Selamat datang di blog kepenulisan. Silakan menimba ilmu di sini dan jangan copy-paste.

"Keep writing and play your imagination" Yudha Pasca

Join Us On : LightNovel.ID


Jumat, 11 Agustus 2017

The Codex of Lucifer: Chapter 07 - Samael





'Samael'


Kuil batu berdinding hijau itu berdiri kokoh di atas puncak gunung salju. Beberapa malaikat terlihat hilir-mudik terbang dengan sayap-sayap putihnya, mereka keluar-masuk bergantian setelah menerima tugas maupun yang ingin melapor tugas.

Malam yang indah, malam yang cerah di puncak gunung Elbrus, Rusia. Bintang-bintang di langit dapat terlihat jelas layaknya berkumpul menjadi sebuah galaksi. Semua pendaki telah memasang tenda, dan lampu penghangat dinyalakan, membuat bayang mereka nampak sedang bersitirahat mengumpulkan tenaga untuk melanjutkan pendakian esok hari.

Di malam yang dingin ini, sebuah ekor api terlihat terbang melintang di atas garis cakrawala. Terang warnanya itu turun menukik dari surga menuju puncak gunung. Yakni Raguel yang hari ini dipanggil oleh Sandalphon mengenai penyelidikan darah iblis sebelumnya.

Dia terbang masuk ke dalam kuil seperti malaikat-malaikat lainnya, lalu mendarat dan kemudian berjalan menghampiri meja Sandalphon.

Sandalphon, malaikat berjubah hijau itu masih sibuk dengan puluhan tumpukan dokumen di atas meja. Dari kejauhan dia telah mengetahui bahwa ada sesosok malaikat yang sedang datang menghampiri.

Raguel berhenti, mengambil jarak beberapa jengkal dari meja coklat Sandalphon. “Wahai Sandalphon, berita apa yang ingin kau berikan kepadaku?”

Setelah mendengar pertanyaan tersebut, Sandalphon menghentikan aktivitas menulisnya, dan menaikkan dagu menatap Raguel. “Ya, Raguel. Mengenai tongkat guntur dengan darah iblis itu.”

“Jadi, darah siapa itu?”

“Succubus,” jawab Sandalphon. Pulpen yang masih dipegang pun dilepas terbaring di atas kertas. “Namun entah…, darah itu terasa bukan seperti darah iblis pada umumnya.”

Raguel tak mengerti ucapan Sandalphon. Dengan wajah penasaran dia bertanya dengan tegas, “Maksudmu apa? Iblis jadi-jadian?”

Sandalphon mengangguk. Rupanya Raguel mempunyai pemikiran yang sama. “Dugaanku pun begitu.”

“Jadi maksudmu, ada iblis jadi-jadian di bumi? Aku tak mengerti ini.”

“Sudah pasti ini ulah Rofocale yang dulu melarikan diri dari pertempuran, dan bersembunyi di bumi.”

“Rofocale, huh? Langsung pada intinya saja.”

“Baiklah.” Sandalphon menegakkan punggung, mimik wajahnya menjadi serius kali ini. “Besar kemungkinan bahwa Rofocale sedang membangun ulang pasukan iblis. Darah iblis pada tongkat yang kau temui bukan darah iblis sempurna, namun campuran darah manusia.”

“Manusia? Jadi…, manusia setengah iblis?”

“Tepat sekali.” Sandalphon mengangguk kecil. “Pembangkitan iblis secara sempurna membutuhkan kekuatan besar, namun jika membangkitkan separuh kekuatannya, maka yang dibutuhkan hanya sebuah mantera pemanggilan, contoh DNA iblis, dan makhluk hidup sebagai inangnya.”

“Dari mana kau bisa tahu banyak, Sandalphon?”

“Itu adalah kekuatan yang Lucifer sendiri ciptakan, dan Rofocale telah mewarisinya. Metatron yang memberitahuku.”

