Selamat datang di blog kepenulisan. Silakan menimba ilmu di sini dan jangan copy-paste.

"Keep writing and play your imagination" Yudha Pasca

Join Us On : LightNovel.ID


Selasa, 30 Juni 2015

Friday 13th: James Ritual

Title: Friday 13th: James Ritual
Genre: Horror
Author: Alien Mars
==================================



Dunia ghaib tak seharusnya kita usik. Keberadaan manusia mungkin akan mengganggu tidur tenang mereka. Jangan berurusan dengan mereka jika kita tak ingin terluka, seharusnya.

Yang tak bernyawa meninggalkan jasad. Jasad tersebut lalu dikebumikan, kemudian menjadi makanan bagi hewan tanah, dan eksistensinya menghilang menyisakan tulang.

Lalu nyawa? Ke manakah nyawa kita pergi setelah meninggalkan jasad?

Ada yang percaya ada sebuah kehidupan sesudah mati, namun ada juga yang tidak. 

Jika kalian tidak percaya, lalu kalian akan ke mana? Apa ingatanmu di dunia akan menghilang? Apa dirimu akan hilang? Apa semua tentangmu akan menghilang? Pikirlah sampai dirimu gila.

Jika kalian percaya, di manakah kalian nanti berpulang? Tempat seperti apakah kehidupan sesudah mati itu? Surga atau neraka? Siapkah dirimu bertemu dengan Tuhan?

Lalu apa itu hantu? Apa hantu penunggu rumah itu arwah manusia? Apa hantu yang bergentayangan itu arwah manusia? Apakah semua hantu itu arwah manusia?

Entah.

*****

“Caroline, sudah siap untuk malam ini?”

“Oh, Jane! Ya, mungkin. Aku tak yakin.”

“Oh, ayolah, kita akan menghapus mitos itu dan menjadi yang pertama.”

“Umm …, ngomong-ngomong, hanya kita berdua?”

“Tidak. Vega dan Avril akan ikut malam nanti,” jawabnya. “Akan kutunggu jam sebelas malam. Jangan telat.” Jane lalu pergi meninggalkanku di toilet wanita.

“Sampai nanti.”

“Jangan jadi pecundang sekolah!”

Hari ini adalah Jumat, tepatnya tanggal 13. Mitos mengatakan akan ada banyak hantu yang berkeliaran di Friday 13th, karena portal dunia manusia dan dunia hantu saling terhubung satu sama lain. Entahlah, aku juga tidak percaya hal itu, tapi Jane benar-benar memaksaku untuk ini.

Dua belas tahun yang lalu, lima murid di sekolahku hilang tanpa sebab di gudang lama, sebuah gudang yang sudah tak dimasuki selama dua puluh tahun. Gudang tersebut sudah tak digunakan lagi karena seorang anak bernama James bunuh diri karena alasan yang tak pasti. Rumor beredar bahwa kelima murid tersebut di bawa James ke dimensi lain saat kelima murid tersebut melakukan ritual pemanggilan hantu.

Mungkin Jane tertantang oleh Matt, kekasihnya yang menantang untuk mencari misteri kematian James, tapi anehnya Matt tidak ikut dengan kami. Pecundang.

*****

Bulan tampak sempurna menggantung di langit malam, dan makin sempurna karena tak ada cahaya lampu yang menyinari area parkir sekolah. Gelap gulita. Sumber cahayaku hanya telepon genggam saja yang membimbing sampai gudang lama, jaraknya juga masih jauh. Sial.

Berjalan sendirian di tengah malam membuat leherku menggigil, padahal tidak ada siapa-siapa di kanan-kiri, kurasa. Dari area parkir, dengan cepat aku bergegas untuk sampai ke lapangan sekolah, tempat titik pertemuan kami berempat.

“Hai, pecundang, lama sekali.”

“Diamlah, Jane, seharusnya kau berterima kasih padaku.”

“Baiklah, Nona manis, mari kita masuk ke gudang itu.”

Bersama, kami berjalan menyusuri lapangan menuju gudang tua tersebut.

Malam yang mencekam, aku merasa ada hal buruk yang akan terjadi. Ingin aku mundur, tapi Jane pasti akan menghalangiku dengan seribu rayuan mautnya. Vega dan Avril tak merasa takut sedikitpun, mereka malah tertawa bersama Jane sepanjang perjalanan.

Sampai. Gudang tua ini terlihat lebih mencekam di malam hari. Aura negatif yang terpancar membuat diriku merasa sedang diawasi dari segala arah.

“Ayo masuk,” kata Vega.

“Ya.”

