Jakarta Is A Mistake
Title: Jakarta Is A Mistake
Genre: Drama
Author: Alien Mars
Hidup di pinggiran kota Jakarta membuatku harus memutar otak untuk bertahan hidup. Bagaimana tidak, semua bahan makanan di pasar melonjak naik setelah pengumuman kenaikan harga BBM. Orang kaya mungkin tidak keberatan jika sembako naik seribu hingga dua ribu rupiah, tapi bagi kaum kecil seperti kami kenaikan harga sembako tentu mempengaruhi pengeluaran bulanan. Menyedihkan, kami serasa tertindas tinggal di negara sendiri. Tapi protes pada petinggi negara juga bukan satu-satunya jalan keluar, bekerja lebih giat adalah pintu lainnya yang disediakan.
Keseharianku hanya bekerja sebagai supir pengantar barang, gaji ini tidak terlalu mencukupi kebutuhan keluarga kecilku, namun ini sudah patut disyukuri, karena dari gaji yang kecil ini aku sudah bisa memberi makan kedua orangtua dan satu adikku, Ratna, yang masih duduk di bangku kelas 2 SD.
Aku juga mempunyai seorang kakak perempuan, namanya Siska. Dia sangat berbeda dengan kami, dia selalu mementingkan pacarnya yang sangat ‘nakal’. Bapak dan Ibu tidak tahu pekerjaan Mbak Siska selama ini, hanya aku yang tahu semua tentangnya. Sudah puluhan kali aku membujuknya untuk memutuskan pacarnya dan hidup sehat dari obat-obatan, namun ia selalu menepisnya dengan cibiran tajam dari lidahnya.
Jam sudah menunjukkan pukul lima sore, sudah seharusnya aku pulang dari tempat kerjaku. Setelah beres-beres tas, aku lalu pamitan pada rekan-rekan di sini.
“Akhirnya pulang juga,” gumamku dalam hati.
Aku tersenyum sepanjang jalan, angin sore yang meniup nakal rambut gondrongku membuat sejuk tubuh yang tadinya penuh keringat ini. Hari ini agak mendung, namun ini adalah cuaca favoritku.
Jarak dari tempat kerja ke rumah hanya satu kilometer, tidak lama, mungkin hanya butuh waktu sekitar tiga puluh menit berjalan kaki. Soal membeli kendaraan, aku tak pernah memikirkan diriku sendiri. Ya, sisa uang gajianku aku tabung untuk keperluan Ratna bersekolah, apalagi ia selalu ngambek-ngambek untuk minta sepada baru. Duh, jika tidak dia menuntut untuk tidak sekolah.
Kondisi ekonomi inilah yang membuat kedua orang tuaku menangis dalam doa di tiap malamnya. Setiap malam aku selalu mendengar beliau mengadu pada Tuhan, ingin rasanya aku membahagiakannya, namun apalah daya aku hanya seorang supir pengantar barang.
Tak terasa aku sudah sampai di depan rumah. Rumah semi-permanen ini adalah rumah tempat aku dibesarkan selama ini. Lingkungan tempat ini sangat jauh dari kata layak, banyak sampah yang berserakan di pinggir jalan, bahkan parit pun menjadi sarang nyamuk-nyamuk berbahaya.
“Assalamu’alaikum,” salamku pada penghuni rumah.
“Wa’alaikumsalam, Rio, kamu sudah pulang, Nak?” sambut Ibuku. Ia masih mengenakan mukena putihnya, mungkin ia berdzikir dulu sesudah sholat ashar tadi.
Aku pun mencium tangan Ibu. “Bapak belum pulang, Bu?”
“Belum, Nak,” jawabnya dengan suara agak serak. “Bapak mungkin masih sibuk memungut sampah di blok sebelah.”
“Oh, ya sudah. Rio mandi dulu ya, Bu.”
“Iya.”
*****
Bos menelponku malam ini untuk mengantar barang ke suatu daerah, lumayan dapat lemburan. Lelah juga sih, namun ini acuan semangatku untuk membelikan Ratna sepeda baru.
“Rio, kamu antar barang ke tempat ini, yah,” pinta bosku seraya menujukkan alamatnya.
“Oh, iya, akan saya antarkan, Pak,” jawabku. “Malam ini saya sendiri, ya?”
“Iya, satu-satunya yang bisa diharapkan malam ini ya cuma kamu, Rio. Bapak tolong, yah?”
“Iya, Pak, tenang saja. Ya sudah saya langsung antar saja barangnya.”
“Oke.”