“Begitu. Lalu, jika ini darah manusia, tentu ini mempermudah kita untuk menyelidiki siapa manusia tersebut, bukan? Dan juga di mana Rofocale bersembunyi selama ini.”

Sandalphon pun membantah, “Tidak semudah bayanganmu, temanku.”

“Hah?”

“Manusia yang Rofocale jadikan iblis dilindungi oleh mantera sigil, bahkan Tuhan sekalipun buta, tak tahu siapa manusia tersebut.”

“Bahkan oleh Tuhan? Ini gila!” Raguel mengerutkan alis matanya. “Aku harus segera mencarinya!”

Sebelum Raguel beranjak pergi, Sandalphon segera mencegah. “Tak perlu terburu-buru, wahai Raguel.”

“Lalu kalau begitu apa rencanamu?”

“Menyamarlah menjadi manusia.”

“Hah? Untuk apa?”

“Pergilah ke daerah Jakarta di mana kau menemukan tongkat itu. Carilah manusia yang menurutmu bertingkah laku seperti iblis, dan analisis pahala serta dosanya. Tuhan memberi kita mata malaikat yang mampu melihat pahala dan dosa manusia dari auranya.”

Raguel mengangguk. “Untuk saat ini jadi itulah rencanamu. Baiklah, kalau begitu aku permisi dulu.”

“Silakan.”


***


Hari berganti malam, tepat pada pukul sembilan pintu kamar apartemen Chika diketuk. Di baliknya adalah Ratih, si gadis berambut panjang yang sedang memakai headphone, mendengarkan lagu Yellow Card yang sudah berjam-jam terputar. Dia sudah berjanji bahwa malam ini akan berburu banyak iblis dengan partner kerjanya.

Tak lama Chika pun membuka pintu, dan mempersilakan Ratih masuk. Saat pintu ditutup, Ratih pun terkejut. Dia menarik napas panjang sebelum berkata, “Siapa cowok itu?!”

Tatapannya terarah pada Sam yang duduk di sofa, pria itu sedang asyik menonton acara drama di televisi. Ratih segera memasang kuda-kuda, berpikir bahwa Sam adalah ancaman, mata-mata malaikat yang mewaspadai pergerakan Chika.

“Masuk saja, nanti kujelaskan,” jawab Chika menenangkan, dan Ratih terbingung saat melepas kuda-kudanya. Mereka berdua pun masuk ke dalam. Di sana juga ada Rofocale yang sedang duduk di samping Sam.

Sam yang mengetahui kehadiran Ratih mulai memperhatikannya. “Jadi kau temannya Chika, ya?”

Ratih hanya menelan ludah. Dari aura yang terasa, terdapat gelombang aneh yang membuat pikirannya sedikit bentrok. “Iya. Kau siapa?”

Sam beranjak dari sofa dan memperkenalkan diri. “Aku Sam. Samuel, dari jelmaan Samael.”

Sedikit mundur mengambil jarak, Ratih terkejut mendengar jawaban Sam. “M-maksudmu…, iblis?”

“Ya.”

“Kukira hanya tinggal Rofocale saja yang masih hidup.”

“Sudah cukup basa-basinya?” sela Rofocale, lalu mematikan televisi dengan remot. “Kita harus berburu malam ini.”

“Apa Sam juga ikut?” tanya Ratih, dan Sam pun mengangguk. “Tapi bukannya ini berbahaya? Maksudku, memperlihatkan pada malaikat bahwa bukan hanya Rofocale yang masih hidup.”

“Justru ini akan semakin menarik!”

“Eh?” Ratih terbingung, menggaruk dagu. “Ya, terserah, sih.”

“Kalau begitu mulai saja ritualnya,” kata Sam, dan dia pun berjalan ke luar ruangan. “Aku menunggu pada balkon.”

Ratih dan Chika mengangguk. Lampu kamar lalu dimatikan. Ratih membuat lingkaran sihir dengan kapur merah yang sudah tersedia, dan Chika mengambil beberapa perlengkapan di dalam laci. Setelah semua siap, ritual pun dimulai dengan mantera yang dirapalkan.