Pintunya sudah lama tak terkunci, jadi siapa saja bisa masuk dengan leluasa. Penjaga sekolah pun sudah tak peduli jika ada orang yang berniat aneh di tempat ini. Lagian orang bodoh mana yang akan melakukan hal tersebut? Ya, kami.

Pemandangan yang pertama kulihat adalah setumpuk kursi dan meja yang sudah rusak dan penuh debu, juga sarang laba-laba di seluruh pejuru gudang. Kumuh adalah kata pertama yang pantas untuk melukiskan gudang tua ini. Ruangan ini begitu tinggi, mungkin sekitar empat meter. Cahaya rembulan dapat masuk dari celah kaca yang pecah berlapis teralis, tak buruk untuk sebuah penerang jalan.

Avril mulai berjalan masuk dengan lampu sorotnya yang membimbing kami. Gemetar, merinding. Pandanganku tak dapat menatap ke depan pasti, selalu tengok kanan-kiri, atas-bawah.

Dan sebuah tangan mendarat di pundakku.

“Ayolah, penakut.”

Kami makin masuk lebih dalam, melihat beberapa arsip dokumen lama yang sudah berdebu di raknya, serta buku-buku pelajaran dan alat-alat olahraga yang sudah rusak. Aku mengambil sebuah arsip, tertulis June 1982, berarti tepat 20 tahun yang lalu. Kubuka halaman demi halaman dan menemukan nama James Louis. Tapi, ada tiga nama James yang aku temukan. 

Tengok kiri, lalu kanan. Sepi. Aku kembalikan arsip tersebut dan berjalan lebih cepat menyusul teman-temanku. 

Kami sampai di pertengahan gudang, tak ada barang apapun sehingga kami dapat duduk leluasa di lantai yang berdebu.

“Kita mulai?” tanya Jane.

“Keluarkan barang yang ada di tasmu, Avril.”

Avril lalu mengeluarkan sebuah boneka pria berbaju hitam, pisau, kapas, benang jahit merah, jarum jahit, pena, buku tulis, kapur merah, enam lilin, dan korek api dari dalam tasnya.

Pertama, Vega menggambar lingkaran di atas lantai dengan kapur merah, lalu dilanjut dengan menggambar heksagram di dalamnya. Kedua, kami menyalakan lilin dan menaruhnya di tiap sudut heksagram.

“Darah.”

“Apa?” tanyaku.

Jane menyayat jari telunjuknya dengan pisau, lalu darah yang keluar ditempelkan pada selembar kapas putih.

“Kalian juga harus melakukannya,” pinta Jane, dan kami hanya mengangguk.

Vega, Avril, lalu aku yang terakhir. Kami memasukkan kapas yang berlumur darah tadi ke dalam tubuh boneka, lalu boneka tersebut dijahit kembali dengan benang merah. Boneka tersebut lalu ditaruh ke tengah lingkaran, lalu tangan kanannya diberi pena yang diikat benang, dan kami duduk di luar lingkaran dengan lilin yang menyala.

“Mantranya.”

“Ya.”

Kami semua memejamkan mata. 

Aku sedikit gugup.

“Roh yang tertidur, roh yang terlelap. Darah kami menyatu, izinkanlah. Bangkitlah dari kesengsaraan neraka, bangkitlah dari api yang menyala, taburkanlah dendam ke pelosok bumi lagi. Tubuh barumu telah di sini, menyatu dengan darah kami. Terimalah persembahan kami.”

Mantra tersebut kami ucapkan bersama dengan lantang, hingga sesuatu yang tak diinginkan pun terjadi.

“Apa itu?”

Kami mendengar suara piano tua yang dimainkan, hanya ditekan beberapa tuts, lalu diam. Angin berhembus menggelitik leher. Dan yang terakhir, boneka tersebut berdiri …, dengan sendirinya.

Dan kami lupa satu hal yang paling penting.

“Vega, kau tak mengikatnya?!”

“Kau tak memberitahuku untuk membawa tali, Jane!”

Sontak kami memandangi boneka itu, ia hanya berdiri, lalu mengapung, dan naik perlahan.

“Wahai Tuan Boneka, siapa namamu?” tanya Jane.

Boneka itu diam.

“James? Apa kau James Louis?” tanyaku.

Boneka itu diam lagi. 

“James Chester?”

Boneka itu tetap diam.

“Atau James Florence?”

Dan boneka tersebut langsung terjatuh ke lantai.

“Cepat ikat!” 

Aku mencari tali dan Avril mengambil bangku. Kami mengikat boneka tersebut di bangku, namun anehnya boneka tersebut terasa panas. Lalu kami memberikan buku tulis.

