Selamat datang di blog kepenulisan. Silakan menimba ilmu di sini dan jangan copy-paste.

"Keep writing and play your imagination" Yudha Pasca

Join Us On : LightNovel.ID


Selasa, 02 Juni 2015

Perierat





Title: Perierat
Genre: Fantasy
Author: Alien Mars
==================================

Bermain di pantai Parangtritis, Yogyakarta memang menyenangkan. Ini bukan pertama kalinya aku ke sini, tapi aku rindu saja pada salah satu destinasi liburan di Kota Pelajar ini. Saat aku berjalan di pesisir pantai, aku menemukan sebuah kotak berwarna cokelat secara tak sengaja yang terombang-ambing ombak laut, lalu akhirnya berhasil menepi. Kotak yang terbuat dari kayu, tanpa paku yang menghubungkan tiap sudutnya, dan juga tak berukir, polos. Aku melihat ke seberang laut, namun hampa, tak ada orang jahil yang membuang sampah sembarangan. Karena penasaran, aku pun memungut kotak tersebut dan berjalan menuju kedai minuman untuk segera membukanya di sana, sekalian memesan segelas kopi panas untuk menghangatkan tubuh yang sudah menggigil ini.

Dag dig dug. Ingin kulihat isi kotak ini, namun aku takut jika ini adalah sebuah jebakan dari orang iseng. Tapi rasa penasaranku sudah meluap di dalam hati, aku bimbang. Saat aku buka, ternyata isi kotak tersebut adalah sebuah lembaran-lembaran kertas usang yang tersusun rapi. Halaman pertama lembaran tersebut adalah gambar segitiga dengan tulisan “We Are Here!!” di dalamnya, namun di setiap sisi segitiga tersebut terdapat sebuah nama; Miami, Bermuda, dan Puerto Rico.

Alangkah terkejutnya ketika aku membaca seluruh isi lembaran-lembaran tersebut. Beginilah isinya yang sudah aku terjemahkan ke dalam bahasa indonesia:

                                                           *****

Kalian tentu tidak mengenal sebuah negara yang bernama “Perierat”. Negara ini tidak tercantum di peta dunia maupun google maps, bukan? 

Negaraku ini terletak di dalam area yang tak ingin kalian jamah; “Segitiga Bermuda”. Kalian tentu tahu daerah misterius tersebut. Percayalah, ada kehidupan di dalam segitiga bermuda yang terkenal berbahaya, walau kalian, para penduduk dunia luar tidak dapat ke sini. 

Perierat adalah sebuah negara kepulauan, pulau di negaraku berjumlah sekitar 11 pulau, namun hanya dua pulau yang hanya kami huni, yaitu Pulau Ecito dan Pulau Matta yang merupakan dua pulau terbesar. Setiap kapal laut atau pesawat terbang yang melintasi kawasan segitiga bermuda pasti akan kehilangan radar, kontak mereka langsung terputus dari pusat, dan berakhir menghilang di kawasan mengerikan ini.

Medan magnet di segitiga bermuda sangat tidak stabil. Di kawasan ini ada dua musim, musim hujan dan salju. Jika di negara-negara normal seperti kalian, pergantian musim mempunyai jarak beberapa bulan. Namun di kawasan negaraku, dalam satu hari saja bisa terjadi empat kali pergantian musim. Yang paling mengerikan adalah ketika badai datang, angin dan petir bercampur menjadi satu, lalu disusul oleh guyuran hujan yang tak tanggung-tanggung derasnya. Selang beberapa jam, salju pun turun dengan angin yang dinginnya sangat memusuk tulang-tulang kami. Ketika semua mereda, kami pun bisa beraktivitas kembali.

Matahari hampir tidak pernah bersinar di sini. Jika sinarnya muncul, itu merupakan sebuah keajaiban karena kehangatannya hanya mampu bertahan dalam hitungan detik. 

Setiap kapal laut atau pesawat terbang yang terperangkap di kawasan ini, hanya sedikit dari mereka yang selamat. Jika ditanya “mengapa?”, jawabannya adalah iklim di kawasan ini tidak stabil, aku sudah menjelaskannya di awal. Ombak begitu besar di lautan segitiga bermuda, tornado di atas air dan pusaran air yang akan menyeretmu ke dasar lautan adalah hal yang sangat familiar di lautan ini, maka dari itu kawasan pantai sangat menakutkan bagi kami.