“Kau yang dari langit, Kau yang jatuh ke bumi. Kau utusan surga, namun terbuang dengan sayap patah-Mu. Kirim aku dendam-Mu, kubalaskan satu per satu..., pada tiap darah yang tertumpah!

Aku, hamba-Mu yang akan setia hingga akhir hayat tunduk pada segala perintah-Mu. Berikan aku mahkota indah-mu! Bawakan tulang dan darah itu padaku, satukan dengan darah dagingku!

Aku adalah Kau! Dan Kau adalah aku!”

Sesaat kemudian aura hitam menyelimuti tubuh mereka, mengubah pakaian tidur itu menjadi gaun hitam dengan topeng wajah menutup mata. Pedang milik Chika dan sabit milik Ratih malam ini haus akan darah, dan sepertinya mata pisau mereka lebih tajam dari malam-malam sebelumnya, berkilau terpantul cahaya bulan.

Sepasang sayap hitam menyembul dari pungung-punggung mereka, menerbangkan bulu-bulu yang rontok jatuh pada lantai. Setelah itu, mereka berdua pun terbang bebas keluar dari apartemen, menuju langit malam Jakarta yang bulannya sudah menunjukkan purnama.

Sam tak hanya berdiam diri setelah dilalui oleh kedua gadis tersebut. Seketika kulit tubuhnya berubah merah, dan tulang-tulangnya berubah struktur. Gigi-gigi itu menunjukkan taring tajamnya dengan seringai penuh dendam, dan cakar-cakar itu siap mencabik siapa saja yang mencoba mencegahnya.

Sam telah berubah sepenuhnya menjadi iblis bertanduk dua. Dia pun segera terbang dengan empat sayap hitamnya, menyusul Chika dan Ratih yang sudah terbang terlebih dahulu.

Kemunculan Sam di belakang Ratih membuat Ratih terkejut melihat perwujudan asli Samael. Batinnya sedikit gemetar melihat betapa beringasnya jika Sam berada di posisi lawan.

“Kita bagi tugas,” kata Chika yang membuyarkan lamunan Ratih. “Aku ke arah jam sembilan, Sam ke arah jam dua belas, dan Ratih ke arah jam tiga. Mulai!”

Setelah diperintahkan, mereka bertiga pun berpisah, terbang dengan kecepatan kilat yang tak bisa dilihat dengan mata telanjang.

Dari pandangan Chika, terlihatlah lima malaikat yang sedang turun ke bumi membawa grimoire-grimoire dalam pelukannya. Pedang besar yang digenggam seakan berbicara bahwa dia sangat lapar, dan butuh asupan ekstra.

Dari kejauhan, malaikat itu mengetahui kehadiran Chika yang mencoba datang mendekat dengan sepasang sayap hitamnya. Kelima malaikat itu berhenti, dan menyiapkan masing-masing tongkat gunturnya.

Petir-petir putih-kekuningan menyambar di kolong langit Jakarta, dan Chika pun bermanuver menghindarinya. Begitu cekatan, bahkan tak ada satu serangan malaikat yang berhasil menggores kulit putihnya.

Pedang besar itu diayunkan ke belakang punggung, membuat aura hitam berkumpul menyelimuti mata pisaunya. Begitu saat aura tersebut sudah terasa tebal, pedang itu pun dihempas, ditebas mengarah pada lima malaikat-malaikat di sana.

Kelimanya mencoba menghindar, dan berhasil. Serangan Chika yang satu ini memang dahsyat daya hancurnya, namun terkesan lambat.

“Sial,” gerutu Chika, dan mencoba mengejar serangga-serangga itu lagi.

Dengan tongkat guntur yang diacungkan ke langit, malaikat-malaikat itu kembali melancarkan serangan dengan petir-petirnya, namun jumlah mereka kini bertambah menjadi dua belas saat yang baru saja turun dari surga mellihat adanya pertarungan sengit.