Setelah selesai, aku pun segera menyalakan mesin mobil dan pergi ke tempat tujuan.
Dingin juga malam ini, untung saja aku memakai jaket biru pemberian ayahku. Walau sudah robek dan penuh jaitan, namun aku tetap bangga memakainya. Aku merasa ada cinta di setiap rajutan jaket ini.
Malam ini tak ada bintang, langit masih tampak mendung seperti tadi sore. Ramainya kota Jakarta membuat jalan macet di sana-sini, bahkan aku juga terjebak dalam kemacetan ini. Banyak dari mereka yang baru pulang kerja dengan mobil-mobil pribadinya. Duh, bisa-bisa aku telat sampai ke tempat tujuan, nih.
*****
Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, berarti aku lebih cepat tiga puluh menit untuk sampai ke tempat tujuan.
Aku menghentikan laju mobilku di depan sebuah rumah. Pikirku, pasti ini rumah orang kaya, tamannya saja banyak bunga-bunga, belum lagi ada air mancur yang menambah kesan sejuk di pekarangannya. Iri juga aku dengan sang pemilik rumah ini.
Begitu aku berdiri di depan pagar, aku lalu memencet bel dan memberi salam pada penghuni rumah. “Assalamu’alaikum …”
Hening, tidak ada jawaban. Apakah mereka sudah tidur? Duh, jadi merasa bersalah.
Aku coba lagi. “Assalamu’alaikum …, permisi …”
Seseorang pun mencoba membuka pintu rumah yang tingginya bagai pintu istana. “Wa’alaikumsalam …, sebentar …”
“Syukurlah mereka belum tidur,” batinku senang.
“Ada apa ya, Mas?” tanya si penghuni rumah. Parasnya masih terlihat muda, walau ia sudah mirip seperti tante-tante.
“Ini Bu, ada pesanan lima boneka beruang atas nama Lukman. Apa benar ini rumah Pak Lukman?” tanyaku.
“Oh ya, benar,” jawabnya. “Saya pembantunya, tadi Pak Lukman menitipkan barang antaran untuk anaknya pada saya.”
“Ya sudah, Bu, ini surat tanda buktinya, mohon ditanda tangani,” pintaku sambil memberikan buku surat perjalanan. Saat sang pembantu sedang mengisi tanda tangan, aku meluangkan waktuku untuk mengambil boneka dari dalam mobil.
“Ini Mas, sudah saya tanda tangani.” Ia pun memberikan tanda bukti itu padaku.
“Terima kasih, Bu, ini lima boneka beruangnya,” jawabku. “Kalau begitu saya pamit dulu, ya. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Lega juga perasaanku setelah mengantar barang malam ini, lumayan untuk tambah-tambahan uang lemburan.
Setelah selesai, aku langsung tancap gas dan pergi dari tempat ini.
*****
Makin malam makin liar saja kota Jakarta. Tidak sedikit dari para pelacur yang duduk-duduk di pinggir jalan menanti sang hidung belang datang. Aku berpikir, apakah tidak ada pekerjaan lain bagi mereka? Kenapa mereka tidak mencari pekerjaan yang halal? Ah sudahlah. Aku pun tahu, menjadi pelacur bukanlah pilihan, tapi itu tuntutan ekonomi yang mendesak mereka. Kakakku contohnya.
Miris, keluarga kecil yang dikenal ahli agama di kalangan tetangga mempunyai anak pertama yang jauh dari kesucian. Jika aib ini terbongkar, keluargaku mungkin akan diusir dari kampung. Maka dari itu aku terus menyembunyikan aib kakakku. Aku tak ingin orangtuaku bersedih lagi. Sederhana, namun sulit melakukannya.
Lupakan, tak seharusnya aku yang sedang menyetir mobil malah merenungkan hal yang membuatku kehilangan konsentrasi.
Duh, lagi-lagi aku terjebak macet, padahal ini sudah hampir larut malam, tapi kendaraan yang berlalu-lalang tidak pernah surut. Karena aku lelah menunggu, aku pun memilih untuk memutar jalan, aku tak peduli walau jaraknya dua kali lebih jauh, yang penting aku tidak pusing menunggu lancarnya jalan protokol ini.
Kemilau lampu-lampu kota yang menyinari di pinggir jalan mengiringi perjalanan pulangku ke tempat kerja, ternyata indah juga suasana Jakarta pada malam hari. Aku sangat jarang keluar malam hari, dan jika hanya menerima lemburan saja aku akan keluar, ya seperti sekarang ini.