Makanan kami sehari-hari adalah daging dari ternak-ternak kami. Puji Tuhan karena masih ada hewan yang dapat kami kembang-biakkan, mungkin para hewan ini adalah sisa-sisa dari peradaban zaman dinosaurus. Karena jarangnya matahari dan cuaca yang sangat buruk, bertani adalah sesuatu yang sangat mustahil bagi kami. 

Oh ya, populasi di negaraku berjumlah sekitar 870 jiwa. Para orang tua kami semua adalah korban dari hilangnya kapal laut dan pesawat terbang di segitiga bermuda.

Maaf, aku belum memperkenalkan diri. Namaku Daniel Gibson, umurku 28 tahun. Dari catatan yang aku rangkum dari berbagai sumber para penduduk, aku akan menyerahkannya pada kalian yang berada di dunia luar yang sangat mengasyikkan. Semoga catatan ini sampai pada kalian, aku sangat berharap dan percaya akan Kekuatan Tuhan.

24 Maret 1890

Clark Young, sang nahkoda kapal pesiar. Ia berlayar membawa ribuan penumpang, namun situasi buruk pun terjadi pada kapalnya. Ombak yang aneh, ombak yang hidup, ombak yang seakan lapar akan korban. Ombak tersebut seperti “cambuk naga”. Lalu kapalnya yang mengangkut dua ribu penumpang akhirnya terseret ombak tersebut dan masuk ke kawasan “keramat”.


1 April 1890

Clark Young dan beberapa teman serta penumpangnya tiba di sebuah pulau setelah berhari-hari terseret dan terombang-ambing ombak lautan. Mereka yang masih hidup pun berkumpul dan mendirikan perkampungan di dalam hutan belantara yang sama sekali belum pernah terjamah tangan manusia, mereka juga melawan cuaca yang tak stabil dengan baju basah yang mereka kenakan, serta perut yang kelaparan.

4 Mei 1890

Lagi-lagi sebuah kapal terseret arus cambuk naga, namun naas, hanya 12 orang yang selamat dari 1256 penumpang.

26 Agustus 1890

Sebuah bongkahan kapal pesiar lagi-lagi menepi di pinggir pantai yang pucat, kami (para sesepuh dahulu) pun segera menuju ke tempat kejadian. Hanya 7 orang yang selamat dari kejadian tersebut, termasuk sang nahkoda. 

Sang nahkoda menyatakan pengalamannya saat berlayar, “Aku melihat kabut hijau tebal dari arah utara kapal, kurang lebih berjarak dua ratus meter. Lalu sebuah ombak tiba-tiba datang dari selatan dan menghantam deras kapal kami, seakan kami diseret paksa ke utara. Semakin kami mendekati kabut itu, semakin keras angin yang berhembus layaknya badai, layar pun sobek dibuatnya. Tak berapa lama salju pun turun disertai gemuruh petir dengan langit kelabu yang teramat seram untuk dilukiskan. Kemudi mati total saat kami masuk ke dalam kabut, dan kompas berputar tak tentu arah. Badan kapal menabrak bongkahan batu es yang menyebabkan banjir di lambung kapal, kami menurunkan sekoci, namun tim pertama yang turun malah tenggelam oleh besarnya ombak setinggi dua meter. Lalu tornado tebal di atas air laut terjadi bagai pilar menembus cakrawala yang gelap abadi disertai puluhan petir di sekitarnya. Inilah mimpi buruk yang menyambar kapal kami dengan dahsyat. Dan beruntungnya aku masih hidup dengan beberapa orang beruntung lain
nya.”

1 Desember 1890

Kami kehabisan bahan makanan, hewan ternak pun mati tak terawat, penyakit kulit dan radang mulai meraja-lela. Beberapa dari kami lalu saling memakan satu sama lain.