Chika dikeroyok dari segala arah, dan petir-petir itu terus menyambar, mencoba menghanguskan tubuh jelitanya.

Karena serangan jarak jauh kurang mempan, kali ini Chika mencoba serangan jarak dekat dengan terbang ke salah satu malaikat. Mencari celah dengan melewati petir-petir itu memakan penglihatan ekstra, dia harus tetap waspada jika tak ingin mati muda.

Satu malaikat berhasil didekati, dan dia melawan dengan tongkatnya. Chika menghilang dari pandangan malaikat itu, dan ekspresi wajahnya nampak terkejut saat aura Chika ternyata sudah berdiri di belakangnya.

“Mati saja!” bisik Chika di telinga malaikat itu, bersamaan dengan ayunan pedang yang dilayangkan membelah tubuh malaikat tersebut menjadi dua bagian simetris.

Melihat itu, malaikat-malaikat lainnya menjadi geram, dan mencoba mendekati Chika dengan serangan jarak dekat, serta beberapa lainnya tetap menyerang dari jarak jauh.

Chika terbang zig-zag menghindar dengan kecepatan yang tak bisa dilihat dengan mata manusia, bahkan malaikat-malaikat itu tak bisa membacanya. Tahu-tahu tubuh mereka sudah terbelah lagi menjadi bagian yang simetris dengan darah merah yang bercucuran.

“Lezat!” gumam Chika menjilati mata pedangnya yang bersimbah darah, menatap malaikat yang masih hidup dengan pandangan laparnya.

“Terus serang!” seru malaikat yang mencoba datang mendekat.

“Bakar dia!” balas temannya yang kembali mengeluarkan petir-petir surga.

Gagang pedang itu kembali digenggamnya erat, dan Chika merasa hormon adrenalinnya kian naik bersamaan dengan jumlah malaikat yang semakin bertambah. Kira-kira sekarang menjadi tiga puluh ekor yang sedang mengepungnya dalam lingkaran.

Tak ada rasa takut, malah malam ini menjadi semakin seru batinnya. “Majulah kalian, dasar kutu sofa!”

Sementara itu di tempat Ratih pada waktu yang sama, gadis berambut panjang ini juga tengah bersiteru dengan puluhan malaikat, mencabik-cabik mereka menjadi beberapa bagian dengan sabitnya, berbeda dengan Chika yang menyukai bentuk simetris sempurna.

Petir-petir surga terus menyambar, namun itu bukan perkara sulit untuk Ratih hindari. Elemen Ratih yang juga berupa petir balas menyambar petir dari malaikat, dan elemen negatif pun berbenturan dengan elemen positif, lalu menciptakan ledakan petir ke mana-mana.

Kepulan asap itu dimanfaatkan Ratih sebagai pengalih pandangan, hingga pada saat yang tepat, Ratih pun sudah muncul di belakang malaikat, dan menyayunkan gagang sabitnya itu.

“Mati saja!”

Dan bahu malaikat itu sobek, melintang miring menuju pinggang dengan darah merah yang melayang. Namun Ratih belum puas, masih banyak malaikat yang harus dibunuh dan diambil grimoire-nya.

Dia merasa bahwa lawan bukannya makin sedikit malah makin bertambah tiap menitnya. Beberapa malaikat yang baru turun dari surga rupanya ikut membantu pertarung ini, mengepung Ratih dari segala arah. Bukannya merasa makin terdesak, Ratih malah merasa ini akan semakin mengasyikkan.

“Kalau begitu, rasakan yang satu ini!”

Gagang sabit ia acungkan ke atas. Seketika itu langit malam Jakarta yang mulanya indah berbintang kini pudar menghitam. Awan-awan itu memancarkan kilat-kilat yang menyambar deras ke ujung sabit Ratih.