Saat aku melewati gang kecil yang minim penerangan, aku melihat seorang wanita yang sudah tak asing lagi bagiku. Rambut hitam yang tergerai panjang itu sudah membuatku kental mengenalinya dari jauh. Dia Mbak Siska. Bersama tiga orang temannya, mereka tengah berfoya-foya berjalan di tengah dinginnya malam.
Tertawa riang, apakah dipikirannya lupa akan keluarganya yang miskin?
“Pasti ke tempat pacarnya lagi,” pikirku kesal. Ini sudah tak aneh, tempat ini adalah salah satu tempat hiburan malam di Jakarta, sudah pasti banyak para pelacur dan pria hidung belang yang menghabiskan malam di tempat ini.
Karena aku juga sudah kesal dengan gaya hidupnya, aku pun memakirkan mobilku di salah satu kios yang sudah tutup. Aku lalu keluar dari mobil dan berjalan menghampiri Mbak Siska.
Sambil berlari kecil, aku pun memanggilnya dari jauh, “Mbak!”
Ia pun berhenti berjalan, begitu juga dengan ketiga temannya yang langsung menengok ke arahku.
“Lo mendingan ke tempat itu duluan deh, gue ada perlu sebentar sama adek gue,” pinta Mbak Siska pada tiga temannya.
“Yaudah, tapi jangan lama-lama, ya?”
“Iya iya, udah sana cepet!” Dan akhirnya tiga teman Mbak Siska pergi duluan. Dari belakang tampak sekali cetakan tubuh mereka, pakaian yang mereka kenakan terlalu mencolok malam ini.
“Mbak! Mbak masih kerja kayak beginian? Katanya udahan, kan?” tanyaku sedikit emosi.
“Terus kenapa? Masalah buat lo?!” gubrisnya langsung. “Gue mau kerja ini kek, itu kek, terserah gue! Lagian uang yang gue hasilin lebih banyak daripada elu yang cuma kurir antar barang!”
“Tapi, Mbak, kalo bapak sama ibu tau kan bahaya! Atau Rio langsung laporin aja ke bapak ibu?” ancamku padanya. Aku sebenarnya sudah muak menyimpan rahasia ini.
“Lo berani ngelawan kakak lo, hah?” balasnya cepat sambil mengacungkan jari telunjuknya tepat ke arah wajahku. “Inget ya, gue bakal nyuruh pacar gue buat ngehajar lu sampe babak belur!”
“Jadi Mbak lebih mentingan pacar Mbak dari pada adik Mbak sendiri?!” ucapku lantang.
“IYA!!”
Dug ...!
Bagai pedang yang menghunus jantung, tiga huruf atas jawabannya langsung menyayat hatiku dalam. Bagaimana tidak? Ia lebih mementingkan orang lain daripada keluarganya sendiri.
“Kenapa lo diem?” bentaknya padaku yang tersendu.
“Kalo Mbak nggak nganggap aku adik, itu gapapa, seenggaknya, Mbak—”
“Heh? Please deh!” potongnya. “Lo nggak usah nuntut gue harus ini-itu! Pergi sana!”
“Terserah Mbak, Rio pokoknya udah ngingetin puluhan kali!” Setelah menatap matanya dalam, aku pun lekas pergi menuju mobil kembali, tak peduli Mbak Siska yang mencaciku dari belakang.
Kesal, ya mau bagaimana lagi untuk menghadapi kakak yang tidak mau beralih ke jalan yang benar? Apakah adiknya ini benar-benar telah dibuang dalam pikirannya?
Semenjak SMA, kakaku sudah terjun ke dunia gelap, ia mengenal narkoba dari pacarnya yang hingga sekarang masih langgeng. Dan herannya, pacarnya juga tahu kalo Mbak Siska itu seorang pelacur. Aku tak tahu apakah Mbak Siska pernah hamil atau tidak, jika pernah, mungkin ia sudah pernah mengaborsi janin di dalam rahimnya. Kasihan.
Dengan perasaan kesal, aku pun menancapkan gas ke tempat kerja.
*****
Esok harinya, sepulang kerja …
Uang lemburan kemarin rasanya sudah cukup untuk membelikan sepeda untuk Ratna. Dengan perasaan riang, aku pun berjalan menuju rumah Pak Mukhlis.
Pak Mukhlis adalah orang yang berjualan sepeda di dekat tempat kerjaku. Sepeda bekas ataupun baru ia juga menjualnya. Aku berpikir untuk membeli sepeda bekas saja, karena kualitasnya tidak kalah dengan yang baru, apalagi sepeda bekasnya juga telah dipoles ulang yang menambah kesan cantik pada si pembeli.
