Selamat datang di blog kepenulisan. Silakan menimba ilmu di sini dan jangan copy-paste.

"Keep writing and play your imagination" Yudha Pasca

Join Us On : LightNovel.ID


Minggu, 15 Oktober 2017

The Codex of Lucifer: Chapter 10 - Dark Memories



'Dark Memories'

Gemulai kedua kaki gadis itu telah menapak pada lantai balkon apartemen. Sayap-sayap mereka basah, begitu pula dengan gaun hitam yang mereka kenakan karena derasnya hujan yang tak kunjung reda hingga pukul dua belas tengah malam.

Napas mereka masih berat karena stamina yang dikeluarkan pada pertarungan tadi cukup banyak terkuras, lalu mereka menjatuhkan tubuh bersandar pada dinding, memandang pada gelapnya langit dengan petir yang masih terus menyambar.

Dalam mode astral ini, Chika dan Ratih dapat melihat tubuh asli mereka berdua yang masih terduduk di dalam lingkaran sihir merah. Tubuh itu tak bernyawa, hanya sebuah raga kosong yang nantinya akan terisi kembali saat mereka akan menyelesaikan astral projek ini.

“Di mana Belial?” tanya Ratih, matanya menoleh ke segala arah di gelapnya langit. Dia baru sadar saat kembalinya mereka dari medan perang menuju apartemen, Belial sudah tak berada di belakangnya.

Chika juga baru sadar Belial hilang, pandangannya pun tak berhasil menemukan malaikat jatuh itu. Padahal ada beberapa pertanyaan yang ingin Chika ajukan padanya.

“Dia telah pergi, tak mungkin dia akan ke sini,” jawab Rofocale, si kucing hitam, yang berhasil membuat Chika dan Ratih memasang ekspresi terkejut.

“Eh, kenapa?”

“Belial bergerak sendiri, tanpa diriku.”

“Jadi kau memang sebelumnya sudah tahu bahwa selain Sam masih ada iblis lainnya yang masih hidup?”

Rofocale menghela napas. “Ya. Belial, yang tak ikut serta dalam perang besar di masa lalu.”

“Tapi sebelumnya, siapa Belial itu?” tanya Chika. “Dia hebat juga bisa mengimbangi Gabriel.”

“Bisa kalian katakan Belial adalah dalang dari semua kekacauan di surga.”

“Dalang?”

“Ya, dia yang telah membujuk Lucifer untuk tak mau bersujud pada Adam, manusia pertama yang Tuhan ciptakan. Tapi memang, malaikat gagah seperti Lucifer tak pantas bersujud pada makhluk yang terbuat dari tanah menjijikan itu.”

“Jadi, Belial ….”

“Belial berkata benar,” potong Rofocale. “Lucifer adalah malaikat yang berkata sebenarnya, bahwa malaikat tak perlu tunduk pada manusia yang lemah dan berlumur dosa, yang nantinya hanya menimbulkan peperangan di bumi. Pada awalnya mereka, para malaikat sebelum berpredikat ‘malaikat jatuh’ pun bertanya pada Tuhan untuk apa membuat manusia yang nanti hanya akan membuat onar di dunia yang Dia ciptakan sendiri. Tapi sudah terlanjur juga. Karena-Nya, aku dapat bertemu kalian berdua, huh.”

Chika terdiam, dalam hati dia juga selalu bertanya untuk apa adanya eksistensi manusia jika Tuhan itu sudah sempurna dengan malaikat-malaikat-Nya. Apa Tuhan bosan lalu menciptakan manusia sebagai ‘mainan’-Nya?

Entah.

Sejak kedua orang tua Chika saling bertengkar, Chika-lah yang menjadi bahan pelampiasan mereka. Karena hal ini sudut pandang Chika berubah tentang manusia. Benar kata Lucifer, manusia itu jahat, tak seharusnya ada di bumi. Bahkan bumi tanpa manusia pun akan lebih baik. Karena manusia pula Chika merasakan sakit hati.

Mendengar jawaban Rofocale tadi Chika sudah setuju sedari SMP bahwa manusia tak seharusnya diciptakan oleh Tuhan, menurutnya itu kesalahan pertama yang Tuhan buat. Tapi jika Tuhan tak menciptakan manusia, Chika tak dapat hidup, tak dapat juga bertemu Ratih.

Hati Chika kosong, seperti ada lubang yang dapat ia rasa. Dalam gelap dia dipeluk iblisnya dari rasa sakit hati yang selalu datang setiap hari, dan itu membuatnya nyaman.

