gitar, suara vokalnya juga mempunyai ciri khas, jadi kalo elu dengerin lagu dia di radio, pasti elu langsung tau kalo dia Billie Joe Armstrong. Terus gue coba searching di google lagu-lagu mereka yang lain, dan nggak taunya gue jatuh cinta sama Green Day. Gue juga nyari band-band yang mirip sama Green Day, dan gue dapet beberapa nama seperti Blink 182 dan Sum 41. Dari situ gue mulai cinta sama musik punk.

Di semester tiga SMA, akhirnya gue menemukan makhluk-makhluk yang beraliran sama kayak gue. Sandy si tukang godain cewek dan Rafael si tukang tidur, mereka berdua gue temuin di kantin yang pas itu nggak sengaja gue denger mereka lagi muterin lagu Simple Plan, dan yaudah gue pungut aja mereka.

"Lo bisa maen musik nggak, Van?"

"Bisa, gue pegang bass. Kalo elu, San?"

"Gue bisa gitar, tapi nggak jago. Si Rafael jago ngedrum, tuh."

"Sok tau lu, gue biasa mukul bedug mesjid."

Insting pun membujuk, "Gue mau buat band, nih. Lo berdua mau ikut nggak?"

"Wait, genre elu apa dulu, Van?"

"Gue sih demen punk, rock, punk/rock, alternative. Kalo elu berdua? Boyband, yeh?"

"Anjritt, elo aja sana sama keluarga lo yang metal-metal," ejek Sandy. "Kalo gue juga ke rock, pop/rock, punk juga sih."

"Kalo gue—"

"Bodo amat, Raf," potong gue. "Lo ikut kita berdua aja."

"Tapi, Van? Gue—"

"Udeh, bawel lu, ah."

Dan dari situ awal genk kecil kita terbentuk.

Setiap pulang sekolah, gue sama Rafael selalu ke rumah Sandy buat ngulik-ngulik lagu dan kebetulan cuma si Sandy doang yang punya gitar, ya walau gitar punya abangnya. Lagu pertama yang kita kulik adalah First Date-nya Blink 182. Kalo ditanya kenapa, ya karena gue yang pengen aja.

Ternyata rumahnya Sandy enak juga, kita main gitar di atap rumah gitu sambil ngopi dan ngerokok, searching lirik-lirik lagu dan akhirnya kita bertiga pun bingung.

"Nanti siapa yang mau jadi vokalis?" tanya Rafael.

"Sandy."

"Elu aja, Van."

"Lha? Lu tau 'kan suara gue kayak kecoa lagi ngeden."

"Ya... udah, kita paduin aja vokalnya. Ganti-gantian gitu."

"Whatever."

Mulai deh kita berimajinasi kalo band yang gue bentuk ini jadi band besar dengan nama yang menjual. Dan kita bingung lagi.

"Nama band kita apa?"

"Tambal Band?"

"Sinting lu, San."

"Nyari nama yang berkelas dikit, dong. Nama yang harus keren dan kalo dijajarin sama band lain keliatan pas," imbuh gue.

"Dijajarin? Maksudnya?"

"Ya misal gini, ada MC yang manggil nama-nama band, misal; "Kita tampilkan; Green Daaay, Paramoreee, All Time Looow, dan Tambal Baaand!", nah, 'kan nggak enak, bikin ngerusak acara dan penonton bakal kena struk mendadak. Pokoknya harus serasi."

"Lu punya nama bagus, Van?"

"Belum, sih, hehee."

"Lha ..., yaudah, nama mah belakangan aja, yang penting kita ngulik lagu dulu."

Hubungan gue sama mereka berdua makin erat karena musik. Awalnya gue sama sekali nggak kenal mereka, lho. Pas semester awal, gue ngeliat Sandy udah kayak bos mafia, tertutup gitu bajunya, selalu pake jaket, tapi ternyata dia bisa gue jinakin.

Sandy dari 11 IPA 3 dan Rafael dari 11 IPS 2, kalo gue dari 11 IPA 2. Walau kelas kita beda, tapi pas jam istirahat kita selalu ngumpul di kantin. Pokok obrolan adalah band-band rock, kita selalu nyari lagu-lagu baru buat dikulik, apalagi tiga bulan nanti ada festival band sekolah, dan band gue harus ikut serta.

"Mau bawain lagu apa nanti?" tanya gue.

"Apaan, kek. Suju aja kalo perlu, Bonamana versi punk."

"Lu pulang nanti bisa kena santet dari k-popers."

"Ya nggak tau dah, bingung mau lagu apa."

"Gue tau!"

"Apaan, Raf?"

Rafael walau keliatan freak, tapi dia orang paling pinter di antara kita.

