Selamat datang di blog kepenulisan. Silakan menimba ilmu di sini dan jangan copy-paste.

"Keep writing and play your imagination" Yudha Pasca

Join Us On : LightNovel.ID


Sabtu, 30 September 2017

The Codex of Lucifer: Chapter 09 - The Old Friends


'The Old Friends'


Menari di udara, dengan pedang lavanya Sam membabi-buta menyerang Raphael, membuat malaikat berjubah hijau itu tak punya waktu banyak untuk melancarkan tornadonya. Sam mendominasi permainan, sampai saat ini Raphael hanya mampu bertahan dan menghindar

Walau sudah berkali-kali mengayunkan pedang lava, namun seluruh serangan Sam dapat terbaca oleh mata Raphael.

Melancarkan serangan cepat, setelah Sam mengayunkan pedangnya, dia pun memutar tubuh, dan menggunakan ekor sebagai serangan kedua. Ekornya itu berhasil menggores lengan kanan Raphael, namun amat disayang Raphael yang mempunyai kekuatan penyembuhan dengan cepat menutup luka, dan membunuh racun Sam dalam hitungan detik.

Gagal, dia kesal. Sam menggertakkan gigi, menyinggung alis matanya. Serangan racun tak cukup ampuh untuk melawan malaikat yang satu ini, sangat dispesialkan oleh Tuhan sebagai juru medis surga.

“Tak ada jurus lain, Samael?” ejek Raphael dengan ujung bibir yang terangkat. “Kalau begitu terima ini!”

Raphael mengangkat tongkat emasnya tinggi-tinggi, seketika bola mustika itu menyala hijau terang, dan lalu muncullah puluhan pedang-pedang angin yang melayang di sekitarnya. Segera sesaat Raphael mengayunkan tongkat, pedang-pedang angin tersebut melesat bebas menuju Sam.

“Ergh! Kurang ajar!” Sam mengacungkan jari telunjuknya, lalu sedetik kemudian muncul sebuah dinding kaca berwarna ungu. Tabrakkan dua elemen pun terjadi, pedang-pedang angin Raphael pecah saat mencium pelindung Sam.

Serangan jarak jauh Raphael masih tak berdaya.

Sam mengeratkan genggaman pada pedang, lalu kembali terbang menuju Raphael.

Tongkat emas itu kembali diacungkan ke langit, lalu terciptalah angin ribut menyerupai kepala naga hijau berleher panjang. Dengan satu perintah, naga angin yang meraung tersebut berputar menuju Sam. “Maju!”

Sam menghentikan kepakan sayapnya, dan mulai membuat lingkaran sihir lagi dengan tangan kiri. “Terhisaplah!”

Diayunkan tangan kiri menuju angin ribut milik Raphael, dan terhisaplah ia ke dalam lubang hitam yang Sam buat. Angin ribut itu pun sirna, dan tiba-tiba Raphael telah menghilang dari pandangan Sam yang seharusnya masih melayang di depan sana.

“F5!” Suara itu muncul dari belakang, secepat kilat malaikat berambut gondrong itu sudah membuat tornado besar menjulang tinggi menembus langit. “Rasakan ini!”

“Kurang ajar!” Sam tercengang melihatnya saat tornado itu telah datang mendekat, dan dia tak punya cukup waktu untuk mengeluarkan lubang hitam lagi, atau bahkan melarikan diri.

Sebelum tornado itu berhasil mencium Sam, terdengarlah suara kepakan sayap datang mendekat. Dari aroma yang Raphael endus, dia seperti pernah mengenalnya. Bau yang dulu pernah berada di surga, jauh sebelum Lucifer meniup terompet perang.

Tornado Raphael tiba-tiba pecah oleh pilar api merah yang tiba-tiba muncul di tepat di inti dalam tornado, terbangun dari dasar bumi menjulang tinggi hingga menembus gelapnya langit. Sedetik kemudian pilar api itu meledak, apinya melebar luas berputar membentuk lingkaran dan terus meluas, membakar apa saja yang berada di dekatnya.

Melihat api itu hendak membakarnya, dengan sergap Raphael membuat dinding perlindungan berupa bola dengan dia yang berada di dalamnya. Begitu pula dengan Sam, dia membuat dinding perlindungan bola ungu untuk menahan serangan api yang entah siapa pemiliknya.

“Hahaa .…” Sang pemilik tersenyum, menampakkan taring tajam di antara barisan giginya.

Sam dan Raphael, keduanya kini berada di dalam badai api yang terus berkoyak, perlahan meretakkan dinding pertahanan mereka. Terus bertahan dan meningkatkan kekuatan, bocor sedikit saja tubuh mereka akan terlahap api tersebut.

Perlahan pilar api itu padam memudar. Si pemiliknya terbang lebih tinggi dari mereka berdua. Sepasang sayap hitam itu lebar berkibar, dengan ujung sayap menyerupai jari-jari tangan seakan melambai memberi salam.

Melihat sosok yang baru saja muncul membuat Sam dan Raphael terdiam. Begitu pula pada Uriel yang sedang melawan Ratih, dan Raguel yang sedang melawan Chika. Sosok yang terbang di atas sana berhasil mencuri perhatian mereka.

“Be-Belial!” gumam Raguel. Dia yang sedang menahan dorongan pedang Chika menarik mundur serangannya.

Saat petir besar menyambar bumi, cahaya kilatnya menampakkan jelas malaikat berjubah hitam tersebut. Belial, sosok malaikat jatuh menampakkan dirinya lagi dihadapan malaikat surga.

Raphael, Uriel, dan Raguel sempat tak percaya kehadiran si malaikat jatuh ini. Awalnya dikira hanya Rofocale dan Samael saja yang masih hidup, namun sosok ketiga ini muncul di hadapan mereka untuk memperkenalkan diri.

“Siapa dia?” Chika dan Ratih yang masih awam tak mengenali sosok itu, entah teman atau musuh, mereka berdua siap melawan jika makhluk berkulit hitam itu hendak membunuh Sam.

“Lama tak menggunakan kekuatan ini,” gumam Belial, menatap Sam dan Raphael yang telah melepas pertahanannya. “Juga lama tak berjumpa, Raphael.”

Tongkat mustika hijau ditodongkan pada Belial. Dengan kencang Raphael berteriak, “Apa maksud kehadiranmu, Belial?!”