“Hey, kok ngelamun aja?” Ratih menyadari temannya tiba-tiba terdiam setelah mendengar jawaban dari Rofocale.

“Aku capek.” Chika menghela napas panjang. “Tidur, yuk. Badanku udah kangen kasur, tahu.”

Ratih hanya menggaruk rambut hitam panjangnya, dipikir-pikir ucapan Chika memang ada benarnya juga.

“Baiklah, aku akan pergi dari sini.” Sam yang masih berwujud iblis kadal merenggangkan sayapnya, dan pergi melayang menuju gelapnya langit, lalu dia hilang dalam rintik derasnya hujan.

Sam telah pergi, kini tinggal mereka berdua dan Rofocale.

Chika memejamkan mata, lalu dalam sekejap astral projeknya hilang. Jiwanya kini telah kembali ke raga asli yang kemudian tersadar dari tapanya. Tubuhnya menjadi pegal akibat pertarungan besar melawan empat malaikat surga, juga puluhan grimoire yang telah dia kumpulkan.

Dia beranjak dari duduknya, lalu merenggangkan badan ke atas dan ke samping. Menggaruk rambut pendeknya, dia lalu menenggelamkan diri ke hangatnya kasur berselimut putih. Nyaman, akhirnya dia dapat beristirahat malam ini.

Ratih juga melepas astral projeknya, dan sekarang jiwanya telah kembali ke dalam raga. Sesaat kemudian dia menarik napas panjang, dan membuangnya.

“Rofocale, aku ingin bertanya.”

Kucing hitam yang masih berada di balkon itu segera masuk ke dalam kamar. Dia terpanggil atas ucapan Ratih dan mendekatinya. “Apa?”

“Saat itu hanya Chika yang dapat melihat momen di mana dia mati, tapi kenapa aku enggak?”

Rofocale terdiam dan memejamkan mata. “Memangnya kau benar-benar ingin melihatnya?”

“Heh, Ratih penasaran?” Chika seketika bangun dari tidurnya, dan spontan bertanya begitu pada mereka.

Ratih mengangguk pelan. “Iya. ‘Kan nggak adil kalau cuma kamu doang.”

Kucing hitam itu menyetujui, dan berjalan mendekati Ratih yang masih tengah terduduk. “Baiklah, sekarang pejamkan mata.”

Sedikit penasaran, namun Ratih mengikuti perintah Rofocale.

Kembali ke masa lalu, seperti memakai mesin waktu. Ratih kini berada di sebuah bar malam yang dikerumuni keramaian manusia. Mereka berdansa mengikuti irama DJ yang memutar lagu elektro, diiringi oleh kerlip lampu laser warna-warni yang menembak ke segala arah.

Ratih tak ingat momen ini, dia sama sekali lupa, bahkan dia tak tahu bar ini ada di daerah mana. Ingin dia menggali memori ini dan memutuskan untuk berjalan di tengah keramaian.

Saat ingin menyapa seseorang, seketika itu ia tersadar dirinya tak bisa menyentuh, juga disentuh. Semua manusia di tempat ini tembus oleh badannya, seperti sebuah hologram.

Sial, batinnya. Dia tidak bisa mendapat informasi di mana ini. Dan lekas setelah itu Ratih berjalan kembali.

Sampai di sudut bar, di sana Ratih melihat sekumpulan empat lelaki muda tengah berpesta minuman sambil tertawa riang. Mabuk berkelanjutan membuat muka mereka terlihat bodoh. Mereka berpakaian serba hitam seperti anak geng motor dengan banyaknya tindikan di beberapa bagian wajah, juga tatto yang melukis kulit-kulit tubuh.

Tak hanya mereka berempat yang duduk di sofa merah itu, juga di sana ada seorang gadis berambut panjang yang menemani malam keempat lelaki muda tersebut.

“Itu … aku?”

 Ya, itu Ratih. Melihat sosok wanita yang menemani empat lelaki tersebut membuat Ratih bingung. Dia sama sekali lupa dan tak mengingat wajah mereka, juga bahkan momen ini.

Empat pria dan gadis—yang diketahui adalah Ratih dulu—itu pun beranjak dari sofa, dan pergi meninggalkan tempat dengan kondisi mabuk berat. Terhuyung-huyung mereka berjalan menuju pintu keluar, sampai terkadang menabrakkan diri ke tembok untuk bersandar.