Setelah satu minggu, akhirnya kita punya nama untuk band ini; Mr. Junkies. Entah itu keren apa enggak, tapi kita bertiga penggemar berat karun Spongebob. Mr. Junkies adalah orang tua dengan kursi roda, jadi karena dia pakai kursi roda, kita jadiin Mr. Junkies sebagai nama band kita, dan ini bener-bener nggak nyambung.

Sandy punya pacar, namanya Tamara, cewek sedikit tomboy yang sekolahnya di SMK Kinclong Abadi jurusan administrasi perkantoran. Kadang setiap pulang sekolah Sandy nganterin Tamara pulang dulu, baru kita ngulik lagu di rumahnya. Dan yang gue tau, Sandy itu punya tiga cewek; Lisa, Nadine, dan Tamara. Kadang gue bingung, dia emang nggak pusing ngurusin tiga cewek? Sebagai temen, gue selalu nasehatin, tapi jawabnya, "Hidup ini bebas, Bro, kayak punk."

Kadang susah juga ngeladenin si Sandy, tapi biarlah, toh kan yang penting nggak ngeganggu band.

Kalo si Rafael, dia baru aja putus. Putusnya ya gitu, dia ketauan selingkuh. Mungkin nasib Sandy juga bakal sama. Dari saat dia putus, dari situlah lagu pertama kita tercipta. Ternyata mantan memberikan dampak positif untuk sebuah band. Raditya Dika harus jadi musisi.

Semakin gue deket sama Sandy dan Rafael, semakin gue tau siapa mereka. Gue kaget pas pertama kali tau kalo mereka berdua suka itu mabuk-mabukan dan ngeganja. Gue juga pernah ditawarin ganja sama mereka, terus ya gue tolak. Haram, Bung.

"Enak ini, Van, semua beban pikiran lu bakal ilang. Gue jamin," kata si Rafael yang mabuk.

"Rugi, Van, kalo elo nggak nyoba," tambah Sandy.

"Ya, elu aja, habisin bagian gue."

Selama di sekolah, mereka berdua itu kayak murid biasa yang selalu belajar dan taat aturan, tapi pas di luar sekolah tingkah mereka udah liar dan jauh dari kata sehat. Gue pengen nasehatin, cuma nggak enak, takut mereka tersinggung atau marah, karena kalo orang udah mabuk bawaannya pasti negatif ke orang lain. Apalagi mereka berdua udah pernah berhubungan seks. Gila. Gue nggak tau mesti gimana, tapi band tetaplah band.

"Gue pertama kali pas itu sama Lisa di rumah," tutur Sandy. Gue heran dia mau jujur.

"Kalo gue dulu sama Meggy, sama, di rumahnya," tambah Rafael.

Haduh, my friends.

*****

Festival band akhirnya dimulai. Beberapa band udah naik panggung dan gue merasa minder karena band mereka keren-keren banget. Rata-rata mereka bawain lagu rock dari dalam negeri, kayak lagu dari band Netral, Kotak, Cokelat, SID.

"Santai, Van. Nggak usah tegang."

"Hahaa, iya, San."

Sandy sama Rafael tiba-tiba pergi ke belakang, padahal dua band setelah ini giliran Mr. Junkies yang tampil. Gue sih ngikut mereka aja, daripada nggak ada temen dan cuma duduk-duduk doang.

Dan nggak taunya, mereka berdua malah ngerokok dengan tembakau yang diganti ganja. Edan.

"Mau, Van?" tawar Rafael.

"Gak, ah."

"Biar elu pede pas nyanyi."

"Ah, biasa aja. Tinggal nyanyi doang."

Gue bingung sama mereka, nanti mereka teler apa enggak ya di panggung? Takutnya juga sih bakal ketauan sama satpam kalo mereka bawa ganja sekarang, apalagi banyak security di sini.

Akhirnya Mr. Junkies naik panggung, lagu yang kita bawain adalah Twist And Shout-nya The Beatles yang kita remake. Pokoknya keren. Gue tampil pede main bass sambil nyanyi, Sandy juga main gitarnya keren sambil nyanyi, dan Rafael juga main drumnya santai karena lagunya nggak terlalu keras. Penonton juga ikutan goyang-goyang kepala karena irama musik country dari lagu yang kita bawain.

Kalo ngeliat tampang-tampang para juri, mereka kok pada kaku, ya pas menilai band gue? Gue takutnya kalah dari band-band lain. Ya, pasrah.