“Begitukah cara malaikat menyambut tamu? Di mana sopan santun yang telah Tuhan ajarkan, hei?”

Setelah itu Uriel dan Raguel segera terbang mendekati Raphel dengan meninggalkan lawan mereka masing-masing.

“Oh, ada Uriel dan Raguel juga, ya,” lanjut sapanya. “Malam ini akan menjadi malam yang panjang, sepertinya.”

Uriel dengan murka mengacungkan pedangnya, lurus tepat pada merahnya bola mata Belial. “Kuwakilkan kemarahan Metatron malam ini!”

“Hahaa, pelawak itu?” Sebaliknya, tak ada rasa takut yang dinampakkan Belial. Dia teramat rileks, bahkan pedangnya pun masih berada dalam sarung.

Di tengah derasnya hujan lebat, angin yang semakin kencang menggoyangkan rambut merah Belial. Dirinya terbang masih membawahi para malaikat dan iblis di sana. Dia lalu menunjuk Raphael dan berkata, “Dadu masih bermain, kawan.”

Pernyataan yang Belial ucapkan membuat Uriel dan Raguel terbingung, begitu pula dengan Sam, Chika, dan Ratih. Semua pandangan tertuju pada Raphael.

“Malaikat jatuh, atau apalah itu. Kami malaikat surga telah mencap kalian sebagai tentara iblis. Mati saja!” Setelah berkata demikian, Raguel mengeratkan jemarinya pada gagang pedang, lalu mengepakkan kedua sayapnya terbang menuju Belial.

Seringai tertampak pada bibir lebarnya, bola mata merah itu dapat melihat jelas malaikat sembrono yang dengan cepat sedang mendekat. Segeralah pedang tipis itu dikeluarkan dari sarungnya, hanya sepanjang satu meter.

Jaraknya semakin dekat dengan Belial. Raguel memutar badan, dengan sekuat tenaga diapun melampiaskan segala kemarahan dengan ayunan pedang gergajinya.

Dan seketika hening. Mata mereka saling bertemu pandang.

Ayunan pedang gergaji Raguel yang berat dapat dengan mudah ditahan oleh pedang tipis nan kecil milik Belial. Secara logika memang sebuah hal yang mustahil.

Raguel yang penasaran terus menekan dorongan pedangnya. “Ke-kenapa bisa?!”

“Kau tahu karena apa?” tanya Belial. “Karena ‘dosa’.”

Setelah mengetahui jawaban itu, Raguel menarik mundur pedangnya, dan mengambil beberapa jarak. “Apa maksudmu?”

Belial tertawa saat menjawab, “Tentu pedang ini pedang kutukan. Pedang yang menyerap dosa manusia. Semakin banyak manusia melakukan dosa di bumi, pedang ini akan semakin kuat dan padat. Aku bahkan penasaran apakah Metatron akan mati dengan sekali tebasan ini.”

Pernyataan Belial segera menyulut emosi Raguel. “Jangan bercanda dengan tipuan murahanmu!”

“Makan saja ini!” Belial mengangkat tinggi pedangnya pada gelapnya langit. Bunga-bunga api seketika muncul, lalu membesar pada punggung Belial, membentuk sebuah sayap yang membentang hingga tiga puluh meter. Api itu berkoyak memberontak liar, kemudian membentuk enam ekor kepala naga yang segera terbang ke arah lawannya.

“Ini gawat!”

Lalu dengan satu ayunan, Belial pun menyuruh api-api itu melahap Raguel.

Menyala terang di kolong langit Jakarta, enam kepala naga itu mengamuk dan melaju cepat. Raguel yang tak punya banyak waktu segera membuat dinding salib yang melindungi seluruh dirinya dalam bola.

Dan enam kepala naga itu membenturkan dirinya pada tameng salib Raguel.

“Kita uji lagi.” Belial menjilat atap bibirnya. Dia tak main-main, api itu semakin dibesarkannya menjadi tujuh hingga delapan kepala naga menyerang Raguel sekaligus.

“Ergh, kurang ajar!” Pertahanan Raguel semakin goyah, terbukti dengan timbulnya retakkan kecil di sisi kirinya.

“Enyah saja, dasar kotoran neraka!” Melihat Raguel yang semakin terpojok, Raphael pun mengangkat tinggi tongkatnya, lalu tornado hijau seketika muncul dekat dengan bara amuk naga api Belial, dan hendak menabrakkannya.

Sam yang mengetahui Raphael sedang menyerang segera melakukan tindakan, namun Uriel yang berada di dekat Raphael membuat dinding salib, dan menghalangi jalan Sam yang langsung terhenti.

          Chika dan Ratih masih belum beranjak dari tempat. Dengan kedua bola matanya, mereka dapat melihat dari jauh bahwa tornado milik Raphael bertabrakkan dengan kobaran api kepala naga milik Belial.

            Dan patah. Api-api yang menyerupai kepala naga berleher panjang itu berhasil dipatahkan oleh tornado Raphael, musnah menyelamatkan nyawa Raguel yang masih bertahan diri dalam cangkang bola pelindung.

Raguel merasa lega, dia melepas pun tamengnya. Malaikat jatuh itu—bukan, iblis itu masih melayang gagah dengan sepasang sayap hitamnya, menatap Raphael yang rupanya berhasil menghancurkan jurus api kepala naga.

“Hebat juga,” batin Belial. “Kalau begitu coba hadapai yang satu ini!”

Belial mengangkat tangan kirinya, mengacungkan dua jari yang merapat pada awan hitam. Pada ujung jari, menyalalah sepercik api, lalu membentuk lingkaran kecil yang lama-lama membesar seukuran kepalanya.

“Kuperlihatkan ‘neraka mini’ pada kalian yang rindu pada rumah.”

Sejurus kemudian, awan gelap di belakangnya memancarkan cahaya jingga, meledak menjadi merah bersanding dengan amukan guntur yang menggetarkan gendang telinga. Dari atas sana, berbondong-bondong batu meteor jatuh ke bumi atas perintahnya. Membara, menyala. Mereka menyerang apa dan siapa saja yang berada di bawahnya.

“Pesta malam ini seru juga, ya,” batin Belial.

Seluruh mata yang menyaksikan pun terbelalak. Batu-batu dengan ukuran variasi itu terbakar, dan menghempas jatuh ke bumi. Meteor itu menyerang para malaikat surga yang kemudia mereka pun membuat tameng masing-masing.