Petir-petir merah-kehitaman itu berkumpul menjadi sebuah bola yang berputar di atas gagang sabit. Massa yang tadinya kecil dan ringan kini telah menjadi besar dan berat. Kilau bola itu memancar terang bak lampu dalam gelap.

Malaikat-malaikat yang tadi menyaksikan tak mau tinggal diam, mereka segera menghampiri Ratih dengan serangan jarak dekat, dan beberapa melakukan sambaran petir surga dari jarak jauh.

Melihat malaikat-malaikat itu mulai bergerak, Ratih pun melancarkan serangan spesialnya. Dengan satu hentakan, bola petir itu pun meledak.

“Enyah saja!”

Bola hitam itu pun meledak keras, menciptakan sambaran petir yang menyerang ke segala arah, seperti akar serabut yang merambat pada tanah. Malaikat-malaikat di dekatnya seketika mati gosong sebelum menjadi butiran-butiran cahaya.

Serangan maha dahyat itu berhasil menghabisi seluruh malaikat yang mengepungnya tanpa sisa, bahkan dentuman itu pun di dengar oleh Chika yang berjarak 95km jauhnya.

Jika Chika dan Ratih berhasil mengalahkan puluhan malaikat, hasil itu berbanding terbalik dengan Sam yang sama sekali belum membunuh satupun makhluk penghuni surga tersebut.

Sekarang di hadapan Sam melayanglah sesosok malaikat berjubah merah. Pedang gergaji itu dengan gagah terpangku di pundaknya. Yakni Raguel yang datang sendirian, karena dia tahu bahwa akan ada perburuan malam ini di langit Jakarta, seperti apa yang telah dia prediksi sebelumnya setelah berbincang dengan Sandalphon kemarin.

Pedang gergaji itu diacungkan lurus ke wajah Samael yang melayang tiga puluh meter jauhnya. “Kukira hanya Rofocale yang masih hidup! Apa-apaan ini, Samael?!”

“Apa kabar, Raguel? Kau masih angkuh sejak terakhir kali kita bertemu,” sahut Sam. “Tapi malam ini akan kubuat kuburanmu di Jakarta!”

Masih mengacungkan pedangnya, Raguel bertanya, “Jelaskan apa tujuanmu?”

“Tentu membantu kedua gadis itu berburu malam ini.”

“Bukan itu!” bantah Raguel, pedangnya pun diayunkan, dan kembali mendarat di pundaknya yang berotot kekar. “Misimu dengan Rofocale. Ada hal ganjil di mana kau baru saja menampakkan diri semenjak kejadian itu.”

“Oh, ya?” Sam memiringkan kepala lonjongnya. “Tentu aku akan membangkitkan kerajaan iblis seperti sedia kala. Membangkitkan seluruh temanku, sahabatku, dan juga yang terpenting adalah…, rajaku!”

Petir menggelegar hebat setelah Sam menyelesaikan ucapannya, lalu rintik hujan pun turun menyirami kawasan Semanggi, membuat manusia di bawahnya harus berteduh diri.

“Kalau begitu enyah saja!”

Raguel memantapkan genggaman pedangnya, dan melakukan kuda-kuda. Setelah itu dia pun terbang dengan sepasang sayap putihnya menuju Sam yang malah tertawa dengan seringai lebarnya. Pedang gergaji Raguel pun menyala merah pada tiap mata pisaunya, dan lalu diayunkan setelah jarak dia dan Sam telah dekat.

Dari telapak kanan Sam muncullah lingkaran sihir hitam, berputar pelan yang lama-lama cepat. Lengannya masuk ke dalam lingkaran sihir itu, dan sebuah senjata seperti ditariknya dari dalam, lalu menghentikan laju Raguel yang datang mendekat.

Serangan mereka tabrakan. Sam mengeluarkan pedang langsing bergagang panjang, menyala merah serupa lava. Tatapan mereka bertemu, untuk pertama kali sangat dekat Raguel melihat dendam dalam mata Sam, dan sama halnya Sam melihat dendam dalam bola mata Raguel.

