Selamat datang di blog kepenulisan. Silakan menimba ilmu di sini dan jangan copy-paste.

"Keep writing and play your imagination" Yudha Pasca

Join Us On : LightNovel.ID


Kamis, 27 Juli 2017

The Codex of Lucifer: Chapter 05 - Reunion






"Reunion"


Rofocale yang dalam bentuk kucing berjalan menuruni anak tangga. Mungkin dia bosan, dan memilih keluar dari kamar Chika lewat sela pintu kecil yang memang sengaja dibuat.

Dalam wujud kucing ini tentu tak akan ada manusia yang curiga, ataupun mengetahui jika dia adalah tangan kanan iblis besar dari neraka. Malah yang ada, para manusia selalu mengelus bulu-bulu halusnya. Saat mereka melakukan itu, Rofocale jelas merasa risih.

Mungkin jika kucing lain disentuh perutnya, mereka akan senang karena mereka dianggap lucu oleh manusia. Namun hukum itu berkata sebaliknya. Ketika ada manusia yang menggelitiki perutnya, Rofocale langsung menggigit mereka. Dan tetap, Rofocale masih dianggap lucu nan menggemaskan.

“Hei, apa kalian pikir aku ini imut seperti kucing lainnya? Aku ini iblis! IBLIS! Camkan itu!” 

Batinnya selalu menggeretak saat Chika memperlihatkan dirinya pada para tetangga. Hal itu tentu membuat Rofocale sebal. Tapi siapa juga sih yang paham akan bahasa kucing yang hanya meow meow saja? Justru itu menjadi daya tarik tersendiri bagi manusia ingin memelihara Rofocale karena dia terlihat aktif, tidak pemalas seperti kucing rumahan lainnya.

Itulah mengapa dia lebih memilih tinggal di kamar Chika, karena Chika tinggal sendiri. Jika dia tinggal bersama Ratih, tentu kedua orang tua Ratih yang hobi kucing akan memperlakukan Rofocale seperti kucing rumahan, dan membuat tubuhnya itu gendut agar terlihat imut.

“Ya, jika dipikir-pikir aku berhutang budi juga padanya.”

Ngomong-ngomong, sekarang dia sudah sampai lantai dasar dengan hanya menuruni anak tangga. Sial, batinnya. Itu jelas melelahkan. Andai saja ada manusia yang memakai lift di jam sepuluh, pasti semua ini akan terasa mudah turun dari lantai enam.

Sinar matahari menyapanya saat langkah pertama dipijak. Hari terasa hangat, namun berangin sejuk. Dedaunan hijau itu melambai-lambai, mengibaskan bulu hitam Rofocale ke sana-kemari. Beruntung lingkungan apartemen ini menanamkan banyak pohon rindang di sepanjang jalan, jadi walau seterik apapun cuacanya, di sini akan terasa sejuk.

Lingkungan yang ramah, dan tidak langsung menghadap jalan protokol, jadi Rofocale sangat menikmati jalan yang diprioritaskan bagi para pejalan kaki.

Saat menyusuri jalan, beberapa kucing liar meliriknya tajam. Itu adalah geng Saber yang diketuai oleh kucing berbulu kuning. Dia tampak sangar dengan luka cakar membentang di area mata.

Mereka menghampiri Rofocale beramai-ramai, setidaknya tujuh ekor. Raut wajah terlihat lapar karena tong sampah tempat mereka nongkrong kebetulan sedang kosong.

Rofocale tetap berjalan santai saat salah satu anak buah geng kucing tersebut maju ingin menyerang. Namun tak disangka komplotan geng Saber yang mencoba mendekat tiba-tiba pingsan, tubuhnya jatuh seketika.

Satu sampai empat kucing mengalami nasib yang sama, mereka tak sadarkan diri bagai mayat. Hingga yang tersisa mencoba menyelamatkan diri, namun itu semua mustahil. Dengan energi negatif, Rofocale pun memperluas aura jahatnya hingga mereka semua jatuh tak berdaya.

Dan perjalanan berlangsung tanpa hambatan.


***

Sudah memasuki jam istirahat, Chika dan Ratih seperti hari-hari kemarin hanya mengunjungi perpustakaan. Ruangan ini seperti markas kedua baginya, karena sepi, di sini bebas untuk berbicara tentang hal-hal ghaib yang terjadi dalam selama ini.

Semalam memang perburuan paling besar yang pernah mereka lakukan, jika dihitung lagi, kemarin itu mereka berhasil membantai habis enam puluh tiga malaikat. Jumlah yang fantastis, terhitung dari awal mereka menjabat sebagai iblis.