Beruntung bahwa pertarungan ini pisah dimensi antara dimensi manusia dan ghaib, menjadikan dunia manusia tak terkena dampak dari segala pertarungan yang terjadi.

Tak hanya menyerang para malaikat, batu-batu meteor yang Belial jatuhkan juga menyerang Sam, Chika, dan Ratih yang menyebabkan mereka bertiga juga membuat bola pelindung.

Resah-gelisah terukir di wajah. Hujan meteor menghantam keras pertahanan mereka tiap detiknya. Keretakkan mulai terlihat pada tiap tameng, mengharuskan mereka meregenerasikan jurus masing-masing sesegera mungkin.

Di saat Belial tertawa karena telah menangkap bayang kemenangan, semuanya pun berubah seratus delapan puluh derajat hanya dalam hitungan detik saat petir besar menghantam bumi.

“Aaargh!” Belial memekik, teriakannya nyaring merambat cakrawala. Sampai pada akhirnya sebuah petir yang teramat cepat menyambar, kilatnya memancarkan cahaya silau, dan akar petir itu membakar, memotong sayap kanan Belial hingga terlepas dari punggungnya. Dan karena itu pula Belial pun jatuh ke bumi.

Irama surgawi terngiang saat malaikat bercahaya itu turun ke bumi. Dia yang memakai cincin emas melingkari kening, berambut hitam keriting panjang seleher. Matanya itu mengutuk pada Belial, lalu dengan izin Tuhan dia pun kembali menyambarkan petirnya kembali.

Belial tersambar bertubi-tubi, membuat Sam, Chika, dan Ratih tak bisa berkutik, dan hanya mewaspadai kehadirannya.

Alam berpihak pada malaikat yang baru turun dengan sepasang sayap putihnya. Kencangnya angin mengibaskan jubah biru yang dikenakan, lalu dia berdiri melayang di depan Raphael dan Uriel.

“G-Gabriel! Kau tak perlu turun ke bumi!”

Memandang Gabriel membuat Sam tak percaya, kulit tubuhnya merinding menyadari bahwa Gabriel tak sepadan dengannya.

Gabriel mengangkat tangan kanannya ke atas, menggenggam angin kosong. Saat kilat menyambar dari gelapnya awan, serpihan kilat itu pun tergenggam pada tangannya.

“Kalian para iblis patut lenyap di hadapanku!” Tak ada ampun, segeralah Gabriel melempar petir itu pada Sam. Petir yang tadinya kecil berubah menjadi besar menyerupai kepala monster bermata merah.

Sam yang melihat datangnya ancaman segera menodongkan tangan kirinya ke depan, tepat ke arah kilat monster itu. Dan seketika muncullah lingkaran sihir dengan lubang hitam yang kemudian menghisap petir monster Gabriel.

“Ergh! Tidak bisa dibiarkan!” Melihat temannya kesusahan, dengan kecepatan kilat Chika dan Ratih segera mendekati Sam, melindungi iblis berbentuk kadal besar itu dari para malaikat dengan senjatanya masing-masing.

Melihat Chika dan Ratih yang berdiri terbang di depan Sam, Gabriel malah menyungging senyum merendah. “Dasar lalat!”

Tangan kiri diayun, pada telapaknya memercikkan petir-petir yang memberontak, dan lalu seketika petir-petir itu pun menyambar ke arah para iblis.

Chika dan Ratih bekerja sama, mereka berdua membuat tembok yang menghalau petir-petir Gabriel.

Tak hanya di situ, di arah jam enam, yakni tepat di belakang Sam sudah berdiri Uriel yang sudah siap dengan apinya. Dan dari arah belakang, dia mencoba menyerang Sam.

Sam yang sadar segera menahan dengan pedang lavanya, dan kedua bilah pedang itu pun beradu.

Dari atas mereka sudah ada Raphael yang mengangkat tinggi tongkat emasnya. Pada bola mustika yang menyala terang, seketika angin ribut tercipta, makin membesar dan membesar membuat tornado yang kemudian hanya dengan satu hentakan, angin ribut seukuran gedung itu pun berputar meluncur ke arah para iblis.

Chika dan Ratih yang sedang membuat dinding pelindung bingung harus apa, begitu pula Sam yang sedang beradu pedang dengan Uriel.

Uriel meloloskan diri saat tornado itu hendak mendekat, kini Sam tak punya waktu untuk membuat lingkaran sihir maupun jurus semacam pelindung.

“Malaikat sialan!”

Sedetik kemudian bergemalah sebuah teriakan yang disertai api besar meledak dari dasar bumi. Yakni Belial yang sekali lagi beraksi dengan badai apinya, mencoba mengusir tornado milik Raphael.

Belial terbang dengan satu sayap, namun sayap yang patah tergantikan oleh sayap api yang menyala. “Gabriel, kau hanya merusak suasana saja!”

Semua aktivitas serangan terhenti. Para malaikat berlindung di belakang Gabriel, serta Chika dan Ratih berada di dekat Sam, menatap Belial yang baru saja bangkit dari serangan petir Gabriel.

“Kau masih dapat bernapas? Harus kuakui kau hebat juga,” puji Gabriel.

Kesal direndahkan, Belial menggertakan giginya. Dia terlalu sombong menilai para malaikat. Kini di hadapannya adalah Gabriel, malaikat besar nomor dua yang ada di surga.

Sam tahu bahwa dia harus menarik mundur Chika dan Ratih, namun ini semua tergantung pada Belial yang masih mau melanjutkan pertarungan atau tidak. Dilihat dari gelagatnya, Belial nampak geram dan justru malah masih ingin melawan.

“Belial, kita sebaiknya mundur.”

“Sam, apa-apaan ucapanmu itu!” balas Belial. “Justru kehadirannya akan membuat pesta ini semakin menarik.”

Belial mengacungkan pedang tipisnya ke langit. Hujan membasahi pisaunya, dan sedetik kemudian atas mantera yang dirapalkan, pedang Belial yang tipis tadi berubah besar setelah diselimuti api hitam.

Mengeluarkan pedang terlarang ini menunjukkan bahwa Belial akan serius menghadapi Gabriel. Yakni pedang Wail, sebuah pedang hitam bermata satu yang panjangnya dua meter dengan gagang pedang yang panjangnya setengah meter. “Tak kusangka harus mengeluarkan senjata ini.”