Setelah keluar melewati pintu belakang, tibalah mereka di sebuah gang yang jalannya cukup muat dilewati satu mobil. Agak sempit, memang, dan juga cukup gelap karena lampu penerang jalan berada sekitar lima belas meter dari tempat mereka berdiri.

Di tempat ini, seorang pria berambut pendek dengan tindikan di hidung mencoba memeluk Ratih dari belakang. Dia mendekap pinggang Ratih erat dan membuat senyum picik di wajahnya.

Dalam kondisi mabuk ini Ratih masih tertawa bercampur bingung apa yang sedang ingin temannya itu lakukan, tapi Ratih tak membuat sebuah gertakan, dia malah seperti memberi lampu hijau padanya.

Pria berambut pendek itu mencoba mendekatkan bibirnya ke pipi Ratih, mengusapnya manja dengan hidung. Bau alkohol pun tercium tajam, pria itu kini tahu bahwa Ratih sudah mabuk berat.

Ratih mencoba mengelak dengan membuang pandangannya ke arah lain, namun tangan pria itu merebut dagunya dan memaksa Ratih untuk menatap wajahnya.

Seram, beringas, bercampur nafsu. Itu hal pertama yang Ratih tangkap dalam matanya yang sayu. Sekarang dia sadar walau telat.

Ratih kini memberontak, tubuhnya meronta, namun sayang dia yang mungil kalah oleh badan pria yang lebih besar darinya. Dia yang terjepit tak bisa berbuat apa-apa, berteriak pun sudah, namun hanya desir angin kosong yang menjawab.

Tak ada harapan.

Tiga rekan pria itu mulai menggerayangi tubuh Ratih. Baju polos yang Ratih kenakan dilepas paksa oleh tangan-tangan kotor mereka, sementara gadis malang ini terus memohon pada Tuhan, berharap sebuah pertolongan datang dari siapa saja yang akan hadir dari ujung lorong gang itu.

Tidak. Tidak ada yang datang.

Ratih sudah ditelanjangi di sana, tanpa sehelai benang menutupi tubuhnya dari dinginnya malam. Kini ia meratapi empat pria yang memasang wajah bak seringai setan, dan dalam duduk dia memasang posisi bertahan.

Satu pria memegang kedua tangan Ratih, mencengkramnya erat hingga menimbulkan rasa sakit, dan dua lainnya mulai meraba-raba tiap inci kulit putih mulus Ratih.

Gadis berdarah Bandung ini pun akhirnya diperkosa bergilir di belakang bar, tanpa orang lain tahu, bahkan dinding bata merah tempat dia bersandar pun tutup mata dan pura-pura bisu. Tak ada harapan gadis itu menangis, bahkan Tuhan sekalipun seperti tak mendengar doanya.

Hingga selesai, Ratih yang sudah lemah tak berdaya pun dicekoki pil putih. Tidak satu, tapi banyak. Ratih tak bisa menolak, dan pil-pil itu pun langsung masuk ke dalam tenggorokannya, tertelan habis tanpa air sebagai pembantu.

Ratih tak sadarkan diri, cahaya dalam matanya mulai pudar, pandangannya pun telah kabur. Masih bertelanjang bulat dia digendong menuju parkiran mobil, dan diletakkan di dalam bagasi. Setelahnya barulah keempat pria itu masuk ke dalam mobil, dan mesin mobil mulai dihidupkan.

Di dalam bagasi yang sempit Ratih hampir tak bisa bernapas, membuka mata juga terasa sulit. Kepalanya berat, dan semakin berat ketika mobil yang ditumpangi mengalami guncangan. Hingga pada suatu saat tubuhnya bereaksi kejang. Dada kiri terasa sakit kepanasan, perut pun seperti ditusuk panah api. Dalam derita ia tak bisa berteriak. Lalu dia merasa mual ingin muntah.

Hingga sampai di sebuah desa yang gelap, mesin mobil pun dimatikan, para preman itu memarkirkannya di pinggir sawah.

“Turun. Gotong dia,” pinta si supir, dan ketiga rekannya pun keluar dari mobil.

Bagasi dibuka, tubuh Ratih pun dikeluarkan. Entah gadis yang sedang mereka gendong itu sudah mati atau belum, yang pasti mereka membawa tubuh Ratih ke tengah sawah, dan membuangnya begitu saja tanpa memakaikannya sebuah pakaian atau kain penutup tubuh.