Oh ya, luka di lengan Ratih masih membekas, dan hanya dibalut kain perban dengan obat merah. Saat dalam mode astral memang terasa biasa, namun saat kembali menjadi bentuk manusia, terkena air pun perihnya minta ampun. Bahkan semalam dia menjerit saat Chika meneteskan obat merah.

Dengan lembut, Chika mencoba menyentuh lengan Ratih yang terluka.

“Ish!” Namun Ratih menjauhkannya.

“Kenapa?”

“Jangan. Sakit, tau!”

Chika cemberut sambil membalik halaman novelnya. “Lebay, ih.”

“Tapi gue bingung, sakitnya kok baru terasa pas kita berubah lagi, ya?”

“Hmm, iya, ya? Aku juga bingung.”

“Bahkan, terasa digigit semut pun enggak, kayak cuma abis digaruk aja.”

Dengan tangan menopang dagu, Chika bertanya, “Apa kita saat berubah bentuk jadi iblis, ketahanan tubuh kita bukan lagi kayak manusia? Maksudnya, kita bertambah kuat dalam ketahanan dan kekebalan fisik.”

“Bisa jadi. Bisa jadi.” Ratih mengangguk setuju. “Terasa juga sih pas kita berubah, stamina kita nggak capek. Tapi pas berubah jadi manusia, langsung drop gitu aja. Badan pegel-pegel.”

“Begitu, ya.”

“Apanya?”

“Bisa ditarik kesimpulan. Kita pas udah berubah jadi iblis, seketika memang kita langsung terlempar ke dimensi lain. Sebuah dimensi yang memang rupanya sama kayak bumi, namun kita nggak bisa menyentuh manusia, bahkan merusak benda apapun. Kayak…, mereka semua, bangunan-bangunan itu cuma latar belakang.”

Ratih menyandarkan punggungnya pada kursi. “Jadi, ini semacam astral projek. Bener, ‘kan?”

Chika mengangguk. “Bisa dibilang begitu. Karena memang kita menjadi ‘makhluk astral’, juga pisah dimensi dengan manusia lainnya.”

“Jadi, dalam mode astral itu gue bisa dong ngintip Ronald lagi ngapain?”

“Ronald doang? Kalo Erick, Leo, sama Gilang gimana?”

“Ya gausah disebut semuanya, Nona manis! Ih!” desis Ratih.

“Hahaa, cowok kok dikoleksi? Ternakin aja, Mbak, sekalian.”

“Tuh kan, melenceng dari topik.”

“Oke, oke. Sorry.” Chika menyandarkan punggungnya. Kini sedikit merasa rileks setelah dia menarik napas panjang. “Mengingat. Dalam mode astral, kita berada satu dimensi dengan malaikat, atau bahkan Tuhan sekali pun. Jadi dengan kata lain, kita bisa melihat apa yang manusia lakukan, sementara manusia tidak bisa melihat kita. Itu sebabnya tak ada yang tau kalau di langit kita sedang melawan malaikat.”

“Tuhan, ya?” Ratih menggaruk dagu. “Bentuknya kira-kira bagaimana?”

Sementara itu Chika hanya bisa menaikkan kedua bahunya. “Siapa yang tau?”

“Kalau kita bisa mengalahkan Tuhan, apa kita bisa menguasai alam semesta?”

“Kamu mikirnya terlalu jauh, Ratih.”

“Entah. Tapi itu menarik juga,” pikir Ratih. “Bayangin kita dapat membangun dan menulis ulang sejarah alam semesta. Keren, ‘kan?”

Chika menggaruk rambut pirangnya. “Y-ya, keren juga, sih. Tapi bisa dibilang mustahil juga untuk mengalahkan Sang Pencipta. Gila kamu, ya.”

“Hahaa, gue penasaran apa Rofocale juga berpikiran sama kayak gue.”

“Aku rasa enggak.”

“Heh, kenapa?”

“Dendam dia cuma sama malaikat, deh, nggak ke Tuhan segala.”

“Tapi kalo dia berhasil menggulingkan seluruh malaikat, otomatis Tuhan adalah lawan terakhir kita, karena dia yang memegang tahta tertinggi.”

“Bener juga.”

“Jadi bisa dipastikan, Tuhan adalah lawan terakhir setelah benteng malaikat runtuh.”

“Tapi ini jelas gila, Ratih.”

“Ya. Tapi entah nanti bagaimana. Yang kita harus lakukan adalah memperkuat diri dari grimore yang kita kumpulkan.”

Chika mengangguk. “Ya.”