Gabriel senang melihat lawannya yang serius, dia pun mengangkat tangan kanannya, dan seketika petir menghantam, menjadikan sebuah pedang tipis panjang berwarna biru sudah tergenggam di tangannya.

“Hyaaa!” Belial terbang maju, menggenggam pedang besarnya erat berselimut api hitam. Di samping itu Gabriel juga maju dengan sepasang sayapnya, dan pedang itu memercikkan kilatan petir biru yang siap membakar lawannya.

Lalu kedua pedang itu beradu, energi mereka berbenturan, menciptakan gelombang angin yang menghempas hingga ratusan meter, sampai mengibaskan jubah dan rambut pasukan malaikat dan iblis yang menonton.

Imbang. Belial menunjukkan seringainya lagi. Dia manatap tajam pada mata Gabriel yang sedang ingin memenggal kepalanya. Mereka berdua pun saling menarik mundur senjata, mengambil beberapa meter jarak.

Gabriel mengacungkan pedangnya ke gelapnya langit. Atas kuasa Tuhan, petir besar pun menyambar pedangnya, lalu dipantulkan pada Belial, menciptakan sebuah gelombang laser.

Belial dengan gila malah maju mendekat. Dia terbang mendekati Gabriel. Pedang hitamnya terbakar api hitam, mengamuk menyelimutinya. Saat petir besar berwarna biru itu mendekatinya, Belial dengan mudah mengayunkan pedang api hitamnya itu, dan membenturkannya.

“Apa?!” Gabriel terkesima. Dia tak menyangka petir besar miliknya dihancurkan hanya dengan sekali tebas, dan bola matanya menangkap jelas bahwa Belial sedang dalam perjalanan menuju ke arahnya.

“Bodoh! Kau sekarang tahu berapa banyak dosa yang telah manusia buat?”

Dan tabrakan kedua elemen terjadi, menimbulkan gelombang energi kembali. Gabriel semakin mantap dengan kuda-kudanya, tak mau menyerah atas dorongan pedang Belial.

Petir biru meloncat-loncat keluar dari pedang Gabriel, dan api hitam besar terus berkobar dari pedang Belial. Mereka sama-sama saling mendorong tenaga, tak mau kalah saing berlaga.

“Ergh!” Dan keduanya saling menarik senjata. Mereka imbang kembali.

“Tak kusangka Belial mampu mengimbangi Gabriel!” batin Rofocale, menatap jauh pertarungan mereka dari balkon apartemen. “Tapi sebaiknya aku menarik mereka mundur.”

Chika dan Ratih siap dengan senjata mereka, begitu pula dengan Sam yang menggenggam pedang lavanya. Setelah Belial mengambil jarak mundur, mereka bertiga pun maju dengan sasaran utama adalah Gabriel.

Hal itu tidak bisa dibiarkan. Dengan sigap Uriel, Raphael, dan Raguel pun segera menghalangi jalan ketiga iblis tersebut, dan senjata mereka saling berbenturan.

“Menarik. Kita imbang,” ucap Gabriel menodongkan ujung pedangnya pada Belial. “Tapi cukup sudah usaha kalian!”

Pedang biru itu kembali diacungkan Gabriel, dan petir besar menyambar membelah hitamnya langit, menerangi kegelapan. Petir besar itu terserap ke dalam pedang, memberinya kekuatan. Lalu hanya dengan satu ayunan, petir besar itu pun dipantulkan lagi ke arah Belial.

Uriel, Raphael, dan Raguel segera terbang menghindar. Karena satu jalur, dampaknya juga akan berpengaruh pada Sam, Chika, dan juga Ratih. Petir besar itu merayap cepat menuju tiga iblis tersebut.

“Beraninya kau!” Belial mengambil langkah. Dia membuka lebar telapak tangan kirinya, terarah pada petir besar Gabriel. Bibirnya merapal cepat sebuah mantera, lalu dengan sihirnya sebuah lingkaran berpola bintang enam tercipta, menghisap petir besar Gabriel masuk ke dalam lubang hitam.

Tidak. Jurusnya belum cukup sampai di situ. Belial menodongkan pedang hitam besarnya pada Gabriel, dan lingkaran sihir baru tercipta tepat di samping lingkaran sihir pertama. Lingkaran sihir barunya itu mengeluarkan petir Gabriel yang terhisap sebelumnya, memuntahkan petir besar itu kepada pemilik aslinya.

“Yang benar saja!” geram Uriel. Malaikat berjubah ungu ini pun membuka lebar telapak tangan kirinya, lalu terciptalah bola api kecil yang kemudian membara, membesar, menciptakan sebuah pelindung yang menepis, beradu dengan serangan petir Gabriel.

“Hebat juga, haha!” tawa Belial melihat jurusnya berhasil dipatahkan.

Raphael, malaikat berjubah hijau itu siap dengan tongkat emasnya, ditemani oleh Raguel dengan pedang gergajinya, mereka berdua pun melesat terbang menghampiri para iblis.

Chika, iblis berambut pendek ini mengacungkan pedangnya ke langit, seketika itu aura hitam menyelimuti pedangnya. Bola-bola angin hitam pun tercipta, dan dengan satu hentakan enam bola itu diluncurkan ke arah Raphael dan Raguel. “Makan malam sudah siap!”

Melihat datangnya serangan, Raguel pun segera mengayunkan pedangnya. Bara api muncul dari setiap mata gergajinya, membara besar dan diayunkan, membakar bola-bola angin Chika dengan mudahnya.

Raphael terbang mendahului Raguel. Tanpa berhenti sembari terbang mendekat, bola mustika di tongkat emasnya itu menyala hijau, lalu memunculkan angin ribut menyerupai kepala naga berleher panjang yang menjalar terbang mendekati para iblis. “Maju!”

Ratih mengampil langkah sigap. Sabit itu berputar di atas jemari manisnya, mengeluarkan sebuah energi negatif berwarna hitam. Seketika energi negatif itu berubah menjadi elemen petir hitam berkepala naga berleher panjang yang juga terbang, hendak beradu dengan naga angin Raphael.

Dan energi mereka berdua berbenturan, meledak, menciptakan desis angin yang menyapu debu-debu di medan pertempuran.

“Mundurlah!”