“Assalamu’alaikum, Pak Mukhlis …”
Pak Mukhlis yang sedang mengamplas sepeda langsung bangkit dari kursinya. “Wa’alaikumsalam, Rio, toh. Ada apa?”
“Ini Pak, saya mau beli sepeda cewek buat Ratna. Ada?”
“Oh ada!” jawabnya senang dengan segaris senyuman di bibir hitamnya. “Mau yang baru atau yang bekas?”
“Yang bekas aja deh, Pak,” pintaku.
“Tunggu sebentar, ya?” Pak Mukhlis lalu berjalan menuju tempat puluhan sepeda diparkir. Ia lalu datang kembali sambil menenteng sepeda bekas berwarna merah muda dengan keranjang di depannya.
“Wah, cocok sekali dengan warna kesukaan Ratna, Pak!” ucapku senang.
“Ini harganya Rp. 120.000,-, tidak bisa kurang, lho.”
“Umm, ya sudah, saya ambil deh,” jawabku menyepakati harganya. Aku pun merogoh uang di dompet dan menyerahkan padanya, “Ini Pak.”
“Terima kasih, ya. Ini sepedanya. Semoga Ratna jadi semangat bersekolah.”
“Hehee, iya Pak. Kalau begitu saya langsung pulang saja. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Akhirnya aku pulang membawa kado untuk Ratna, adik perempuan tercintaku. Dengan sepeda ini, aku harap ia tidak membuat orang tuaku menangis lagi karena ngambek-ngambek minta dibelikan sepeda.
Ngomong-ngomong, aku jadi memikirkan ucapan kakakku semalam. Apakah semalam ia serius mengatakannya? Atau itu hanya pengaruh alkohol yang membuat emosinya naik? Entah. Rasanya aku ingin menanyakan langsung padanya hari ini.
Setibanya di rumah, aku langsung disambut oleh keceriaan bapak dan ibu yang sedang minum kopi di halaman rumah, di sana juga ada Ratna yang menemani mereka. Waktunya sangat tepat sekali untuk memberikan kejutan pada Ratna.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam,” jawab bapak. “Kamu beli sepeda baru, Rio? Apa uangmu cukup?”
“Cukup kok, Pak, yang penting Ratna senang.”
“Yey, Mas Rio beli sepeda buat Ratna!” teriak Ratna senang. Aku, bapak dan ibu juga senang melihat anak bungsunya ini tersenyum ceria mendapati sepeda barunya. Air mata tak terbendung di hatiku, bahkan aku sempat menahan air mata melihat keluarga kecil ini bahagia.
“Nah, Ratna, kan sudah dibelikan sepeda baru oleh Mas Rio, ayo bilang ‘terimakasih’.”
“Iya, Bu. Terima kasih ya, Mas Rio, Ratna suka banget sama sepedanya,” ucapnya riang. Imut sekali adikku ini. Senyuman yang mengembang di bibirnya membuatku harus kuat menahan air mata bahagia ini. Aku harap sepeda ini membuatnya semangat dalam mencari ilmu, tidak seperti kedua kakaknya yang bodoh.
“Oh ya, apa Mbak Siska ada di rumah?”
“Tadi Mbakmu pergi, nggak tau mau ke mana,” jawab ibu.
“Kalo gitu Rio nyari Mbak Siska dulu, yah?” Dengan senyuman, aku pun langsung pergi meninggalkan mereka bertiga. Aku sebenarnya juga nggak tahu di mana Mbak Siska, tapi biasanya Mbak Siska ada di ‘gunung sampah’ setiap sore menjelang maghrib.
Dan benar adanya, dari jauh aku dapat melihat Mbak Siska sedang duduk di atas gunung sampah beralaskan ban bekas. Rambut panjang yang terurai berkibar layaknya bendera yang tertiup angin. Begitu angggun layaknya putri raja. Namun aku heran, mengapa ia sampai jatuh ke hitamnya dunia.
Aku pun menghampirinya. “Mbak …”
“Rio …”
Aku lalu duduk di sampingnya.
“Maafin Mbak ya, Rio, Mbak nggak ngomong serius ke kamu semalem,” katanya sambil memandang wajahku sendu.
“Iya Mbak, gapapa kok, Rio tau,” jawabku membalas senyum padanya.
“Mbak mau bilang sesuatu ke kamu, tapi tolong jangan bilang-bilang ke bapak sama ibu, yah?” pintanya serius padaku.
Aku bingung harus apa. “Memangnya penting ya, Mbak?”