Minimnya pencahayaan membuat aksi mereka berjalan mulus. Setelah membuang Ratih, mereka bertiga pun kembali masuk ke dalam mobil, dan cepat-cepat pergi dari tempat ini.

Keesokan harinya, seorang petani menemukan tubuh seorang gadis muda sudah memucat kaku di tengah sawah. Diperkirakan masih berstatus pelajar, namun bukan salah satu dari warga mereka. Kemungkinan mayat dari daerah lain yang dibuang di sini.

Warga sekitar berebut tempat untuk melihat, walau dari jalan pinggir sawah sudah ditutupi garis dilarang melintas. Antusias mereka begitu besar, karena mungkin baru kali ini ada kasus pembuangat mayat di tempat ini.

Jasad Ratih pun segera dibawa tim penyidik forensik untuk diidentifikasi.

Melihat itu semua, Ratih yang sekarang merasa tak percaya. Dia mati setelah diperkosa, lalu jasadnya dibuang begitu saja tanpa dosa.

Sebegitu kejamnya kah manusia? Sebinatang itukah manusia?

Tidak … tidak!

Ratih menjambak rambut hitamnya, terjatuh, berlutut di atas tanah melihat memori kelam saat hari kematiannya. Dia tak percaya kenapa sebegitu hinanya dia mati, apa memang tak ada cara lebih baik lainnya?

Dia menangis, air mata itu terus mengalir di pipi tirusnya. Di mana Tuhan kala itu? Apa Tuhan tidur? Apa Tuhan buta? Ke mana Dia saat Ratih butuh pertolongan?

“Aaaaaaaaakh!”

Percuma dia menjerit, tak ada satupun warga di sana yang akan mendengarnya.

Lalu memori itu runtuh, semua latar tempat dia terduduk menjadi hitam, lalu kembali ke dalam apartemen Chika. Rofocale telah mencabutnya, dan mengembalikan jiwa Ratih.

Ya, Ratih masih menangis, tak mau berhenti. Isak tangisnya terdengar di malam yang masih diguyur hujan ini.

Chika yang tak tahu apa-apa mencoba menenangkan Ratih, namun gadis berambut panjang itu malah menepis tangan Chika, seakan Ratih tak ingin tangisnya ini diganggu siapapun.

“Kamu kenapa?”

Ratih bangkit dari duduknya, dan tanpa menjawab pertanyaan Chika, dia lekas keluar dari kamar ini, dan menuju kamarnya sendiri.

Rofocale yang tahu semuanya hanya diam, bahkan saat Chika bertanya pun Rofocale tak ingin menjawab. “Sudah kubilang, manusia itu tak pantas ada. Sebuah kesalahan Tuhan menciptakan kalian.”

Setelah si kucing hitam berkata begitu Chika segera beranjak dan ingin mengejar Ratih.

“Percuma!” teriak Rofocale. “Kau tak perlu mengganggunya. Biarkan dia!”

Chika mengelak, “Tapi dia temanku!”

“Mau dia teman atau saudara, beri dia ruang untuk merenung tentang masa lalunya. Yang sekarang dia butuhkan adalah jarak. Dia mungkin tidak sekuat dirimu.”

Dan Chika terdiam, dia membatalkan niatnya untuk mengejar Ratih.

Malam ini berakhir tanda tanya di kepala Chika, dia tak mengerti apa-apa. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, Chika saat itu juga seperti Ratih sekarang ini, namun tak begitu parah sampai tak ingin mendengar ucapan temannya.

Gadis berambut pirang itu berjalan menuju balkon yang belum ditutup pintunya, menatap pada langit gelap di sana yang terus memancarkan kilat petir. “Jadi … cara bagaimana Ratih mati itu lebih parah dariku, ya. Pantas saja dia diam.”

Pintu balkon segera ditutup, dan dia lekas kembali ke kasurnya untuk tidur.


* * *

Pagi yang mendung, hujan telah berenti sedari subuh tadi, dan kini hanya menyisakan udara dingin dan angin yang bertiup nakal mengibas rambut-rambut para pejalan kaki. Sejuk bak daerah pegunungan, sangat jarang udara Jakarta terasa menyegarkan hari ini.

Chika yang lengkap mengenakan seragam putih abu-abunya sudah siap untuk berangkat sekolah. Baju dimasukkan, rok pendek sedengkulnya pun dikalungi sabuk hitam, dan tak lupa juga dasi yang tergantung di lehernya. Dia begitu cantik, tapi sayang banyak manusia yang buta warna, termasuk orang tuanya.