Wajah mereka terkejut. Tiba-tiba suara bisikan terdengar. Di antara Gabriel dan Belial, mereka sama-sama mendengar seruan itu. Sebuah perintah untuk mundur dari tuannya.

“Kenapa, Rofocale?” batin Belial, melakukan telepati pada kucing hitam yang nan jauh sedang bersembunyi.

“Pertarungan ini hanya semakin menguak identitas kita. Aku ingin kau menarik mundur pasukanku sekarang juga.”

“Kau berani sekali kau memerintahku!”

“Lakukan saja, Belial,” balasnya enteng. “Menyerang tanpa strategi seperti ini hanya membuang waktu dan tenaga kita. Terlebih mungkin kau bisa saja memancing Michael turun, dan semua rencana akan menjadi kacau balau.”

Belial mengerang kesal, tapi ucapan Rofocale memang benar adanya. “Baiklah kalau begitu.”

“Uriel, Raphael, Raguel, kita mundur,” pinta Gabriel, dan ucapannya tadi membuat ketiganya bingung.

“Tapi kenapa? Kita sudah hampir unggul.”

“Tidak, Uriel,” balas Gabriel. “Pertarungan ini lebih baik dihentikan. Metatron yang berbicara padaku langsung.”

“J-jadi itu perintah Metatron? Baiklah.” Raguel mengangkat pedang gergajinya, mengarahkan pada empat iblis yang terbang di depannya. “Kalian para tikus berhasil lolos hari ini!”

Provokasi Raguel menyulut emosi Sam, iblis kadal ini tak mau membiarkan mangsa yang sudah di depan mata kabur begitu saja.

“Jangan, Sam!” cegah Belial. “Kita juga mundur.”

“Eh?” Pernyataan Belial tadi membuat bingung Sam, Chika, dan juga Ratih.

“Rofocale menyuruh aku dan kalian untuk mundur juga.”

Sam menggeram, dia sedikit tidak setuju dengan perintah Rofocale, tapi karena sudah melakukan perjanjian bahwa dia akan menuruti kata-katanya, mau tak mau Sam harus mundur sesuai perintah.

Yang lebih dahulu pergi adalah para malaikat. Gabriel, Uriel, Raphael, dan Raguel lekas terbang meninggalkan bumi dengan kecepatan cahaya, menyisakan bulu-bulu putih yang rontok jatuh ke tanah.

Bersamaan dengan perginya para malaikat, pasukan iblis yang sekarang sedang dipimpin oleh Belial juga ikut mundur, kembali ke kamar apartemen Chika.


Minggu, 10 September 2017

The Codex of Lucifer: Chapter 08 - Three On Three



'Three On Three'


Tiga iblis di depan mata Raguel telah siap merenggut nyawanya. Di saat genting seperti ini, bahkan meminta bantuan pada Tuhan pun mustahil. Raguel telah mengkontak Metatron, Michael, Gabriel, Raphael, Uriel, atau malaikat manapun yang dirasa dapat menyeimbangi kekuatan mereka bertiga. Namun sudah lima menit berlalu, semua malaikat yang dihubungi lewat telepati tak kunjung menjawab.

Raguel menggenggam erat pedang gergajinya, hanya senjata ini yang mungkin dapat menolong, tapi dia berharap siapa saja dapat datang membantunya. Minimal mengulur waktu selama mungkin hingga salah satu dari mereka datang. Saat ini gelisah menghantuinya, bahkan kemungkinan hanya 1% keajaiban akan datang.

“He-hahaha!” Sam, iblis menyerupai kadal merah bersayap ini menatap Raguel penuh kemenangan. Secara logika Raguel akan mati di sini karena kalah jumlah, lalu keuntungannya adalah dia bisa memakai jasad Raguel sebagai tentara iblis dengan mencuci otaknya setelah dihidupkan kembali. Seringai itu seakan memojokkan Raguel, mengintimadasi malaikat yang sebentar lagi akan ia cabut nyawanya.

Di belakang Sam juga ada Chika dengan pedang besarnya yang ia topang pada pundak, sudah siap untuk memotong tubuh Raguel menjadi dua bagian simetris, dan Ratih yang tengah mengacungkan mata sabitnya lurus pada bola mata Raguel di depan sana. Mereka berdua telah siap membantu Sam untuk mengusir hama surga ini, musnah menjadi butir-butir cahaya.

Namun di samping itu semua Sam curiga, sadarkah kalian ke manakah perginya malaikat pembawa grimoire? Mereka seketika menghilang. Tiap detik atas perintah Tuhan seharusnya mereka turun membagikan grimoire itu pada para manusia yang membutuhkan, tapi sekarang tak ada satupun yang terlihat sejauh mata memandang. Sangat ganjil.

Sam menggelengkan kepala. Bukan saatnya berpikir seperti itu. Prioritasnya adalah membunuh malaikat yang penuh percaya diri di depan sana, yang dari kejauhan dia sudah bersiap melancarkan serangannya.

Mengambil kuda-kuda, dengan sisa semangat berharap pada keberuntungan, di tengah derasnya hujan Raguel pun segera melesat terbang menuju ketiga iblis itu, berniat menghabisi mereka sekaligus. “Hyaa!”

“Dia gila,” batin Sam terkejut. Melihat Raguel telah bergerak, pedang lava pun digenggamnya erat, memancarkan aura merah menyala, dan Sam pun lekas terbang lurus menjawab serangan Raguel.

Semakin dekat, semakin dekat, dan kedua pedang itu beradu kembali, membuat sedikit hempasan angin saat bilah mereka saling berbenturan. Otot-otot lengan mengeras, menjadi tumpu pada dorongan pedang. Sama-sama egois tak mau mengalah, mata mereka saling mengutuk satu sama lain.

Imbang. Lalu keduanya mendorong tubuh ke belakang, mengambil sedikit jarak.

Di sisi lain pada waktu yang sama, dua puluh meter di samping kiri Raguel sudah ada Ratih yang tengah mengangkat tinggi-tinggi sabitnya. Petir-petir hitam gila menyambar, berkumpul pada mata sabit, menari membentuk sebuah bola yang seukuran dengan tubuhnya. Lalu bola-bola petir itu meluncur bersamaan dengan sabit yang diayunkan.