Kekuatan dorongan pedang mereka terasa imbang, lalu mereka berdua pun saling menarik pedang, dan mengambil langkah mundur. Jarak mereka kini terbentang sejauh lima puluh meter.

Sam mengacungkan pedangnya ke atas mendungnya langit, lalu pedang itu pun nyala terbakar. Tiba-tiba muncullah bola-bola api mengelilingi Sam, menari melingkari sang majikan. Pedang lava pun diayunkan, dan seketika bola-bola api itu melayang cepat menuju Raguel.

Bermaksud mempertahankan posisinya dan tak menghindar, Raguel pun mengeluarkan tameng salib sesaat setelah dia mengayunkan tangan kirinya.

Bola-bola api Sam pun berhasil dipatahkan, dan Raguel masih berdiri kokoh.

Setelahnya Raguel segera melesat cepat menuju Sam. Dia lebih suka pertarungan jarak dekat. Pedang gergajinya menyala lagi, merah membara.

Sam yang melihat datangnya Raguel pun tidak tinggal diam. Dengan pedang lavanya, diapun bermaksud membenturkan pedang miliknya lagi dengan Raguel.

Dan alhasil kedua pedang itu pun beradu kembali, menciptakan percikan api merah dan hitam yang tak padam walau tersiram derasnya air hujan.

“Setelah beribu-ribu tahun lamanya tak menggunakan pedang ini, akhirnya aku dapat nostalgia,” ucap Sam menatap mata Raguel tajam. “Jangan membuatku kecewa, babu Tuhan!”

Mendengar ucapan Sam membuat Raguel menggertakkan giginya. “Dasar makhluk pembawa malapetaka, enyah saja di neraka!”

Mereka kembali menarik mundur pedangnya masing-masing, dan berdiri dengan jarak sejauh tiga puluh lima meter. Agak dekat dari posisi sebelumnya.

Tak mau diam, Sam pun segera mengacungkan pedangnya lagi ke atas hingga terbakar, dan bola-bola api kembali tercipta menari mengelilinginya. Hanya dengan satu ayunan, tiga bola api tersebut pun melaju berbaris menuju Raguel yang belum punya persiapan.

Dalam bola mata Raguel, bola-bola api milik Sam itu terlihat deras datangnya. Namun hanya dengan mengayunkan tangan kiri, tameng salib emas pun tercipta kembali, dan menghancurkan bola-bola api itu layaknya piring kaca yang pecah mencium lantai.

Rupanya bola api itu hanya sebuah pengalihan, Sam sudah terbang bebas, bahkan sebelum bola-bola api itu hancur menabrak tameng salib. Dengan pedang lavanya, Sam yang sekarang berjarak hanya sepuluh meter di samping kanan Raguel pun mengayunkan pedangnya.

“Ergh!”

Suara decak kesal keluar dari bibir Raguel, sedetik saja dia lengah, sayap kanannya mungkin sudah terpotong oleh pedang lava Sam.

Raguel mundur beberapa langkah, mengambi sedikit jarak, lalu balik menyerang dengan mengayunkan pedang gergajinya pada Sam.

Sam mencoba menangkis, kedua pedang itu kembali berbenturan.

Di samping itu, dari arah jam tiga dan sembilan nampaklah dua makhluk yang terbang mendekat dengan sayap-sayap hitamnya. Chika dan Ratih rupanya telah selesai dengan serangga-serangga tadi, dan sedang dalam perjalanan mendekati ke medan pertempuran ini.

Chika berhenti, dia mengayunkan pedang besarnya ke belakang punggung, dan mengumpulkan energi negatif dari alam. Energi hitam itu menyelimuti pedang besarnya, nampak seperti kepulan asap hitam. Dan dengan satu hantaman, Chika pun melemparkan energi negatif tersebut menjadi elemen angin hitam, membentuk seperti bola tornado yang melesat cepat menuju Raguel.