“Sebenernya …, Mbak kena HIV, Rio,” akunya, bulir air mata pun mengalir di pipi manisnya. Wajah cantiknya seolah pudar atas kesedihannya.
“Beneran, Mbak?”
“Iya. Mbak ngecek sama temen Mbak semalem, dan hasilnya positif,” lanjutnya. Ia pun mulai menangis lebih dalam dan membaringkan kepalanya di bahuku.
“Kalo bapak sama ibu tau nanti gimana, Mbak?”
“Mbak juga bingung, Rio.”
“Tenang aja, Mbak, bapak sama ibu pasti memaafkan Mbak Siska. Mereka sangat mencintai Mbak Siska.”
“Apa mereka akan memaafkan Mbak yang hina ini? Mbak sudah kotor! Mbak pun malu, Rio!” Kembali ucapannya disertai nada isak tangisnya, aku yang duduk di sampingnya pun tak tahan menahan air mata.
“Ayo, Mbak, kita bicara pada bapak dan ibu,” bujukku padanya. “Rio yakin, ibu dan bapak pasti mengerti situasi dan kondisi Mbak selama ini. Mbak kerja juga dengan niat baik untuk menghidupi keluarga ini, cuma caranya aja yang salah.”
“Iya, Mbak nyesel selama ini.”
“Ya sudah, yuk kita pulang.” Aku pun segera menggandeng tangannya dan membawanya pulang ke rumah. Sepanjang jalan, ia terus menangis dalam penyesalan. Tak seharusnya wanita secantik Mbak Siska ini harus menelan pahitnya dunia.
Setibanya di rumah, Mbak Siska langsung berkata jujur pada bapak dan ibu. Dari ia memakai narkoba semenjak SMA, sampai ia melacur juga ia ceritakan secara rinci. Mbak Siska mengaku sudah pernah tiga kali aborsi, dan itu adalah buah dari percintaan ia dengan para pelanggannya.
Bapak sudah naik pitam, hampir saja tamparan dilayangkan pada pipi Mbak Siska, namun aku segera mencegahnya. Ibu dan Ratna pun menangis di dalam kamar, tak kuasa ternyata anak pertamanya bekerja menjadi pelacur selama ini.
Aku pun memutuskan untuk mengkarantina Mbak Siska, dan akhirnya bapak pun setuju dengan usulku. Tak ada jalan lain selain ini, aku harap virus HIV-nya tidak menular pada kami sekeluarga.
*****
Setiap hari sepulang kerja aku selalu mengunjungi Mbak Siska di rumah sakit. Aku pun juga membawakan novel untuk bacaanya di saat senggang, aku yakin dia juga bosan terhadap lingkungan rumah sakit yang penuh dengan bau obat.
Aku melihat Mbak Siska sedang duduk di taman rumah sakit, ia juga mengenakan pakaian pasien berwarna biru muda polos. Tatapannya kosong memandangi percikan air mancur di depannya. Kasihan juga melihatnya. Aku pun segera menghampirinya.
“Mbak …”
“Eh, Rio?”
“Udah baikan?”
“Lumayan. Hati Mbak udah agak tenang di sini,” jawabnya sambil melempar senyuman padaku. “Makasih ya, Rio, kalo kamu nggak menyadarkan Mbak, Mbak bisa lebih parah.”
“Iya, Mbak, Rio juga seneng akhirnya Mbak Siska udah nggak bergaul sama mereka-mereka lagi.”
“Tapi, bapak sama ibu?”
“Tenang, Mbak, mereka juga seneng dengan perkembangan Mbak Siska di sini. Bapak, ibu sama Ratna nitip salam juga, lho, ke Mbak Siska.”
“Bener? Berarti bapak udah nggak marah?”
“Obati cinta dengan cinta. Cinta orang tua pada anak nggak ada batasnya. Sebagai anak, kita harus membalas budi cinta dan kasih orang tua selama ini. Cinta orang tua abadi pada anaknya, walau sang anak tanpa sadar telah melukai hati kedua orang tuanya. Walau hanya kata ‘maaf’ yang kita lontarkan, tapi bapak sama ibu pasti mengerti kesalahan kita dan akan memaafkannya. Allah saja Maha Pemaaf, masa manusia tidak?”
“Kamu bener, Rio, sekali lagi makasih, yah.”
Dari sekian lama, akhirnya aku dapat melihat senyuman kebahagiannya lagi di wajah cantiknya.
“Iya, Mbak, sama-sama.”
================== END ==================
0 komentar:
Posting Komentar