Well, shake it up, baby, now (Shake it up, baby)
Twist and shout (Twist and shout)
C'mon, c'mon, c'mon, c'mon, baby, now (Come on baby)
Come on and work it on out (Work it on out)

You know you twist your little girl (Twist, little girl)
You know you twist so fine (Twist so fine)
Come on and twist a little closer, now (Twist a little closer)
And let me know that you're mine (Let me know you're mine)

Di penghujung acara, akhirnya diumumkan juga pemenangnya, dan Mr. Junkies dapet juara 3. WOW banget. Kita sampe nggak percaya bisa merebut tempat ketiga dari 32 peserta. Lumayan untuk band yang baru berumur tiga bulan dan baru pertama kali ikut festival. Hadiahnya 5 juta dan kita berencana untuk ngerekam lagu pertama kita, dan lagu kedua, ketiga, dan seterusnya. Tapi, yah, tetep aja disisihin buat beli buat bir dan ganja.

Pas pulang festival, gue ketemu sama cewek dari SMA tetangga, dia cantik dan kita tukeran nomor hp. Namanya Ratih, kulitnya putih, pipinya cuteih, dan baunya kayak minyak kayu putih (boong).

Gue dan Ratih saling kenalan di sms, lalu ke sosial media. Gue stalk akun facebook-nya dan menemukan ratusan foto dirinya, dan yang terpenting; dia jomblo.

"Gila dah cantiknya."

Gue seneng ada cewek cantik yang mau kenalan sama gue. Btw, dia rabun apa enggak, ya?

Pas malem minggu gue akhirnya dating sama Ratih. Kita jalan-jalan naik motor muterin Jakarta. Kemerlapnya malam di Ibu Kota membuat segaris senyuman di wajah Ratih, dan dia meluk gue dari belakang. Bahagianya gue malam ini.

Di sebuah kafe gue berhenti karena laper dan haus. Tempatnya lumayan romantis, nggak terlalu remang. Pengunjungnya nggak terlalu sepi dan juga nggak terlalu rame.

Gue memberanikan diri. "Ratih, elu mau nggak jadi pacar gue?"

"Mmm ..."

"Mmm ...?"

"Mmm ... mau, Van."

OAAAAAAAAAAARRRRRGGGHHHH!! Status gue bukan jomblo lagi!!

Pulang kencan, gue langsung bikin lagu tentang Ratih dan jadi single kedua untuk band gue.

Berbagai hari telah kita lewati. Pas pertama kali kencan sejak gue jadian, gue jadi canggung yang melebihi canggung pas kencan sebelum jadian. Aneh, kayak ada daya tarik yang mengacaukan sistem syaraf. Gue main di Time Zone, nonton bioskop, makan bareng, pokoknya seharian sama dia di mall. Gue penasaran udah berapa kali gue ngiterin pintu masuk. Dan pulang kencan lagi-lagi gue nulis lagu tentang first date.

Banyak banget kenangan indah gue sama Ratih. Bagi gue, Ratih bukan cuma sekedar pacar gue, tapi juga inspirasi gue dalam menciptakan lagu. Udah lima lagu yang gue buat tentang Ratih. Gila. Dia udah kayak narkoba dalam hidup gue.

Menginjak bulan ke lima belas, hubungan gue sama Ratih mulai retak, entah egonya dia atau egonya gue yang sama-sama nggak mau ngalah. Kita berantem seharian. Dan malam harinya kita putus.

Gue kembali bikin lagu buat Ratih, lagu terakhir tentangnya dan juga segala kenangannya. My first love.

Gue nggak harus marah ataupun dendam sama mantan. Karena mantan, gue jadi tau apa artinya cinta dan kasih sayang, dan gue juga tau perihnya sakit hati dan ditinggalkan. Ini akan mendewasakan gue dalam hal percintaan. Intinya; jangan marah.

*****

Dua tahun berlalu cepat, udah kayak daun yang gugur disapu petugas kebersihan jalan. Mr. Junkies semakin melebarkan sayap sebagai musik indie. Kita kenal banyak orang, jadi mudah untuk ngepromosiin band. Ada sebuah komunitas band indie yang pas itu tertarik sama Mr. Junkies, apalagi sama suara Sandy yang katanya khas, dan akhirnya kita masuk ke komunitas mereka.

Jerry, pendiri Komunitas Band Indie Jakarta emang suka nyari bibit-bibit musisi, udah gitu dia punya jaringan (kenalan) luas. Malaysia, Singapura, Australia, Jepang, Kanada, bahkan Amerika pernah dia datengin buat manggung sama bandnya. Jerry juga suka ngepromosiin band di komunitasnya, jadi dia walau main keluar provinsi atau keluar negeri nggak bakal lupa buat ngasih tau temennya di luar sana kalo dia itu ketua komunitas musik indie.

Singkatnya, gara-gara Jerry, kita sering jadi band yang ngisi acara pentas seni di sekolah-sekolah. Lumayan juga bayarannya, dan tetep aja si Sandy dan Rafael beli ganja dari hasil manggung.

Kita memutuskan untuk nggak kuliah karena males, karir kita udah keliatan di dunia musik, nama Mr. Junkies juga udah terdengar sampe Kalimantan, dan itu keren banget.