Raguel yang mengetahui pergerakan Ratih segera mengayunkan tangan kirinya, dan seketika tameng salib terbentuk tepat di depan wajah. Waktu pemunculan yang sangat tepat, bola-bola petir itu pun hancur saat menabrak tameng Raguel. Serangan yang sia-sia, batinnya.

Namun tidak cukup sampai di situ, sedetik kemudian ujung bola mata kanan Raguel menangkap sebuah bayang ancaman. Yakni Chika yang mencoba terbang mendekat dengan sepasang sayap hitamnya.

Pedang besar yang Chika genggam terlihat diselimuti aura hitam, menambah efek daya hancur pada saat kekuatan itu dilepas. Raguel tak punya waktu banyak untuk menghindar, dengan memaksakan diri, dia pun mengayunkan pedang gergajinya itu, berniat membenturkannya dengan pedang Chika.

Chika mendorong pedangnya kuat-kuat saat beradu dengan mata gergaji-gergaji itu. Ledakan hitam pun tercipta bersamaan dengan tubuh Raguel yang terhempas jatuh ke bumi. Dia kalah beradu waktu, Chika unggul dalam mengambil momen.

Raguel yang tak terima segera sadar, dan kembali melayang di udara dengan sayap-sayapnya. Matanya itu menatap tajam pada Chika yang menjadi sasaran utama, gadis setengah iblis itu dengan santai mengepakkan sayap hitamnya dengan pedang tertopang pada bahu, melihat Raguel layaknya seperti lalat kecil.

“Cih! Kurang ajar!” Pedang gergaji digenggamnya lagi, lalu terbang membalaskan dendam. Pada tiap mata gergaji menyalalah api merah, kemudian bersatu membuat api besar.

Chika yang melihat datangnya Raguel kembali mengumpulkan energi negatif yang menyelimuti pedang. Setelah terkumpul cukup banyak, ia pun segera terbang meladeni amarah Raguel.

Kedua pedang itu beradu kembali, menciptakan gelombang angin yang mengibaskan rambut-rambut mereka.

Dari arah jam tujuh, Ratih sedang dalam perjalanan mendekat. Mata sabit itu berkilau terkena pantulan sinar rembulan. Melihat Raguel yang tengah sibuk beradu pedang dengan Chika, Ratih pun segera menyerang Raguel dari belakang dengan mengayunkan sabitnya.

“Ergh! Kurang ajar!” geram Raguel. Dia yang menyadari kedatangan Ratih segera melepas kuda-kuda, dan mendorong tubuhnya terbang mundur.

Serangan Ratih gagal menyayat Raguel. Tapi sayang Raguel lupa akan kehadiran momok iblis yang rupanya sudah terbang melayang di belakangnya.

Sam dengan pedang lavanya segera menebas Raguel yang sedang lengah. Namun dengan susah payah Raguel pun menghindar. Gerakan yang gesit hingga tebasan Sam itu meleset tak menggores punggungnya.

“Argh!” Raguel memekik saat menyadari tebasan Sam hanya sebuah pengalihan, dan serangan sebenarnya adalah dari ekor.

Sam menggunakan ekornya, dan berhasil merobek kulit lengan kiri Raguel. Ekor Sam terlihat tajam karena bersisik, namun selain tajam ekonya juga memiliki racun yang mematikan.

Samael dikenal sebagai rajanya racun. Sekali saja makhluk hidup menghirup, menyentuh, atau dengan bodoh menelan racun Samael, maka kemungkinan dia hidup bahkan di bawah nol koma satu persen.

Raguel menopang tangan kirinya dengan bagian tumpul pedang gergaji. Dia tahu betapa mematikannya racun Samael karena ribuan malaikat pernah dibuat mati hanya dengan satu embusan napas. Dirinya dibuat makin putus asa, dan makin gelisah tentang kematian yang kian mendekat.

Pekik tawa terdengar dari ketiga iblis tersebut. Kemenangan sudah di depan mata. Sudah tidak ada jalan bagi Raguel untuk menyelamatkan diri, karena tiap detik racun itu merambat menusuk sistem syaraf dan otot.

Raguel menggertakkan gigi, dia benar-benar tahu posisinya berada, yakni dekat dengan kematian. Namun jika menunggu mati itu adalah kesalah besar seorang ksatria, dia tidak mau mati sebagai pecundang karena tidak melawan.

Kulit pada tangan kiri telah membiru, perlahan menjalar ke jari dan juga bahu. Tangan kirinya sudah mati rasa, dan otot-ototnya sudah tak bisa digerakkan. Pada umumnya malaikat diberi kekuatan regenerasi tubuh sesaat Tuhan telah menciptakan mereka, namun kekuatan yang Raguel miliki sangatlah rendah dibanding racun Sam yang sangat kuat.

Hanya tangan kanan yang dapat digerakkan, mengayunkan pedang besarnya pun tak semaksimal dengan dua tangan. Dia menepis pikiran itu, dan kembali menyerang tiga musuhnya yang sedang memasang wajah-wajah tertawa.

Tebasan pertama tak mampu mengenai Sam, terkesan sangat lamban. Raguel yang tak menyerah terus melancarkan serangannya sembari menahan sakit atas racun yang terus menjalar ke seluruh tubuh. Napasnya memburu, racunnya seperti sudah mencekik paru-paru dan kerongkongan.

Chika dari belakang pun ikut menyerang dengan pedangnya, namun itu berhasil dihalau Raguel dengan susah payah.

“Dasar bodoh!” Serangan sebelumnya hanya sebuah pengalihan. Di samping itu Ratih telah siap dengan bola petir hitamnya yang sedang menari-nari indah. Dan dengan satu ayunan, bola-bola petir pun disambarkannya pada Raguel.

“Aaargh!” Raguel tersengat hebat, tak mampu menghindar. Dia menggelinjang, sekujur tubuhnya serasa ditusuk oleh ratusan duri-duri panas yang panjang. Beberapa bulu pada sayap-sayapnya menghitam terbakar, pakaiannya pun sobek dan lusuh. Dia terengah-engah, menjadi budak mainan iblis.

Napasnya terpingkal-pingkal, bahkan dia merasa temannya, si malaikat maut telah berada di samping dan akan mengajaknya ngobrol sebentar untuk negosisasi berapa sisa umurnya.