Di sudut matanya, Raguel merasa bahaya sedang datang mendekat. Sebuah bola hitam-ungu itu melaju dengan kecepatan tinggi dan hendak menghantam keras tubuhnya. Tanpa pikir panjang, Raguel pun melepas pedangnya yang sedang beradu dengan Sam, dan melompat jauh mundur ke belakang.

Waktu yang tepat. Bola tornado itu terus melesat jauh. Tubuh Raguel hampir saja hancur jika dia tidak memutuskan untuk menghindar segera.

Kini Chika dan Ratih sudah terbang melayang, berdiri di belakang Sam. Di depannya sekarang ini, berjarak sekitar tiga puluh meter, hanya tinggal Raguel sendiri malaikat yang masih hidup. Hujan makin mengguyur deras, dan petir-petir pun menggelegar menyambar bumi.

Raguel kali ini kalah jumlah, dia menggertakkan giginya kesal. Melawan Sam saja dia bisa imbang, kali ini dua iblis datang menjadi ancaman barunya. Satu hal yang harus dia lakukan adalah lari, namun dia yang berjiwa ksatria tak mungkin kabur dari pertarungan yang makin panas ini.

“Metatron, kali ini kenapa kau tak memberi perintah seperti pada saat itu?!” batin Raguel, mengkontak presiden malaikat itu lewat telepati. Namun sialnya sudah beberapa detik berlalu dia tak mendapat jawaban.

“Raguel, menyerah saja!” teriak Sam. “Kuburanmu sudah ditakdirkan di tanah ini, dan akulah yang menjadi eksekutor pemenggalan kepalamu.”

“Bicara apa kau?!” balas Raguel marah. Dalam batinnya dia masih berharap pada jawaban Metatron, maka yang harus dilakukannya sekarang ini adalah mengulur waktu.

“Kau sudah terdesak, menggores kulitku saja kau tak mampu, dan sekarang aku mendapat bala bantuan.” Sam berkata dengan penuh percaya diri. “Kau tahu, tak akan ada malaikat yang akan membantumu, termasuk Tuhan sekalipun!”

Saat itu petir besar menggelegar kembali.

“Bahkan Tuhan? Apa maksudmu?”

Sam mengacungkan jari telunjuknya ke awan gelap di atas. “Lihat di sana.”

Seketika itu Raguel tercengang. Di atasnya sudah ada lingkaran sihir yang membentang sangat-sangat luas,

“A-apa itu?!”

“Itu adalah sihir penghapus radar,” jawab Sam. “Saat aku mengaktifkan sihir itu, terciptalah tenda transparan dalam bumi yang luasnya ribuan kilometer. Tenda ini adalah tenda penangkal radar, bahkan Tuhan sekalipun sekarang tak tahu di mana dirimu sekarang!”

“Bahkan…, oleh Tuhan?!” Raguel terkejut, dia sampai menelan ludahnya. “Sejak kapan kau menggunakannya?”

“Sejak aku mengambil pedang ini,” jawab Sam, mengacungkan pedang lavanya pada wajah Raguel di sana. “Tangan kananku melakukan sihir tipe pemanggilan, dan yang kupanggil adalah pedang ini. Sebenarnya itu pengalihan. Dan tangan kiriku membuat sihir tenda penangkal radar ini. Terlihat samar, bukan?”

“Huh, menyerah saja,” tambah Ratih, menggoda Raguel dengan lidah menjilat bibir atas. “Kau sudah terjebak, malaikat tampan.”

Raguel memasang ekspresi kesal, dia kini diambang keputus-asaan. Jika tak ingin mati, dia harus melawan ketiga iblis itu bersamaan. Terdengar mustahil, memang. Namun tak ada cara lain karena Tuhan pun tak bisa menolongnya, bahkan sekencang apapun dia terbang, pasti iblis-iblis itu dapat mengejarnya.

“Sam, kau menyebalkan!”