Bertanya. Napas kami mulai memburu, dan menatap satu sama lain.

“Siapa namamu?”

Ia mulai menulis; “James”.

“Kenapa kau mati?”

Ia menulis; “Karena nyawaku sudah tiada”.

“Kau dibunuh?”

Ia menulis; “Iya”.

“Di mana?”

Ia menulis; “Di suatu tempat, di mana matahari tenggelam”.

Aku asumsikan, ia bukan dibunuh di gudang ini, karena gudang ini terletak di sebelah selatan.

“Berapa orang yang membunuhmu?”

Ia menulis; “Tujuh”.

“Kau kenal siapa saja? Coba sebutkan”.

Ia menulis; “Salah satu di antaranya adalah ayah kalian”.

Dan kami tercengang, saling menatap satu sama lain kembali.

“Lalu kau ingin menuntutnya?”

“Avril!” sanggah Jane. “Pertanyaan macam apa itu?!”

Ia menulis; “Suatu saat, lihat saja siapa yang akan mati malam ini”.

“Kau tahu kasus dua puluh tahun lalu, tentang lima murid yang hilang di sini?”

Ia menulis; “Batu bersusun berdiri, di balik meja arsip”.

Aku asumsikan, di dinding, di balik meja arsip.

“Kau membunuhnya?”

Ia menulis; “Pikirmu?”

“Kenapa?”

Ia menulis; “Ia melakukan hal yang sama yang seperti sekarang kalian lakukan”.

Kami saling menatap satu sama lain, terdapat rasa takut yang amat kronis di dalam hatiku.

“Kau …, apa kau nanti akan membunuh kami?”

Ia menulis; “Mengapa tidak?”

Oh Tuhan.

Kami mulai menjauh dari lingkaran, dan sang boneka tiba-tiba meronta-ronta ingin terbebas dari ikatan. Kami telah melakukan hal yang tak sepatutnya kami lakukan. Kami salah, mengusik roh halus tak seharusnya dilakukan.

Vega lari terlebih dahulu, kulihat tali sepatunya tak terikat, lalu terinjak kaki lainnya. Vega terjatuh dengan kening yang membentur ujung meja, lalu tak sadarkan diri dengan darah yang melumuri kepalanya. 

Kami teriak histeris dan beranjak ke pintu keluar.

“Pintunya terkunci!”

“Toloooooongg!”

Teriakan kami menggema di ruangan ini, namun tak ada satupun yang mendengarnya dari luar. Pintu sudah kutendang, namun tak berhasil terbuka. Sial. Kami makin panik dan berteriak histeris meminta tolong. Memanjat jendela juga percuma, terlalu tinggi dan juga berlapis teralis besi.

Sia-sia, tak ada orang lain di sekolah ini. Tak ada bantuan. Kami terperangkap.

Dan sepasang bola mata menggelinding ke arah kami.

Kami terdiam, tercengang, dan hampir tak bisa mengeluarkan suara melihatnya.

“T-tidak! T-tidak mungkin!”

Mata kami berkaca-kaca, dan menangis, saling mendekat dan merangkul satu sama lain. Kami bertiga lalu berjalan ke tempat ritual kembali. Rasa takut dan penasaran berkecambuk menjadi satu. Kulihat Vega terbaring kaku dilantai …, dengan kedua mata yang bolong.

“Oh, Tuhan. Tidak, jangan …”

Kami mulai mengangis melihat Vega di sana. Teman bermain dari sekolah dasar kini sudah mati di hadapan kami. Inikah takdirnya?

Dan tersadar, boneka yang menjadi mediasi kami menghilang, terlepas dari ikatannya. Kami panik, tak tahu harus ke mana mencariya. Aku teringat akan boneka Chucky yang dapat membunuh.

Sebuah buku terjatuh di depan kami, berjarak lima kaki. Lalu sebuah tumpukan meja bergerak dengan sendirinya, seperti digoyangkan. Kami takut, jantung kami berdegup kencang. 

Jane memberanikan diri untuk memeriksa buku tersebut. 

“Kosong,” katanya. Ia lalu kembali berjalan mundur ke arahku.

Sebuah buku kembali jatuh, kali ini buku di dekat pintu keluar, tempat di mana aku membaca arsip James. Kami lalu berjalan pelan ke sana, walau diselimuti rasa takut.

Tak ada apa-apa, kosong. Dan sialnya, Avril menginjak salah satu bola mata Vega layaknya telur puyuh. Avril berteriak sembari menutup mulutnya.