24 Desember 1890

Di malam natal, kami memutuskan untuk pindah ke pulau sebelah dengan kapal yang dibuat seadanya, pulau yang empat kali lebih besar dari pulau kami sebelumnya. Alasan kami pindah adalah tidak adanya sumber makanan lagi. Namun beberapa dari kami tidak selamat karena kerasnya deburan ombak lautan. Setelah sampai, kami pun segera membuat perkampungan kembali.


2 Januari 1891

Banyak kapal dari korban cambuk naga yang mampir di kawasan ini. Namun hanya sedikit dari mereka yang masih hidup. 

“Kapal kami diseret oleh sesuatu, padahal aku telah berpaling dari sana! Ratusan batu es sebesar biji jagung jatuh dari awan dengan kecepatan sangat tinggi, kapal kami rusak. Lalu pusaran air raksasa di atas laut terbentuk, dan kami pun tertelan ke bawah sana yang gelap tak bercahaya. Aku tak bisa melihat apa-apa saat kami tertelan pusaran air, semuanya biru-gelap. Lalu kapal kami pun bertabrakan dengan dinding pusaran air lainnya hingga kapal kami remuk karena gesekkan,” pungkas sang juru kemudi kapal, Arnold Frodd.

19 Oktober 1891 

Populasi semakin meningkat karena begitu banyaknya kecelakaan dari dunia luar.

16 November 1891

Cuaca sangat dingin di sini, suhunya tembus hingga -35 derajat celcius. Badai salju terjadi selama satu bulan tanpa henti. Para penduduk satu per satu mulai mati kedinginan.

2 Februari 1892

Makin banyak kapal yang terseret ke tempat mematikan ini, namun tak satu pun dari mereka yang selamat.

9 Juni 1892

Matahari pertama kali menampakkan dirinya setelah Clark Young tiba di tempat ini. Namun sayang, sinarnya hanya mampu menghangatkan tubuh kami selama 14 detik, dan kemudian langsung dilahap awan kelabu yang menurunkan tetesan air hujan.

21 Oktober 1892 

Virus baru pun muncul, dan ini menular. Para dokter-dokter kapal belum bisa mendeteksi penyakit langka ini.

“Awalnya badan mereka panas dengan mata yang memerah, lalu mati rasa di beberapa bagian tubuh,” pungkas salah satu dokter, Del Gustavo.

22 Oktober 1892

Para warga yang baru beberapa jam terinfeksi virus langka ini lalu mati mengenaskan dengan sekujur tubuh yang berubah menjadi ungu.

14 Desember 1892

Karena maraknya virus langka ini, dan begitu juga para dokter yang masih belum bisa menemukan obat penawarnya, maka para warga yang terjangkit virus tersebut terpaksa diasingkan ke utara pulau ini.  Mereka di sana mati sangat mengenaskan, terasingkan tanpa ada yang peduli dengan nasibnya, ini seperti pembunuhan massal.

11 Mei 1893

Akhirnya obat penawar berhasil ditemukan. Racikan dari beberapa tanaman yang ditemukan di hutan. Para warga dalam kurun waktu satu minggu akhirnya sembuh total.

31 Agustus 1893

Ombak besar (tsunami, begitu orang dari dunia luar katakan) menerjang pulau tempat kami tinggal, ratusan warga tewas dalam bencana ini. Terpaksa kami harus mengungsi ke dataran yang lebih tinggi dengan berjalan kaki di tengah derasnya guyuran hujan. Bebatuan yang licin dan tanah yang becek membuat kami harus berhati-hati melintasi jalan di tepi jurang yang dasarnya tak terlihat.

18 April 1894 

Matahari kembali bersinar, namun kali ini ia hadir selama 45 detik. Kami beramai-ramai keluar rumah, berteriak gembira sambil menghitung kapan ia akan terlahap gelapnya atmosfir kawasan ini.

4 Mei 1894

Kapal laut kembali terperangkap di kawasan ini. Kata salah satu penumpang yang berhasil selamat, ia juga melihat ombak seperti cambuk yang menyeret paksa kapal yang ia tumpangi. Beberapa saksi juga berkata demikian, namun beberapa dari mereka seperti mendengar suara lolongan hantu dari dasar laut.

7 Juli 1894

Angin puting beliung meluluh-lantahkan tempat dulu kami tinggal, untung saja kami memutuskan untuk tetap tinggal di dataran tinggi.