Di situasi yang makin memburuk ini, dari atas gelapnya awan yang meneteskan derasnya hujan, tiba-tiba turunlah sebuah pilar dari surga menuju bumi. Pilar besar itu seketika memecahkan segel Samael, menghancurkan berkeping-keping tenda kaca yang menghalau pengelihatan Tuhan. Cahaya pilar itu terang, menyilaukan mata Sam, Chika, Ratih, dan Raguel yang sedang bertarung.

Setelah cahaya itu padam, mata Sam pun terkejut melihat dua sosok makhluk yang terbang melayang di depan Raguel.

Seakan musik rohani bergema. Dialah malaikat berjubah hijau dengan rambut keriting gondrong berwarna perak. Raphael. Dengan tangan kanan dia menodongkan tongkat emas dengan bola mustika hijau pada ujungnya, lurus searah dengan Samael melayang.

Dan satu temannya dialah malaikat berjubah ungu dengan rambut keriting pendek berwarna hitam. Uriel. Dipangkunya sebuah pedang besar dengan kobaran api menyelimutinya, dia menatap tajam pada Samael yang dikiranya sudah mati pada ribuan tahun lalu, juga pada dua jelmaan iblis dari hasil eksperimen Rofocale.

“K-kalian berdua…, ke-kenapa bisa ada di sini?” Raguel bertanya dengan meringis kesakitan. Tak terasa sekujur dada dan kaki kiri telah membiru, membuat kaku tubuhnya untuk bergerak dan berbicara.

“Tenang saja,” jawab Uriel mencoba menenangkannya. “Kami yang akan membereskan sisanya.”

“Tch, kau kira aku hanya akan diam saja, huh?” balas Raguel.

Raphael, malaikat berjubah hijau itu terbang ke belakang Raguel. Dia mengangkat tinggi tongkatnya, dan aura hijau pun tercipta membentuk menyerupai bola. Tak lama kemudian, aura hijau itu menyelimuti tubuh Raguel.

“Kurang ajar!” teriak Sam dari jauh. Dan bersamaan dengan itu, Uriel pun menodongkan pedang apinya, membaralah api besar seperti ledakan, membuat kode agar Sam dan kedua iblisnya tidak boleh mendekat.

Kekuatan khusus yang Tuhan berikan pada Raphael adalah penyembuhan luka fisik maupun luka dalam secara cepat. Hanya dalam beberapa detik, luka sayat pada lengan kiri Raguel sembuh, kulit itu terlahir baru dengan darah yang perlahan mengering. Racun maut perlahan terangkat, dan berhenti menjalar ke seluruh tubuh Raguel.

Batin Raguel merasa lega, jika Raphael tidak datang kemari dalam waktu yang pas, mungkin dirinya akan mati konyol di tangan Samael.

“Bagaimana kalian dapat menemuiku?” tanya Raguel heran. “Kau tahu, segel yang Samael buat bahkan mengalihkan mata Tuhan.”

Sembari terus mengeluarkan aura hijau penyembuhan, Raphael menjawab, “Metatron curiga mengapa malaikat yang turun membawa grimoire tidak kunjung kembali ke surga. Dan kau tahu, akhir-akhir ini ada hama di bumi yang mencoba mencuri grimoire. Lalu aku dan Uriel berinisiatif datang turun kemari, tepat pada lokasi malaikat yang Tuhan perintahkan turun ke bumi, yang tak kunjung kembali ke surga. Cukup masuk akal, bukan? Sangat mudah mencari di mana dirimu hilang.”

“Jadi karena itulah Metatron menarik mundur malaikat yang membawa grimore ke daerah ini,” tambah Uriel, masih mengobarkan api besarnya pada Samael. “Saat ditarik mundurnya malaikat yang hendak turun kecurigaan pun kian meningkat di daerah ini, lalu kami pun turun ke bumi.”

Walau Sam memakai segel ini, rupanya malaikat terlalu pintar untuk membaca gerakannya. Atas tindakan ini, Sam malah mengundang dua malaikat besar turun ke bumi.

“Kau hanya mengacaukan saja, Raphael, Uriel!” teriak Sam. “Maka kami pun harus membunuh kalian bertiga!”

Penyembuhan selesai dilakukan, kini Raguel telah pulih sediakala, bahkan bulu pada sayap telah kembali putih dari noda hitam sebelumnya. Sekarang tiga malaikat ini siap bertarung melawan tiga iblis di depannya.

“Aku akan menghadapi Samael,” ujar Raphael. “Uriel, kau habisi iblis dengan sabit itu, dan Raguel yang akan mengurus iblis dengan pedang besar di sana.”

Lalu keduanya mengangguk setuju. Sedetik kemudian, mereka bertiga terbang ke arah target masing-masing.

Raphael melesat cepat dengan sepasang sayap putihnya, menatap Samael yang juga sedang terbang menuju ke arahnya dengan pedang lava yang digenggam erat.

Dan kedua senjata mereka pun saling beradu.

Menyimpan dendam pada bola mata, Sam tak mau kalah dengan makin kuat mendorong pedangnya. Tekanan yang dihadapi Raphael sangat kuat, karena memang tongkat tak sepadan dengan tajamnya mata pedang.

Mengambil inisiatif, Raphael pun menarik mundur dirinya. Dengan waktu sebagai senjata, dengan cepat dia menciptakan enam bola angin berwarna hijau, lalu dia lemparkan semuanya dalam satu hentakan.

Sam yang melihat datangnya serangan Raphael segera menghindar, membuat bola-bola angin itu melaju bebas lepas sasaran. “Percuma!”

Setelahnya, Sam pun kembali terbang melancarkan serangan jarak dekat. Pedang lavanya itu menyala merah tua, berkobar haus akan darah.

Raphael tahu bahwa serangan jarak dekat buka tipe bertarungnya, namun daripada Uriel dan Raguel, dirinyalah yang patut melawan Samael, karena jika Raphael terkena racun, tubuhnya dapat dengan cepat beregenerasi dan mengangkat racun tersebut.

Digenggamnya tongkat emas itu, lalu Raphael pun menghantamkannya dengan pedang Samael yang menyala merah. Dua elemen pun beradu, menciptakan hempasan ombak energi menyerupai bola dengan mereka berdua yang berada di dalamnya.

Lagi-lagi kekuatan mereka imbang, dan Raphael duluanlah yang menarik mundur tongkatnya.