Kami mundur, dan berbalik arah. Tiba-tiba kepala Avril ditarik ke atas oleh sesuatu, seutas tali yang mengalungi lehernya. Avril meronta-ronta di atas, ia kehabisan napas, menggelinjang layaknya ikan di darat. Kami mencoba menarik kakinya agar turun, namun itu hanya membantunya untuk cepat mati. 

Dan ia kini benar-benar telah mati.

“Oh, tidak! Avril! Avril! Avriiiiill!”

Aku dan Jane menangis histeris, sudah dua teman kami yang mati di sini. Kami menggebuk-gebuk pintu memohon pertolongan, namun sudah berulang kali dicoba tetap tak ada sang penyelamat.

“Tolong kami! Tolong!!”

“Caroline, aku tak ingin mati di sini!”

“Aku juga, Jane!”

Terdengar suara tawa yang menggema ke seisi gudang. Kami berhenti memukul pintu dan menelisik tiap sudut ruangan. Napas kami terengah, adrenalin kami meningkat, kematian serasa sudah sejengkal di atas kepala kami. Kami tersudut menempel pada pintu, tak ada tempat lari, namun boneka itu sedari tadi tak muncul.

Gelas jatuh, pecah di ujung ruangan. Kami lelah, namun harus memeriksanya.

“Kosong, Jane.” 

Lagi-lagi tak ada apa-apa. 

Pintu lemari menggedor sendiri layaknya ada yang terkunci di dalam, dan kami terlalu takut untuk memeriksa. Gelas di dekat kami jatuh dengan sendirinya. Dua buku jatuh dari raknya. Meja di samping kananku bergeser. Aktifitas supranatural makin meningkat di sini. Kami dibuat mainan olehnya.

Pikiranku melayang, hasrat ingin bunuh diri di tempat ini. Aku memeluk Jane dari samping, kami saling berpelukan menahan takut. Dan lalu kami berlari ke pintu keluar.

“Caroline, toloooongg!!”

Langkah Jane terhenti, tiba-tiba saja telapak kakinya menginjak paku yang menembus alas sepatunya. Aku memapah Jane untuk berjalan tanpa mencabut paku tersebut, dan paku lainnya kembali menusuk telapak kaki Jane.

“Aw, sakiit.” Ia meronta.

“Jane, bertahanlah. Aku akan menemanimu!”

Kami dikerjai oleh hantu tersebut.

Kami kembali berjalan menuju pintu keluar, namun Jane sudah tak dapat bangkit karena kedua kakinya tertusuk paku. Memapahnya pun percuma, ia hanya dapat berjalan dengan tumitnya saja. Jane menangis di sampingku dan memohon untuk tidak meninggalkannya.

Aku memapah Jane kembali, ia berjalan menggunakan tumit dengan menahan rasa sakit. Aku tak pernah melihat Jane menangis seperti ini sebelumnya.

Kami sampai di pintu keluar dan mencoba berteriak minta tolong, namun hasilnya tetap nihil. Kami kepalang panik, teramat sangat panik. James tertawa puas di atas derita kami.

Dan seseorang akhirnya membukakan pintu.

“Matt!”

Si pecundang itu akhirnya datang sebagai penyelamat, Jane menangis dipelukannya, lalu kami keluar menjauhi gudang tersebut.

*****

Pagi harinya, polisi dipanggil untuk menggeledah gudang tua tempat kedua teman kami terbunuh semalam. Sekolah diliburkan, semua murid dipulangkan. Aku dan Jane diminta menjadi saksi atas kejadian ini.

Aku dan Jane masih trauma akan kejadian tadi malam, begitu kerasnya pikiran kami dipermainkan oleh James hingga kami benar-benar kapok bermain di gudang tua itu. Mungkin saja kematian James lebih sakit dibanding gangguan psikologis kami hingga ia tega membunuh siapa saja yang mengganggunya guna melampiaskan dendam masa lalunya.

Para polisi mulai menggali dinding di balik meja arsip. Di sana mereka menemukan tulang-berulang manusia. Satu persatu tulang mulai dikeluarkan dan diusahakan tanpa cacat sedikitpun. Benar kata James, mereka semua terkubur di sana.

Dan kami lupa akan satu hal; “Di manakah boneka yang dirasuki arwah James?”

Celaka, kami tak menyadarinya ...