8 Agustus 1894

Lima belas warga akan melakukan uji coba keluar dari daerah ini dengan kapal yang dirakit dari lempengan bekas jasad kapal yang mampir ke sini. Namun naas, mereka semua tenggelam setelah dihajar tornado laut yang tiba-tiba muncul begitu saja. Wajar, karena cuaca di sini mudah berubah-ubah. Ini adalah peristiwa bersejarah yang terjadi di sini, bahwa sepertinya kami tidak bisa menghirup udara dunia luar untuk selamanya. Kami terjebak.

16 April 1900

Gempa bumi melanda tempat kami. Kami lalu berlari ke tanah lapang. Namun peristiwa ini sedikitnya memakan sepuluh korban jiwa.

15 September 1920

Kami melakukan uji coba kedua kami, yakni keluar dari tempat ini menggunakan kapal. Namun nasib berkata lain, kapal pun terbalik diterpa ombak badai hingga para penumpang tak ada yang selamat. Kami pun berkabung di tepi pantai dengan desiran angin yang seakan tertawa melihat uji coba kami yang gagal total.

9 Februari 1943

Lagi-lagi kami kehabisan bahan makanan, para induk ternak sengaja tidak dikonsumsi agar dapat berkembang biak. Kami pun terpaksa bertahan hidup dengan memakan serangga, seperti cacing, belalang dan kelabang, juga hewan lainnya seperti cicak.

17 Mei 1943

Hampir saja peristiwa konyol terjadi kembali, di mana kami akan saling makan satu sama lain seperti zombie.

5 Desember 1945

Sebuah pesawat angkatan laut Amerika terlihat jatuh di pulau seberang. Ia menukik bagai bintang jatuh. Tak ada yang selamat.

30 Januari 1948

Sebuah pesawat bernama British South American Airways jatuh di tengah laut. Tak ada yang selamat karena dilahap lautan yang lapar.

17 Januari 1949

Pesawat yang sama, British South American Airways jatuh di tengah laut. Satu orang yang selamat. Ia berenang, bertarung melawan dinginnya dan kerasnya ombak lautan untuk sampai ke tepi pantai.

Sang pilot bersaksi, “Sangat sulit membedakan mana lautan dan daratan, dari atas semuanya tampak hijau karena samar-samar tertutup kabut yang entah dari mana datangnya. Sungguh, pesawatku seakan ditarik masuk lebih dalam ke dalam kabut. Lalu pesawat yang aku bawa hilang kontak dari pusat, gravitasi semakin kuat, badanku seperti tertindih sesuatu yang amat berat, dadaku sesak untuk bernapas, dan pesawat pun jatuh membentur lautan hingga hancur.”

31 Juli 1961

Akhirnya kami memutuskan pulau ini bukanlah sebuah desa, tapi pulau ini adalah sebuah negara. Maka, kami menamakan negara ini Perierat dengan Gustavo Eniorta, warga negara Spanyol yang akan menjadi presidennya, karena sebelumnya ia adalah seorang wakil rakyat di negaranya. 

11 Oktober 1966

Populasi kami mencapai 1200 jiwa karena maraknya kecelakaan dan meningkatnya pertumbuhan jiwa.

5 Januari 1985

Kakak perempuanku lahir, namanya Jessica Gibson. Sekarang ia sudah menikah dan dikaruniai satu anak laki-laki, namanya Thomas.

23 Mei 1985

Ada sebuah burung, mirip dengan burung elang. Ia dapat dilatih. Sekarang para kawanan burung Hemeth (begitu kami menyebutnya) dijadikan burung pengantar surat.

6 September 1985

Pesawat komersil kembali jatuh ke tempat kami. Menurut sang pilot, ia melihat kabut asap tebal berwarna hijau, kapal pun terguncang hingga lepas kendali, lalu jatuh. Hanya 6 orang yang selamat, sisanya hanyut tertelan lautan yang ganas.

3 Januari 1986

Akhirnya aku, Daniel Gibson lahir ke dunia, di mana tempat tinggalku adalah sebuah mimpi buruk, tidak seperti dunia kalian. Dan ini juga bertepatan dengan badai petir yang tiada habisnya selama satu minggu penuh. Para warga terpaksa mengungsi ke gua-gua pegunungan agar mereka tak tersambar petir jika menetap di rumah kayu.