Chika menunduk lesu di depan cermin, mengingat masa lalunya yang mati bunuh diri karena dia tak tahan dengan tekanan orang tuanya. Mengingat tingkah Ratih semalam, dia merasa sedikit bersalah, padahal dia tak melakukan apa-apa.

“Entah. Derita Ratih mungkin lebih besar dari yang kurasa,” pikirnya lagi.

Tas yang sudah diisi mata pelajaran untuk hari ini terpanggul di bahu. Dia pun lekas keluar dari kamar ini setelah mengikat tali sepatunya.

Begitu keluar dia menghapiri kamar nomor 142, tak jauh dari tempatnya berada.

Pintu diketuk bersama dia memanggil Ratih untuk berangkat sekolah bersama, namun yang didapat bukan Ratih yang membuka pintu, malah ibunya yang masih menggunakan celemek dapur.

Wanita tua berambut panjang itu menjelaskan, “Kayaknya Ratih hari ini nggak masuk sekolah.”

“Lho kenapa?” Chika memasang ekspresi bingung, terpikir kejadian semalam yang mungkin menjatuhkan mentalnya.

“Nggak tahu, dari malam dia nggak mau buka pintu kamar, padahal Tante udah masak makanan favoritnya tadi.” Ibunya pun mengeluarkan sebuah amplop putih dari kantung celemek. “Ini surat izin nggak masuk sekolah, tolong kasih ke gurunya, ya.”

Ternyata benar dugaan Chika, dia pun menghela napas sebelum membalas, “Ya sudah, nanti Chika beri tahu bu guru.”

Setelah menerima surat, Chika mencium tangan wanita tua itu. Terasa harum bumbu dapur, memang. Dan terbesit andai ini dilakukannya setiap hari dengan ibu kandungnya, mungkin hidup ini terasa indah.

“Chika pamit, ya.”

“Iya, suratnya jangan lupa dikasih.”

Beranjak dari tempat, Chika segera berjalan menuju lift yang juga sedang ditunggu oleh para penghuni apartemen ini. Mereka telah berpakaian rapi dengan jas dan dasinya, dan siap berangkat ke kantornya masing-masing.

Ya, Chika yang paling muda di antara mereka.

Setelah sampai di lobi apartemen, gadis berusia 16 tahun ini berjalan menuju pintu keluar bersama dengan lainnya.

Saat tiba di luar, hawa sejuk langsung menyapa, menggelitik leher mungilnya yang terkalungi neck bracelet hitam. Untung saja dia menyelimuti tubuhnya memakai jaket, sehingga dingin yang terasa sedikit berkurang.

Pepohonan rindang yang tertanam di pinggir jalan meneduhkannya, harum yang tercium sangat ia sukai, wangi sisa hujan bekas semalam. Mungkin hanya mereka yang akan menemani perjalanan Chika hingga sampai ke sekolah.

Sesejuk embun pagi, senyum itu merekah menjalani hari, walau dia tahu semua akan berjalan sama saja. Hari tanpa Ratih mungkin akan membuatnya sepi saat di sekolah, karena hanya Ratih-lah teman satu-satunya yang Chika miliki.

Punggung Chika sebenarnya terasa pegal. Tidur jam satu lalu bangun subuh, dalam hati dia masih ingin sekali tidur di kasurnya. Ini semua gara-gara tiga malaikat sialan yang tetiba muncul membantu Raguel. Anda mereka tak datang, mungkin Raguel telah mati, dan kekuatan militer Metatron berkurang.


* * *


Di sebuah ruangan besar berdinding putih, beberapa malaikat telah duduk di kursinya masing-masing. Meja panjang itu telah ramai dan rapat pun sebentar lagi akan dimulai.

Malaikat berjubah merah darah itu duduk memimpin, sementara yang lain memandang dirinya penuh dengan hormat. Yakni Michael, Sang Jenderal Perang, kedua matanya melirik ke para peserta yang telah hadir ke tempat ini.

Rapat pun dimulai dengan Michael. “Menurut laporan yang kuterima, iblis utuh masih tersisa tiga di alam semesta ini. Rofocale, Samael, dan Belial. Dan iblis jadi-jadian adalah Lilith dan Succubus. Hanya lima yang sekarang dapat terdeteksi.”

Raguel menambahkan, “Dan semua berkumpul di Jakarta, Indonesia. Kemungkinan besar bahwa markas mereka ada di daerah tersebut.”