Konser antar kota-kota besar udah kita jalanin, dari Jakarta, Bandung, sampe Bali. Perjalanan jadi anak band yang menakjubkan. Nggak kebayang kita bertiga jadi begini, padahal kita dulu sering disuruh lari muterin lapangan gara-gara ke kantin mulu pas jam pelajaran buat ketemuan, tapi berbuah manis di masa depan.

"Gimana, San, jadi anak band besar?"

"Hahaa, keren, untung dulu elu ngajak gue jadi personel Mr. Junkies, hahahaaa," tawanya lepas di tepi pantai sambil menyaksikan matahari terbenam.

*****

Gladdys, cewek berdarah Bandung ini udah lama dipantau Rafael. Rafael kadang suka curhat ke gue tentang Gladdys, tapi dia nggak berani nembak secara langsung. Udah berbulan-bulan mereka saling kenal dan berteman, tapi nggak ada kemajuan yang gue lihat.

Sementara itu, Sandy juga naksir sama Gladdys. Jadi ceritanya kita ketemu sama Gladdys di acara Party Nite Indie Festival, Gladdys adalah vokalis dari salah satu band yang ngisi acara di festival tersebut dan kita pun saling kenalan sama Gladdys dan bandnya. Mereka ramah, ngobrol apa aja nyambung, apalagi Gladdys yang suka ceplas-ceplos. Sandy suka sama Gladdys dari awal mereka ketemu dan saling tuker pin BB, udah beberapa kali mereka makan malem bareng.

Satu bulan berlalu, dan akhirnya masalah besar dateng di band gue. Rafael yang lagi mabuk tiba-tiba marah ngeliat Sandy lagi jalan sama Gladdys. Rafael langsung ngelabrak Sandy dan Sandy pun marah.

"Lo apa-apaan sih, Raf?!"

"Lo tuh yang apaan? Lo ngapain jalan sama Gladdys?" tanyanya sambil melotot.

"Emang kenapa? Dia cewek gue."

"Nggak bisa. Gladdys cewek gue, San."

"Sejak kapan, hah?"

Rafael memalingkan pandangan sejenak. "Ya ..., sejak gue kenal sama dia, dia udah gue deketin dari awal kenal."

"Ya gue juga, Raf."

"Nggak bisa, pokoknya Gladdys itu milik gue," bantah Rafael seraya mendorong dada Sandy.

"Raf, lo ngerti kek jadi temen! Gue udah jadian sama Gladdys kemaren!"

"Lo tuh yang seharusnya ngerti!" Rafael makin di luar kendali. "Emang elu nggak nyadar kalo gue ngedeketin dia? Elu kan juga tau kalo gue suka nelponin Gladdys tiap malem!"

"Terus selama ini lo udah nembak dia apa belum? Belum, kan? Nah, berarti Gladdys milik gue!"

"Nggak akan!" Dan Rafael pun langsung meninju wajah Sandy.

Sandy yang marah langsung ngebales pukulan Rafael, Rafael langsung bales nendang Sandy. Begitu seterusnya sampe gue dateng akhirnya mereka berdua berhenti.

"Lo berdua apa-apaan sih? Kayak anak kecil tau nggak?!"

"Bukan urusan elu, Van!"

"Ya urusan kalian juga urusan gue, gue itu temen kalian, bahkan udah gue anggap keluarga!"

"Dia ngerebut Gladdys dari gue," kata Rafael.

"Elo tuh yang yang nggak breani nembak dia!" bales Sandy.

"Terserah! Lo pilih putusin Gladdys atau gue keluar dari band ini?"

Ucapan Rafael bener-bener bikin gue muak.

"Raf, please, lo nggak harus keluar dari band juga, kan?"

"Gue mending keluar daripada main sama pecundang kayak dia!"

Sandy makin naik pitam. "Lo bilang apa tadi, Raf?"

"Oke, gue keluar dari band ini! Gue muak!"

"Terserah!"

Malam pun berlalu dengan sang fajar yang menggantung di cakrawala. Sejak kejadian tadi malem, gue sekarang nggak bisa ngehubungin Rafael ataupun Sandy, manager gue juga udah coba buat nelpon mereka, namun hasilnya nihil kayak gue.

Gue bingung harus gimana nanggapin dua temen gue itu. Lima tahun saling kenal, cuma gara-gara satu cewek mereka berdua sampe harus keluar dari band.

Hah, Mr. Junkies akhirnya tinggal kenangan, dan gue pun memutuskan untuk membuat band baru.

Bye.

3 komentar:

  1. fyuhh, bacanya sampe ngos-ngosan saking panjangnya :)
    Ceritanya ringan dengan konflik yang wajar :)

    BalasHapus
  2. Keren, simple tapi beda banget sama gue yang ga suka punk heheehe peace :D

    BalasHapus