6 Mei 1986

Gunung di Pulau Bartozi (begitu kami menyebutnya), pulau yang berada di selatan pulau kami meletus hebat. Suara dentuman ledakannya menggema hingga pulau kami, padahal jaraknya cukup jauh, gendang telinga kami hampir pecah dibuatnya. Lava pijar meleleh layaknya es krim yang dipanaskan. Namun aku yang masih bayi malah tertawa melihat seramnya gunung berapi tersebut meletus. Debu vulkanik menyebar luas, langit pun gelap gulita selama satu minggu. Beberapa dari kami meninggal karena terkena penyakit pernapasan, ya, termasuk Ibuku juga meniggal dalam peristiwa ini. Selamat jalan, Ibuku tercinta. 


13 Juni 1995

Sekarang aku sudah berusia sembilan tahun. Ayahku membuatkanku dan Jessica sebuah kalung yang indah. Aku tak akan membuangnya dan akan terus menjaganya, Ayah. 

15 Juni 1995

Badai lagi-lagi datang, kali ini salju putih terus turun selama satu bulan penuh. Suhu di sini mencapai -28 derajat celcius. Ini sangat dingin. Aku dan keluargaku sudah menyiapkan beberapa kayu bakar untuk kami menghangatkan diri. Namun beberapa dari para warga di sini kembali mati kedinginan karena kehabisan kayu bakar.

17 Juni 1995

Pesawat terbang kembali jatuh di kawasan ini. Pesawat tersebut jatuh di atas bukit, dekat dengan gua tempat keluargaku tinggal. Kami pun menolong mereka yang masih hidup, namun hanya ada satu orang yang selamat. Ia menceritakan pada kami, sebelum kapal mengalami kecelakaan, awan dan langit tampak indah dan stabil. Namun tiba-tiba angin kencang menggoyangkan kapal, diikuti butiran-butiran salju yang dapat dilihat dari jendela. “Ini fenomena aneh,” kenangnya. Selamat bergabung di tempat terkutuk ini, Nona.

1 April 1997

Pesawat terbang kembali jatuh, kami pun segera menghampiri tempat jatuhnya pesawat tersebut. Untung saja cuaca sedang stabil, jadi kami aman untuk keluar rumah. Saat aku sedang mencari korban yang selamat, aku menemukan sebuah majalah “trip” pulau-pulau indah di dunia luar yang tergeletak di atas rumput. Aku pun menangis begitu melihat indahnya matahari pantai. 

Korban yang selamat hanya tiga orang. Mereka mengatakan, “Awalnya cuaca aman-aman saja, namun hal aneh pun terjadi. Pesawat kami tiba-tiba bergoyang, langit menjadi hitam dengan ratusan kilatan petir tepat di depan mata saat kita intip dari jendela!”



17 Agustus 1997

Pak Presiden jatuh sakit karena badai tak kunjung mereda dalam tiga bulan terakhir. Para warga semakin kelaparan karena cuaca dingin ini.

31 Maret 2000

Dalam tiga tahun belakangan ini, hanya ada badai dan badai. Namun tidak ada satu pun dari kami yang tewas karena kami sudah mempersiapkan semuanya. Ini semua karena presiden sangat tanggap memenuhi keperluan rakyatnya.

11 Agustus 2011

Pesawat komersil kembali jatuh. Mereka yang selamat kebingungan dengan lokasi tempat kami. 

Katanya, “Negara Perierat? Di mana letak negara ini? Di peta dan google maps saja tak ada.”

“Google maps? Apa itu?” tanyaku. 

“Kau sungguh tak tahu? Kau memang terjebak di tempat ini dari tahun berapa?”

“Sejak aku lahir, 1986.”

“Pantas saja!”

28 Januari 2014

Pesawat komersil kembali jatuh. Meraka yang selamat juga heran ketika kami mengatakan, “Selamat datang di dalam area segitiga bermuda!” Mereka tak percaya bahwa ada kehidupan di dalam area yang terbilang mematikan.