“Raguel benar,” tanggap Sandalphon, si malaikat berjubah hijau. “Aku sudah menyusun rencana untuk menguak di mana markas mereka berada.”

Michael memiringkan kepala. “Rencana apa itu, wahai Sandalphon?”

“Aku meminjam satu malaikatmu, yakni Raguel jikalau berkenan. Aku akan mengirim Raguel ke bumi, menyamarnya menjadi manusia. Iblis jadi-jadian yang Rofocale bangkitkan, menurut informasi yang kuterima, mereka adalah wanita muda. Terlihat dari warna kulit yang putih juga rambut yang masih berkilau. Dari ciri-ciri yang kami dapat, kemungkinan mereka adalah pelajar atau wanita kantoran dengan umur berkisar 15 sampai 25 tahun.”

“Silakan jika kau ingin memakai Raguel dalam misi ini,” jawab Michael. “Tapi ini terlihat bahaya, karena Belial bukan iblis sembarangan, bahkan dia bisa mengimbangi Gabriel.”

“Hei, kau menganggapku lemah?!” potong Raguel sedikit tak terima.

“Terima saja bahwa kau masih lemah, Raguel.”

Dan Raguel terdiam, menghela napas panjang tak membalas. Kalau saja bukan Michael yang menjawab, mungkin ruangan ini sudah menjadi lautan api.

Michael lanjut bertanya, “Jadi bagaimana kau akan mencari para iblis itu, wahai Sandalphon? Karena kita tahu, mantera yang Rofocale pakai melindungi mereka dari mata Tuhan.”

“Raguel mempunyai sampel rambut iblis jelmaan Lilith yang sempat jatuh saat pertarungan semalam. Dengan ini, aku akan mengirim anak buahku untuk melacaknya. Selanjutnya jika sudah ketemu, akan kumasukkan Raguel ke dunia manusia, lalu membuat manusia setengah iblis itu memberitahu di mana markas mereka. Terlihat mudah, tapi aku tahu nanti tak akan semudah yang telah aku ucapkan.”

“Bagus jika begitu.”

“Tapi tidak hanya mereka yang menjadi incaranku, wahai Michael.” Malaikat berjubah biru itu membuka mulut dari diamnya. Raut wajahnya terlihat serius memandang sang ketua rapat.

“Apa itu, wahai Gabriel?”

“Kau tahu, Rofocale memegang buku yang saat ini menjadi pedoman misinya. Yakni The Codex of Lucifer. Kodeks milik Lucifer yang di sana tertulis lengkap rahasia-rahasia Tuhan yang seharusnya tak boleh bocor, tapi setelah dia diusir dari surga, buku itu kini berada di tangan Rofocale.”

Setelah mendengar sanggahan Gabriel, Michael memegang keningnya yang terdapat dua tatto titik hitam. “Kau benar juga, itu sempat aku pikirkan juga, tapi …”

“Tapi apa?”

“Ini tak akan mudah. Kau tahu, kemungkinan besar Rofocale akan membunuh dua bonekanya itu jika mereka buka mulut di mana letak markas mereka. Maka dari itu, tolong gunakan cara halus agar Rofocale tak mengetahui penyamaran Raguel.”

“Baik. Dimengerti, Komandan.”

“Setelah The Codex of Lucifer itu kita dapatkan, kita harus segera menghancurkannya, karena tidak boleh ada satupun dari kita yang boleh mengetahui rahasia Tuhan, atau kita akan bernasib sama dengan Lucifer.”

“Tapi bahkan, kita tak tahu bagaimana rupa buku itu, benar bukan?” tanya Raguel. Ungkapan yang dia lontarkan memang benar, dan cukup membuat hening ruang rapat ini untuk beberapa detik. Di surga ini hanya ada satu malaikat yang mengetahui wujud buku tersebut, yakni Metatron.

“Haruskah kita tanyakan padanya?” sela Uriel bertanya.

“Tidak, bahkan Metatron pun tak ingin dia memberitahu buku itu pada kita, karena siapapun, kecuali dia, tak boleh ada yang tahu identitas buku terlarang itu,” jawab Michael. “Bagaimanapun juga, walau kita tak tahu bagaimana rupa buku itu, buku itu harus dihancurkan setelah kita berhasil mendapatkannya. Hanya itu yang Metatron sampaikan padaku.”

Dan para peserta rapat hening kembali.