Selasa, 02 Juni 2015

Perierat

Title: Perierat
Genre: Fantasy
Author: Alien Mars
==================================

Bermain di pantai Parangtritis, Yogyakarta memang menyenangkan. Ini bukan pertama kalinya aku ke sini, tapi aku rindu saja pada salah satu destinasi liburan di Kota Pelajar ini. Saat aku berjalan di pesisir pantai, aku menemukan sebuah kotak berwarna cokelat secara tak sengaja yang terombang-ambing ombak laut, lalu akhirnya berhasil menepi. Kotak yang terbuat dari kayu, tanpa paku yang menghubungkan tiap sudutnya, dan juga tak berukir, polos. Aku melihat ke seberang laut, namun hampa, tak ada orang jahil yang membuang sampah sembarangan. Karena penasaran, aku pun memungut kotak tersebut dan berjalan menuju kedai minuman untuk segera membukanya di sana, sekalian memesan segelas kopi panas untuk menghangatkan tubuh yang sudah menggigil ini.

Dag dig dug. Ingin kulihat isi kotak ini, namun aku takut jika ini adalah sebuah jebakan dari orang iseng. Tapi rasa penasaranku sudah meluap di dalam hati, aku bimbang. Saat aku buka, ternyata isi kotak tersebut adalah sebuah lembaran-lembaran kertas usang yang tersusun rapi. Halaman pertama lembaran tersebut adalah gambar segitiga dengan tulisan “We Are Here!!” di dalamnya, namun di setiap sisi segitiga tersebut terdapat sebuah nama; Miami, Bermuda, dan Puerto Rico.

Alangkah terkejutnya ketika aku membaca seluruh isi lembaran-lembaran tersebut. Beginilah isinya yang sudah aku terjemahkan ke dalam bahasa indonesia:

                                                           *****

Kalian tentu tidak mengenal sebuah negara yang bernama “Perierat”. Negara ini tidak tercantum di peta dunia maupun google maps, bukan? 

Senin, 01 Juni 2015

Tata Cara Menulis Dialog

Dialog adalah percakapan antar tokoh dalam cerita novel. Kehadirannya membuat karya tersebut hidup, tanpanya karya tersebut akan mati karena kita akan bosan membaca narasi yang panjang layaknya sejarah.
Bukannya sok pintar atau apa-apa, saya membuat dokumen ini untuk membenarkan naskah kalian yang masih salah atau bingung tentang tata cara penulisan dialog yang baik dan benar.

Langsung saja ke topik utama, di sini saya akan menjelaskan bagaimana penulisan dialog yang benar:

1. Dialog menggunakan koma sebelum petik terakhir.

Contoh salah:
- "Nia, dia ada di sana," Kata Karin.
- "Bogor itu lumayan jauh juga", kata Udin.

Contoh benar:
- "Nia, dia ada di sana," kata Karin.

Pengertian EYD (Ejaan Yang Disempurnakan)

EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) adalah tata bahasa dalam Bahasa Indonesia yang mengatur penggunaan bahasa Indonesia dalam tulisan, mulai dari pemakaian dan penulisan huruf capital dan huruf miring, serta penulisan unsur serapan. EYD di sini diartikan sebagai tata bahasa yang disempurnakan. Dalam penulisan karya ilmiah perlu adanya aturan tata bahasa yang menyempurnakan sebuah karya tulis. Karena dalam sebuah karya tulis memerlukan tingkat kesempurnaan yang mendetail. Singkatnya EYD digunakan untuk membuat tulisan dengan cara yang baik dan benar.

Gue yakin elu mabok baca ini sampai akhir. Saran dari gue, siapin kantong kresek warna putih, biar greget.

A. Penulisan Huruf Kapital.
1). Huruf kapital atau huruf besar dipakai sebagai huruf pertama kata pada awal kalimat.
Contoh: 
- Sebuah kapal tenggelam diserang meteor ...

Penulis Produktif Tertua Di Dunia

Masa tua biasanya dihabiskan untuk bersantai-santai, menikmati penghujung usia dengan anak dan cucu-cucunya. Tapi, wanita kelahiran 12 April 1908 di Lewisham, London, Inggris ini masih tetap menggeluti pekerjaannya sebagai penulis.  

Ida Pollock namanya. Semasa hidupnya, Ida sudah menelurkan 123 novel yang kebanyakan bergenre romansa untuk kalangan dewasa. Ia mulai menulis sejak berusia 14 tahun sampai hari kematiannya, 3 Desember 2013, pada usia 105. 

Walau terkenal dan memiliki banyak penggemar, Ida lebih memilih memakai nama samaran, di antaranya; Susan Barrie, Pamela Kent, Averil Ives, Charles Anita, Barbara Rowan, Jane Beaufort, Rose Burghley, Whistler dan Mary Margaret Bell.