Kalian, siapa saja yang mendapatkan kotak ini dan membacanya, tolonglah kami! Kami sudah terjebak lama di sini. Melawan lapar, penyakit, serta badai yang tiap hari melanda tempat tinggal kami! Kami hidup primitif di dalam gua, jauh dari kehidupan modern. Kami ingin keluar, kami ingin menghirup udara segar, kami ingin berjemur dan menikmati hangatnya sinar matahari seperti kalian. Langit kami gelap, kelabu layaknya alam baka nyata di dunia. Nyanyian kematian terngiang setiap detik di telinga kami.

TOLONG LAH KAMI !! 

                                                 *****

Aku pun menyerahkan kotak ini beserta isinya pada pemerintah, namun perlu tiga bulan untuk mendapat balasan, mungkin mereka kira ini hanyalah khayalan anak berusia 19 tahun yang terobsesi akan sebuah mitos.

Stasiun televisi pun akhirnya meliput kotak yang aku temukan, namun belum ada pergerakan dari mana pun.

Satu tahun berlalu, dan akhirnya tim arkeolog sejarah Amerika dan Jerman pun tertarik mencari letak Negara Perierat. Media massa mulai meliput gerakan mereka dan aku pun diikut sertakan oleh mereka karena katanya aku lah yang menemukan kotak tersebut.

Lima pesawat dan tiga kapal diluncurkan dalam operasi ini, dan aku kebagian di tim pesawat Amerika. Karena phobia ketinggian, aku tidak berani melihat ke bawah.

Saat pesawat yang kami tumpangi mulai memasuki area segitiga bermuda, ternyata yang tertulis di catatan Daniel benar adanya. Pesawat kami terombang-ambing bergetar di udara, sinyal bahaya terus berbuyi, awan petir menghujani sekitaran kami, langit yang tadinya terang menjadi gelap gulita dengan kabut hijau yang sangat tebal, pesawat kami kehilangan kontak dengan pesawat lainnya, dan akhirnya kami pun jatuh bagai logam yang ditarik magnet.

Aku pingsan.

Lalu tersadar.

Aku berbaring di atas pasir pantai dan dikerumuni oleh orang-orang banyak.

“Aku di mana? Mengapa langitnya gelap?” gumamku yang masih tak berdaya.

“Selamat datang, Nak! Orang-orang di sini menyebut tempat ini  “Alam Baka Dalam Kehidupan”,” kata seorang kakek-kakek menggunakan bahasa inggris. Bajunya lusuh dan tipis, rambutnya hitam ikal dengan warna kulit cokelat.

Aku langsung tersadar dan bangkit. “Hah? “Alam Baka Dalam Kehidupan”? Apakah ini Negara Perierat?”

Kakek itu pun terkejut. “D-dari mana kau tahu, Nak?”

“Kotak ini!” Aku pun menyerahkan kotak yang dikirimkan oleh Daniel, “dan di mana teman-temanku yang lainnya? Apa mereka masih hidup? Kami datang kemari bersama lima pesawat dan tiga kapal laut,” sambungku.

“Ahh, ini kotak Daniel, anakku!”

“Tuan, tolong jawab pertanyaanku, di mana teman-temanku?”

“Umm, aku tak tahu pasti di mana mereka. Wilayah lautan ini sangat luas, Nak. Kau terombang-ambing di laut sana, lalu ombak membawamu ke tepi pantai ini. Sangat sedikit kemungkinan teman-temanmu dapat hidup.”

“Ohh, mengerikan. Dan intinya … ternyata negara ini benar-benar ada! Aku sangat terkejut! Padahal, aku selalu ditertawai oleh teman-temanku yang membaca catatanku ini di media sosial.”

“Apa itu media sosial?” 

“Kalian orang lama memang jauh dari peradaban tekhnologi, jadi aku susah untuk menjelaskannya. Bolehkan aku bertemu dengan Daniel?”

“Oh, Tentu. Mari ikuti aku.” 

Aku pun dituntun oleh kakek tua tersebut yang mengaku sebagai ayah Daniel. Hari ini aku layaknya artis yang tiap langkahnya selalu dikerumuni orang banyak. Agak risih, tapi tak apa. Wajar saja karena aku adalah orang dari dunia luar.