***

Di taman ini terasa sejuk dan damai, jauh dari hiruk-pikuk kendaraan dan polusi kota, menjadikan suasana tentram yang dipilih Rofocale untuk membaca sebuah buku bercover hitam. Apalagi taman ini mempunyai danau yang indah, dan tiap angin yang bertiup membawa bau air yang menambah konsentrasi.

        Bola mata kuningnya itu bergerak ke kiri-kanan, hingga tak ada satu katapun yang terlewat. Susunan huruf itu bukan alphabet, arabic, atau dari negara manapun. Halamannya berlatar kuning, dan terkadang coklat. Agak sedikit kotor, karena ini memang buku lama.

Butuh waktu puluhan ribu tahun bagi Rofocale menerjemahkan buku pemberian Lucifer ini. Ya, sebelum Lucifer mati, hanya ini yang dia wariskan pada satu-satunya iblis yang masih tersisa.

Tentu itu waktu yang lama, bahkan tulisan ini baru diterjemahkan 60%-nya saja. Walau begitu, banyak informasi yang telah Rofocale dapatkan dari buku bergambar ini.

Rencana Tuhan, penciptaan malaikat, iblis, tingkatan surga, neraka, grimoire, pembangkitan, juga bumi beserta manusia tertulis jelas di sini. Saat Lucifer masih menjadi tangan kanan Tuhan, dia mencatat semua itu ke dalam buku dengan huruf ciptaannya sendiri.

“Ergh! Bagian ini sulit dimengerti.” Halaman lain kembali dibuka.

Terdapat seribu halaman lebih yang terdiri dari sepuluh bab. Buku ini menyimpan misteri kehidupan yang seharusnya tak boleh dipecahkan, dan pantas saja Metatron benar-benar murka ketika buku ini jatuh ke tangan iblis lain.

Mereka, para malaikat mengira bahwa buku karangan Lucifer ini telah musnah saat perang tersebut berlangsung. Maka dari itu, Rofocale harus menyembunyikan eksistensi keberadaan buku ini.

Rofocale terus membolak-balikkan halaman, dari yang sudah dibaca ke yang belum dibaca, dan sebaliknya. Dia mencari huruf dan kosakata yang sama, lalu mentranslit mereka.

“Oh, jadi begitu cara kerjanya.”

Seringai itu tertampak pada wajah. Sepertinya dia mendapat ilmu baru yang berpengaruh besar pada misi utamanya.

“Jadi, piramida di dunia ini dibangun bukan sebagai istana atau bangunan untuk memperindah kota semata. Ada tujuan lain di balik itu semua. Hahaa, Lucifer itu memang pintar!”

“Pintar?”

“Eh?”

Bagai tersengat listrik, semua bulu kucing Rofocale terangkat ketika dia tak sadar bahwa ada seseorang di belakangnya.

“EEEEEEH——?! MANUSIA?!”

“Halo.”

Lelaki itu tersenyum, dia mengangkat telapak tangan layaknya sedang menyapa, bahkan tak ada ekspresi takut atau terkejut saat bertemu kucing hitam yang dapat berbicara, sedangkan Rofocale segera memasang kuda-kuda siap bertarung.

“Grrr! Mau apa kau?!” tanya Rofocale, berdiri di depan buku itu guna melindunginya.

“Ah, tidak-tidak.” Lelaki itu menjawab santai, dan sedikit tertawa. Dia lalu memperkenalkan diri. “Panggil saja Sam. Samuel Leonheart.”

“Aku tak butuh namamu. Enyah saja kau dari sini! Rawr!” Dengan cakar tajamnya, Rofocale lalu melompat ke arah Samuel.

Jika manusia awam melihat pemandangan ini, mungkin mereka mengira si majikan sedang bermain dengan kucing piaraannya. Namun di balik semua itu, sebuah nyawa sebenarnya sedang terancam.

Rofocale terus melompat, meraung, dan mencakar. Terperangkap dalam tubuh kucing memang menyamarkan dirinya dari malaikat, namun hewan ini begitu kecil dan cukup sulit melawan manusia yang berkali-kali lipat tingginya.

Staminanya terkuras banyak hanya untuk melompat, hanya sesekali dia mencakar sepatu dan celana Sam, sementara Sam terus menghindar dan sama sekali tak membalas serangan Rofocale.

“Hei, tunggu!” teriak Sam. “Aku tidak ingin mengacaukan harimu!”

“Grrr! Kuharap kau sudah memesan batu nisan! Manusia normal tak boleh tahu siapa aku!”

“Memangnya kau ‘apa’?”

“Tentu saja jelmaan iblis!”

“Nah, walau kau jelmaan iblis, bukannya ucapanmu hanya terdengar seperti suara kucing pada manusia biasa?”

“Ergh!” Rofocale makin memantapkan kuda-kudanya, juga pikirannya sedikit terbuka.

Memang benar. Walau Rofocale berbicara bahasa manusia, namun ucapannya hanya terdengar meow seperti kucing pada umumnya. Kecuali Sam bukan manusia biasa, pasti dia bisa mendegar apa yang Rofocale ucapkan.

Dengan tangan di pinggul, Sam berdiri santai, matanya menghadap Rofocale tanpa ancaman, ataupun niat membunuh.

“Lama tak bertemu, ya, Rofocale.”

Masih meraung, Rofocale menjawab, “Siapa kau?!”

“Bukannya sudah kubilang ‘Sam’?”

“Bukan nama!”

Sam menggaruk rambut hitamnya. “Ya, seperti yang kau tahu. Aku juga jelmaan iblis, sama sepertimu.”

“Iblis, huh?”

“Samael.”

Rofocale menarik kuda-kudanya. “Hoo, jadi kau Samael. Kukira hanya aku yang selamat dari perang itu.”

“Sebelum tewasnya Lucifer, dia berpesan agar aku turun ke bumi, dan menetap ditubuh manusia. Sama sepertimu yang dulu bersembunyi dalam tubuh manusia.”

“Aku meninggalkan jasad manusia itu.”

“Kenapa?”

“Jangan bodoh. Kau tentu juga melakukannya, ‘kan?”

“Ya. Maksudku, untuk menghindari malaikat, juga penuaan organ, maka tiap sepuluh tahun aku berganti tubuh. Tapi kenapa kau tidak memilih tubuh manusia, melainkan kucing?”

“Karena kucing satu-satunya hewan yang sulit dideteksi oleh malaikat.”

Sam memiringkan kepalanya. “Oh, ya? Buktinya aku tidak ketahuan, tuh.”

Shees, entah. Buku ini menjelaskan begitu.”

“Hoo, begitu. Boleh kupinjam?”

“Tidak!”

“Meh, kita ‘kan sama-sama iblis.”

“Lagipula kau tidak dapat memahami tulisan ini.”

“Dari yang aku intip tadi, memang benar. Tapi aku bisa memecahkannya.”

“Heh, jangan bodoh. Sudah lebih dari lima puluh ribu tahun aku belum sempurna mentraslitnya.”

“Kau ini bodoh atau apa, Rofocale?”

“Aku tidak peduli. Kerajaan iblis harus bangkit kembali sesegera mungkin!”

“Maka dari itu aku berniat membantumu.”

“Heh, membantu katamu?”

“Kau pikir aku ini dari clan mana, kucing manis?”

“Kukira kau sudah betah menjadi manusia abadi.”

Sam menghela napas sebelum menjawab, “Aku akan membantu misimu itu. Kau kira kau saja yang berduka atas kejadian itu, huh?”

“Terserah. Tapi mulai dari sekarang, kau harus mengikuti kata-kataku. Mengerti?”

“Dimengerti. Komandan!”

***

Di saat subuh datang bersama sang embun, kabut mulai merayap di kawasan pegunungan Elbrus, Rusia. Suhu yang turun drastis hingga di bawah nol derajat celcius mengharuskan para pendaki untuk memakai pakaian tebal selama bertahan di tempat ini.

Salju yang tiba-tiba turun mengharuskan mereka menghentikan pendakian, dan mendirikan tenda di berbagai tempat. Bir adalah minuman legal, karena panas, suhu tubuh mereka akan stabil saat mengkonsumsinya.

Tak ada yang bisa mereka lakukan selama hujan turun di kawasan yang berselimut salju abadi. Hanya dapat menunggu reda, hingga angin bertiup tak terlalu kencang. Persediaan makanan juga harus disiapkan untuk sampai ke pos berikutnya.

Ramalan cuaca menjadi teman terbaik, karena tanpa mereka para pendaki akan mati tanpa mengetahui prakiraan cuaca hari ini.

Tepat di puncaknya berdirilah kuil ghaib tempat Sandalphon bertugas di bumi. Bersama para malaikatnya, mereka semua mencatat dan melapor apa saja yang terjadi di bumi, seperti; kelahiran, kematian, bencana, pembangunan, pergantian hari, dan masih banyak lagi.

Dari gelapnya cakrawala yang berbintang terlihatlah sebuah ekor api yang turun ke bumi. Seperti jatuhnya sebuah komet, api itu menyala terang hingga para pendaki dapat melihatnya. Jika diterawang lebih dekat, dia adalah malaikat berjubah merah, Raguel yang hendak menuju kuil ghaib milik Sandalphon.

Penemuan tongkat guntur dengan darah iblis ini harus segera diselidiki asalnya.

Di sana, beberapa malaikat terlihat sibuk keluar-masuk dari gerbang kuil yang menjulang tinggi. Mereka secara bergantian menerima tugas dan melaporkannya pada Sandalphon yang menjabat sebagai pencatat segala sesuatu yang terjadi di bumi.

Raguel disambut oleh malaikat penjaga gerbang. Mereka terheran melihat benda yang sedang Raguel bawa, namun tak berani bertanya.

Sandalphon, malaikat berjubah hijau itu sedang sibuk menulis laporan di meja. Dari banyaknya tumpukkan kertas yang tak tertata rapi itu, malaikat-malaikat lain pun tak berani menganggunya.

Dari aroma ini, dengan hidung mancungnya, Sandalphon dapat mencium wangi surga yang datang mendekat, namun juga sedikit amis. Dan dari mata itu terpantullah bayangan malaikat berjubah merah yang sedang menggenggam sesuatu di tangan kirinya.

Dia berhenti, berdiri lima meter dari depan meja Sandalphon.
 
“Wahai sahabatku, aku datang membawa sesuatu.”

Terhenti dari aktivitas menulis, Sandalphon kini menyandarkan punggungnya. “Apa itu yang kau bawa, wahai Raguel?”

Raguel datang mendekat, menyerahkan tongkat guntur bernoda darah itu pada Sandalphon yang segera berdiri dari kursinya.

“Pantas saja aku mencium bau amis. Ternyata iblis!”

“Aku mau anak buahmu mencari tahu tentang ini.”

Sandalphon mengelus dagu. “Hmm, baiklah. Tapi di mana kau mendapatkan ini?”

“Di suatu tempat daerah Jakarta, Indonesia.”

“Tak jauh dari sini rupanya. Mereka sangat dekat dengan kita.”

“Benar,” jawab Raguel. “Tak salah jika kau membangun markas di sini.”

Sandalphon duduk kembali. “Sebelumnya aku turut berduka pada malaikat yang telah gugur, namun dia gugur dengan membawa informasi penting. Tentu aku tak akan menyia-nyiakan pengorbanannya yang telah berbakti di sisi Tuhan.”

“Kalau begitu, aku mohon kasus ini harus segera diselesaikan.”

“Heh, tenang saja, wahai Raguel. Pasti anak buahku akan menemukan siapa pemilik darah ini.”

Raguel memejamkan matanya. “Pada malam kemarin, Metatron mendapat laporan bahwa banyak sekali malaikat yang gugur.”

“Eh? Benarkah?”

“Para malaikat itu ditugaskan untuk membawa grimoire pada manusia yang membutuhkan. Namun saat ditunggu, mereka tidak pulang ke Istana Adam.”

“Jadi para iblis itu benar-benar mengincar grimore, ya?”

“Tidak hanya itu.” Raguel memantapkan nada bicaranya. “Tentu juga grand grimore, jangan kau lupakan.”

“Saat kau pertama kali bertemu mereka itu? Hmm, ya, ya.”

“Bagi mereka, sepertinya grand grimoire mempunyai daya tarik tersendiri daripada grimore biasa.”

“Maksudmu?”

“Saat masih di angkasa, aku pun sudah diteror oleh mereka yang jauhnya ribuan kilometer dari tanah bumi.”

“Begitu, ya? Jadi suatu saat benda itu dapat dipakai untuk memancing mereka.”

 “Memancing? Apa maksudmu?”

“Kita pancing mereka memakai grand grimore.”

“Hmm, begitu.” Raguel mengelus dagu lancipnya. “Tapi mereka sungguh kuat, sungguh pintar. Buatlah strategi yang matang sebelum aku mati menjadi puing cahaya.”

“Heh, kau pikir aku ini bodoh, hah? Kau saja yang saat itu kewalahan,” ejek Sandalphon yang membuat Raguel sedikit jengkel.

“Hei, saat itu aku ‘kan sedang bertugas. Metatron pun mengirimkan benang surganya hingga aku tak boleh mengejar iblis itu kabur. Dasar payah.”

“Ya, ya. Terserah. Akan aku laporkan rencana itu setelah penyelidikan ini selesai. Masih banyak tugas yang aku dan para anak buahku kerjakan.”

“Baik. Aku serahkan sepenuhnya kepadamu.” Setelah berkata demikian, Raguel pun balik badan. “Kalau begitu, aku permisi dulu.”

Sandalphon mengangguk dengan mata terpejam. “Silakan.”