Kembali Raphael menciptakan elemen angin, kali ini dalam bentuk tornado besar setinggi gedung. Angin ribut itu tercipta hanya dalam kedipan mata, yang lalu segera dilancarkan pada Samael. “Terima ini!”

Melihat tornado sebesar itu membuat mata Sam terbelalak, dia bingung bagaimana cara menghindarinya. Dia ingat ada sebuah sihir yang mampu menetralisir seluruh elemen, dan akhirnya Sam pun mengeluarkan lingkaran sihir dari tangan kirinya.

“Terhisaplah! Lubang hitam!”

Saat Sam mengayunkan tangan kirinya, sebuah lingkaran sihir besar berwarna ungu tercipta. Sebuah lubang gelap, dia menghisap seluruh tornado besar yang Raphael buat, dan mengirimnya ke dimensi lain dalam lubang hitam. Sihir yang Samael keluarkan bukan sihir sembarangan, yakni sihir yang tentu memakan energi banyak hingga tangan kiri Samael bergetar saat tornado Raphael sedikit demi sedikit terhisap masuk ke dalam lingkaran sihir, dan angin ribut itu berangsur hilang dari pandangannya.

Sam kewalahan, napasnya memburu. Tak disangka Raphael tak main-main melawannya, padahal belum ada sepuluh menit dia turun ke bumi.

“Kau kuat juga, Samael,” puji Raphael. “Tapi seberapa besar staminamu mengeluarkan sihir itu lagi jika aku mengeluarkan ratusan tornado dalam sekali tiup?”

Sam menggeram kesal. Salah satu cara membuat diam Raphael adalah tak memberinya jarak dan waktu, yakni melakukan pertarungan jarak dekat agar dia sibuk. Pedang yang Sam punya unggul dalam hal ini.

Segeralah tanpa membuang waktu, Sam terbang dengan sayap-sayap rontoknya. Pedang lava menyala lagi berselimut dendam, dan kembali dibenturkan dengan tongkat emas Raphael yang berselimut aura hijau.

Keduanya saling mendorong tak mau kalah, mata mereka saling menatap tajam satu sama lain.

Di saat yang sama, Ratih berdansa dengan sabitnya meladeni Uriel yang menyerang dengan tebasan pedang api. Puluhan kali senjata mereka saling berbenturan di udara, menciptakan percikan api dan petir yang keluar bersamaan.

Dengan pedangnya Uriel menciptakan bola-bola api, dan Ratih mempersiapkan petir-petir hitam saat sabitnya ia acungkan menantang langit. Lalu kedua energi mereka pun beradu saat dihempaskan.

Tak ada yang menang, tak ada yang kalah, kekuatan mereka meledak saat bertemu. Hanya kepulan asap hitamlah yang tersisa. Ratih masih berdiri tegak, sama halnya dengan Uriel dengan pedang apinya yang masih terus membara.

Dan lagi, Ratih kembali terbang melayangkan sabitnya, melakukan serangan jarak dekat. Melihat datangnya lawan, Uriel pun menjawab tantangan Ratih.

“Ternyata malaikat itu tampan-tampan, ya,” goda Ratih, matanya itu dengan nakal berkedip pada Uriel. “Boleh aku memacarimu?”

“Teruslah bermimpi, dasar jalang!”

Keduanya pun saling menarik senjata saat dialog tersebut berakhir.

Beranjak ke tempat lain. Jauh beratus-ratus kilometer, Chika dengan pedang besarnya sedang menangkis serangan Raguel. Balas dendam terus dilancarkan dengan ayunan lihai pedang gergajinya yang menyala merah.

Chika geram, dirinya tak boleh kalah. Saat mendapat jarak di mana dirinya menarik mundur terbang ke belakang, dia mengumpulkan aura hitam yang menyelimuti pedangnya.

Dengan satu tebasan sekuat tenaga, aura hitam itu berubah menjadi pisau-pisau angin yang jumlahnya puluhan, melesat cepat menuju Raguel.

Pisau-pisau angin hitam itu terbang secara acak. Ada yang terbang lurus, berputar spiral, maupun yang berliku ke kiri dan kanan. Mereka lalu datang dari segala arah dan mengepung Raguel.

Tak ada pertahanan selain ini, Raguel pun mengangkat tangan kirinya ke langit. Seketika itu dengan izin Tuhan, muncullah sebuah bola cahaya emas menyelimuti dirinya dengan Raguel yang berada di dalam. Saat pisau-pisau angin itu menabrak pertahanan Raguel, pisau-pisau angin itu pun musnah.

Tak cukup sampai di situ, Chika kembali melesat melancarkan serangan jarak dekat, bersamaan dengan Raguel yang menghilangkan tamengnya, dan meladeni serangan yang Chika berikan.

Pedang mereka beradu kembali.

Tiga melawan tiga. Mereka semua satu sama lain imbang, masih belum terlihat siapa pemenangnya.

Sementara itu di lain tempat, pada balkon apartemen yang dirintiki air hujan. Rofocale melihat pertarungan tiga anak buahnya dari jauh dengan mata iblis, menerawang hingga ratusan kilometer jauhnya yang dapat terlihat jelas hingga detail.

Musik kematian bergeming di telinga, bersamaan dengan suara petir yang menyambar bumi, membuat dentuman yang dapat terdengar ke seluruh penjuru Jakarta. Dengan kaki hitam telanjang bercakar tajam, sesosok makhluk telah berdiri pada pagar balkon apartemen, dekat dengan Rofocale yang sedang memantau pertarungan.

“Kau kemari, Belial.”

Makhluk bertubuh manusia itu menyinggung senyum pada wajah, menampakkan taring-taring tajam yang dimiliki. Dia juga sedang asyik menyaksikan pertunjukkan yang sedang berlangsung. Sepasang sayap hitamnya tertekuk santai, pedang tipisnya juga tersarung pada pinggang.

“Dua dari mereka telah turun. Darahnya mungkin akan sangat manis,” batin Belial, dia menjilat atap bibirnya dengan lidah. “Boleh aku main ke sana?”

“Mau apa?”

“Pamer kekuatan.”

“Meh…” Rofocale menghela napas saat mendengar jawaban teman lamanya. “Terserah kau saja.”


Setelah mendapat izin, Belial merenggangkan sepasang sayap hitamnya, sangat lebar jika disatukan hingga sepanjang lima belas meter. Dan segeralah dengan kecepatan penuh dia menghampiri medan pertempuran di sana.