Yang tertulis di catatan Daniel benar adanya; langit yang gelap-kelabu, ombak yang ganas, angin yang bertiup kencang, dan juga baru saja aku sampai langsung disambut oleh tumpahan air hujan serta gemuruh petir. Aku dan para warga yang tadinya berjalan santai kini mulai berlari agar cepat sampai di tempat berteduh. 

Aku terus mengikuti langkah kakek itu dari belakang sambil memegang daun pisang sebagai payung. Walau sudah tua, ia masih mempunyai semangat untuk berjalan kaki tanpa alas menaiki bukit yang terjal. Ia terus memperingatkanku agar hati-hati, namun tetap saja aku terjatuh karena aku belum hafal medan di sini.

“Kan sudah kubilang, Nak.”

Dua puluh menit menaiki atas bukit, akhirnya kakek itu berhenti tepat di depan gua. Di dalam sana, aku bertemu seorang pria jangkung dengan rambut gondrongnya sedang terduduk bersama beberapa orang yang kupikir adalah anak dan istrinya.

“Daniel, ada yang ingin berbicara padamu,” panggil sang kakek tadi yang lalu masuk ke dalam gua.

“Siapa, Yah? Dan mengapa kau tidak memakai daun pisang sebagai payung?”

“Sepertinya ia tertarik dengan kotak kirimanmu. Aku menghangatkan diri dulu di sana.” Si kakek pun segera meninggalkan Daniel ke ruang paling ujung di gua tersebut, ruangan yang berisi api unggun yang dapat menghangatkan tubuh.

“Kotak?” heran Daniel menatapku.

Aku segera masuk ke dalam gua tersebut. “Permisi, apa kau Daniel Gibson?”

Ia menjawab ramah, “Benar, aku Daniel Gibson. Dan kau siapa?”

“Aku Martin, orang dari dunia luar. Aku menemukan kotak kirimanmu yang terombang-ambing di lautan.”

“J-jadi …, kotak itu sampai ke dunia luar?” Daniel pun terharu.

“Boleh kutanya kehidupanmu di sini?”

“Mari silakan masuk, jika di pintu gua kau akan terus kedinginan,” pintanya, dan aku pun segera masuk ke dalam dan duduk lesehan di lantai gua.

Dinding-dinding gua ini berlumut, cokelat-gelap dan juga padat, aku rasa gua ini tahan akan gempa. Anak dan istri Daniel juga ada di hadapanku, mereka menyambutku dengan ramah. Orang di sini menggunakan bahasa inggris sebagai bahasa sehari-hari, walau tak semua orang di sini berasal dari Inggris ataupun Amerika, begitu menurut pengakuannya. Aku dijamu minuman hangat, ini bukan teh, tapi lumut. Sedikit jijik, tapi jika aku tolak sangat tidak sopan.

“Bagaimana kehidupanmu di dunia luar, Martin?”

“Sangat mengasyikkan di sana, seperti tulisanmu di kotak itu; udara segar dengan cahaya matahari yang hangat merasuki tubuh.” 

Daniel tampak iri.

“Seperti yang kau lihat, aku tak berbohong, bukan? Ada negara di dalam area kelabu ini. Area ini tertutup oleh angin dan kabut hijau, serta badai yang tak akan rela melepas buruannya.”

“Kau benar, ini sangat mencekam bagi orang baru sepertiku,” jawabku sambil menengguk air pemberian istri Daniel.

“Bagaimana rasa air itu?”

“Ahh, sangat unik, manis dan asam. Tak ada minuman seperti ini di dunia luar. Lalu, apa kalian masih ingin keluar dari area ini?”

Daniel merenung. “Sepertinya tidak. Kita telah ditakdirkan untuk menetap di area ini selamanya.”

Seperti tersambar petir, aku pun terkejut setelah mendengar kata-katanya.

Dari hari ini, detik ini, mungkin aku tak akan bisa keluar dari area terkutuk ini, aku akan menetap selamanya di sini, di kehidupan primitif yang jauh dari peradaban tekhnologi. 

Selamat tinggal dunia luar dan juga orang-orang yang aku sayang, kini aku resmi menjadi penduduk perairan segitiga bermuda, Perierat.

*THE END*

1 komentar: