The Codex of Lucifer: Chapter 04 - Searching
'Searching'
Sejak menginjak bangku SMA, keadaan emosi Chika tidak
stabil.
Rasa sedih selalu datang saat dia melihat seorang anak
yang bahagia bersama orang tuanya. Di sana dia lalu berdiri menangis. Rasa iri
itu tertanam, menjamur, berbuah, bermekaran. Juga saat melihat ada anak kecil
yang dimarahi orang tuanya, Chika segera memalingkan wajah, terduduk pada muka
jalan, dan tak berani melihat adegan itu.
Semua trauma masa lalunya membekas erat, dan tak mau
hilang. Ibunya Ratih pun sampai membujuk Chika ke psikiater, dan untungnya
gadis itu mau menurut.
Psikiater tersebut memberikan motivasi untuk Chika,
bahwa masih ada Ratih yang masih sayang padanya. Ucapan itu menjadikan Ratih
sebagai sosok penting dalam hidupnya, dan Ratih adalah sosok yang tak boleh
hilang, rusak, juga mati.
Ratih adalah emas, Ratih adalah mutiara. Oleh karena
itu, dengan berani Chika mempertaruhkan nyawanya saat Ratih hendak mati oleh
ayunan pedang Raguel.
Dan psikiater itu juga memberikan obat penenang, obat yang
harus diminum rutin tiap hari pada jam yang sama. Jika habis, Chika dapat
mengambilnya lagi, dan semua yang membayar biaya itu adalah ibunya Ratih.
Ibunya Ratih nampak kasihan pada Chika, padahal Chika
adalah anak yang selalu berprestasi di sekolah, namun sayang dia tidak mendapat
kasih sayang orang tua saat dirinya beranjak remaja.
Sejak saat itu, Dr. Hani sudah dianggap dokter
pribadinya. Begitupun Dr. Hani yang sudah menganggap Chika adalah anak sendiri,
karena Chika hanya mau bercerita seluruh pengalaman kelam padanya.
Obat penenang itu diberikan dalam bentuk kapsul, jadi
Chika dengan mudah dapat membawanya, bahkan jika untuk bepergian jauh, Dr. Hani
juga menyarankan agar Chika tak lupa membawa obat itu ke manapun dia pergi.
Sampai saat ini Chika masih mengkonsumsi obat
tersebut, alasannya karena bayang-bayang kelam itu masih menghantuinya.
Sebenarnya, satu atau dua bulan saja sudah bisa meredakan trauma tersebut,
namun entah kenapa itu tak berpengaruh padanya.
Tiap pagi sebelum berangkat sekolah Chika meminum obat
itu, lalu terakhir pada jam sebelum tidur. Dia selalu meminumnya di saat jam
yang sama sesuai anjuran Dr. Hani.
Namun di pagi ini, obat itu tinggal tersisa satu butir
di tangannya. Chika menghela napas, berarti setelah pulang sekolah dia harus
menemui Dr. Hani.
Ditengguknya kapsul tersebut dengan bantuan segelas air,
setelahnya dia pun berpamitan dengan kucing hitam, lalu bergegas pergi menuju
sekolah.
***
Sebuah kuil besar berdiri kokoh di puncak gunung.
Bangunan tua dari bata besar itu bagai negeri di atas awan, karena banyaknya
kabut yang mengelilingi dataran tinggi ini.
Makhluk berjubah hijau itu terlihat sedang menulis
sesuatu di atas meja. Dia nampak fokus dengan pekerjaannya, begitu tenang
dengan sepasang sayap yang terlipat. Hingga sampai sebutir debu terbang, dia
pun sadar bahwa ada sesuatu yang datang mendekat.
Dialah malaikat berjubah merah, Raguel yang diutus
Michael untuk menemui Sandalphon di kuil ini.
“Masuklah,” kata Sandalphon.
Raguel mendekati mejanya.
“Ada yang ingin aku laporkan.”
“Ada berita dari surga atas? Atau kekacauan di hutan
dan di langit? Atau hal lainnya?”
“Lebih parah dari itu.”
“Eh?”
Jawaban Raguel menghentikan aktivitas malaikat berambut biru itu.
“Aku baru saja melawan dua iblis yang saat ini sedang
kau cari informasinya.”
“Kalau begitu ceritakan itu padaku, wahai Raguel.”
“Iblis yang pertama memiliki rambut pendek
bersenjatakan pedang besar dengan dua mata pisau, dan yang kedua iblis berambut
panjang yang bersenjatakan sabit,” jawab Raguel. “Mereka berdua adalah mempunyai
kekuatan iblis yang dulu telah lama mati.”
“Yang ingin aku tahu adalah bagaimana mereka bisa
terlahir kembali, dan bagaimana dalang dari semua ini dapat melakukannya dalam
tempo waktu kurang dari empat bulan, sedangkan peperangan kita melawan mereka
itu sudah lebih dari lima ribu tahun lamanya.”
“Untuk itu aku belum tahu. Aku hanya tahu cara
berkelahi mereka, dan kekuatan yang mereka miliki.”
“Lanjutkan.”
“Iblis wanita berambut pendek memiliki elemen angin,
sedangkan yang berambut panjang memiliki elemen petir. Kedua energi mereka
bermuatan negatif yang membawa aura gelap saat elemen itu dipakai dalam
bertarung.”
Sandalphon memperbaiki posisi duduknya. “Jika ditilik
dari sejarah terdahulu, tak ada iblis yang memakai elemen negatif itu, benar
bukan?”
“Aku juga tahu, tapi…, kau benar. Semua ini masih
janggal. Kita kekurangan informasi.”
“Jika hanya itu saja yang dapat kau laporkan, aku
sangat berterima kasih padamu. Informasimu itu sangat penting bagi diriku dan
seluruh anak buahku.”
“Senang bisa membantumu, wahai Sandalphon.”
Raguel menundukkan badannya, lalu berbalik badan dan
pergi dari kuil ini, kembali menuju Taman Firdaus.
Kembali menyalin laporan, Sandalphon semakin penasaran
akan sosok siapakah dalang dari semua ini, juga bagaimana dalang tersebut ‘memproduksi’
iblis baru sebagai pasukan.
***
Ruangan bercat putih ini terasa dingin, sepertinya ac
disetel di bawah suhu dua puluh derajat. Untung saja Chika selalu memakai jaket
ke manapun dia pergi, jadi tubuhnya masih bisa merasakan kehangatan.
Pintu coklat bergagang besi itu terbuka, seorang
wanita masuk dari ruangan lain, lalu duduk di mejanya. Kini Chika bertatap muka
dengan wanita tersebut.
Berkaca mata dengan rambut dikuncir ekor kuda, dia
nampak sepuluh tahun lebih muda, yang padahal Januari kemarin usianya telah
menginjak empat puluh lima tahun. Juga dia mengenakan jas putih panjang
menjuntai hingga lutut, dan alat pendeteksi detak jantung mengalungi lehernya.
Terdapat tulisan ‘Dr. Hani’ di dada. Terlihat dia
membawa pulpen dan sekantung plastik obat berisi kapsul biru.
Dengan dingin dia bertanya, “Kamu minum lebih lagi,
ya?”
Tak mampu menjawab, Chika hanya menundukkan kepala. Kedua
tangannya juga terlihat menjambak rok abu-abu yang masih dikenakan. Alasannya
karena trauma itu muncul lagi, terlebih saat kemarin malam Chika menengguk lima
sampai eman kapsul sebelum tidur.
“Maaf.”
Hanya itu yang keluar dari mulut Chika, sementara Dr.
Hani membalasnya dengan senyum tipis.
“Ibu harap jangan terulang lagi, yah.”
Chika mengangguk pelan. “Iya.”
Kemudian Dr. Hani menyodorkan obat tersebut, dan Chika
meraihnya.
“Sekolahmu bagaimana?”
“Tadi pembagian ulangan matematika minggu kemarin.”
“Dan hasilnya?”
“Seratus.”
“Chika pintar, yah,” puji Dr. Hani tersenyum. “Nanti
lulus SMA mau lanjut kuliah?”
“'Kan masih kelas dua, Chika masih belum mikir. Gimana
kata papah-mamah aja nanti.”
“Begitu, ya. Nanti Ibu ngomong ya sama papah-mamah
kamu?”
“E-eh, nggak usah,” jawab Chika sambil menggelengkan
kepalanya. “Nggak perlu.”
“Lho, kenapa?”
“Chika takut kalau nanti mereka marah.” Nada suaranya
melesu.
“Jadi kamu masih takut sama mereka, ya?”
Chika mengangguk pelan.
“Yaudah kalau begitu, mungkin Chika yang harus ngomong
langsung ke papah-mamah. Oh ya, minggu ini udah coba ketemu mereka?”
Chika menggeleng.
“Lho, temuin, dong. Mungkin aja mereka kangen.”
“Takut,” jawab Chika, rona cantiknya itu disembunyikan
kembali. “Kalau seandainya kangen, mereka pasti menelpon Chika, ‘kan? Tapi…,
nggak pernah ada panggilan sama sekali.”
Dr. Hani menghela napas. “Mungkin butuh waktu lebih
lama lagi, ya. Tapi kalau kamu terus-terusan takut, kamu nanti malah semakin
jauh, lho dari mereka.”
Chika terdiam, sementara Dr. Hani terus melanjutkan.
“Kalau kamu jadi seorang ibu nanti, apa mau anak kamu
jauh dari kamu? Nggak ngasih kabar ke kamu? Coba nanti kalau ada keberanian,
kamu yang kabarin mereka duluan, jangan terus-terusan menunggu.”
“Iya.”
“Kalau belum berani, jangan dipaksa,” bujuknya lagi.
Sebelum melanjutkan, dengan tangannya Dr. Hani pun membelai wajah Chika yang
tertunduk. “Kamu itu cantik, pintar. Kamu berhak mendapat kasih sayang mereka,
sentuhan mereka. Kalau kamu sendiri, Ibu takut kamu salah arah saat dewasa
nanti.”
Chika menatap mata Dr. Hani. Bersih dan tulus.
Pandangan mata itu penuh kasih sayang. Bahkan Chika berharap Dr. Hani lah yang
berperan sebagai ibunya.
Dr. Hani sangat baik, Chika merasa dia adalah pasien
spesialnya.
Rasa malu ini muncul, dan pipi Chika merona merah. Dia
mencoba memalingkan wajah dari tatapan Dr. Hani.
“Chika…, masih punya Ratih, kok.”
Melihat reaksi itu membuat Dr. Hani tertawa geli. “Kamu
lucu juga, ya. Hahaa…”
***
Denting jam berbunyi, mengingatkan bahwa sekarang
sudah tepat pukul sembilan malam.
Ratih membuka kulkas, dan hanya mendapat kurang dari
setengah botol stok sisa darah malaikat. Digoyangkan botol tersebut, tentu ini
kurang untuk sarapan esok hari.
“Geez, malam
ini harus berburu,” desahnya. Pintu kulkas pun ditutup kembali, dan dengan
rakus dia menengguk semua darah itu tanpa gelas.
“Habis, ya?”
Chika berbicara di belakangnya, diikuti oleh Rofocale
yang masih dalam wujud kucing hitam.
“Eh? Ya,” jawab Ratih singkat. “Mau tidak mau kita
harus berburu malam ini.”
Rofocale bertanya, “Boleh aku meminta sesuatu?”
“Apa?”
“Tiga puluh malaikat untuk malam ini.”
“Hah?!”
“Kenapa?” Rofocale memasang tampang bingung. “Bukankah
itu mudah bagi kalian?”
Chika menggaruk pipinya. “Mudah, sih.”
“Tapi kenapa harus tiga puluh?”
“Karena seharusnya tiap malam harus dapat lima.
Sedangkan beberapa hari terakhir hanya dapat sedikit.”
Ratih mengeluh sambil menggaruk rambut panjangnya. “Ergh,
baiklah. Baik. Karena kami punya utang budi padamu.”
“Baguslah kalau kalian tahu.” Segeralah Rofocale balik
badan dan menaiki kasur.
Chika dan Ratih mengambil peralatan upacara seperti
biasa, lalu lampu dimatikan. Dalam hening dan gelapnya kamar, mereka berdua
merapal mantera hingga air tersebut berubah warna layaknya darah.
Air ditumpahkan perlahan di atas kepala si kucing
hitam, dan seketika dia pun membuka segel untuk merubah Chika dan Ratih ke
bentuk astralnya.
Lepas itu dengan sepasang sayap hitamnya, mereka
berdua pun terbang meninggalkan kamar ini.
Perburuan dilakukan. Agar tugas ini cepat selesai,
mereka pun berpencar masing-masing ke segala arah. Jika diamati, di sekitaran
Jakarta sedang ada banyak malaikat yang membawa grimoire jauh dari surga.
Menyadari hal itu, mereka langsung bertindak cepat.
Tebas, tangkis. Terbang menghindar, lalu balik
menyerang. Ratusan petir menyambar di langit malam kota Jakarta hanya karena ulah
mereka berdua mengusik pekerjaan para malaikat.
Terkepung. Satu lawan banyak membuat Ratih sedikit
kewalahan, bahkan tanpa sadar sesosok malaikat sudah berdiri di belakang. Saat
menyadari hal itu, dia pun menyambarkan petir hitam padanya.
“Ergh!” Ratih mengerang.
Meleset, malaikat itu tak jadi melancarkan serangan
dan terbang menghindar. Momen singkat ini pun dimanfaatkan oleh malaikat lain
yang datang mendekat dengan tombak gunturnya.
“Cih! Sial!”
Satu tebasan dilayangkan oleh malaikat berambut
jingga. Walau serangan tadi meleset, namun lengan Ratih sedikit tergores dan
membekas luka.
Tak mau tinggal diam, dengan kekuatan iblis—Ratih pun memanggil
petir hitam yang membalut sabitnya, menjadikan ukuran sabit itu lebih besar
dari ukuran normal. Setelah itu dia lalu terbang mendekati mereka.
Kini Ratih memilih melakukan pertarungan jarak dekat.
Dengan lihai sabit diayunkan, mencabik para malaikat hingga mereka tewas satu
per satu. Beberapa malaikat nampak kini kewalahan menghadapi Ratih yang hanya
seorang diri.
Melihat bahwa malaikat di sekitarnya malah bertambah
banyak, Ratih kini mengacungkan sabit itu ke atas, dan seketika petir hitam
besar pun merespon doanya.
“Matilah kalian!” teriak Ratih menjerit. Atau lebih
tepatnya mengutuk.
Lalu awan terlihat lebih gelap dari biasanya.
Dari sabitnya keluarlah puluhan petir hitam dalam
skala besar, menyambar ke segala arah dengan membabi-buta, tak memandang mana
kawan mana lawan.
Badai petir menyambar hebat tiap-tiap malaikat di
dekatnya. Beberapa lari ketakutan, namun naas tidak ada satu pun dari mereka
yang selamat. Mereka mati dengan tubuh hitam terbakar, dan grimoire yang dibawa
terlepas dari penjagaannya.
Di samping itu Chika juga sedang berseteru dengan
tujuh belas malaikat.
Menebas dan menghindar, sering kali para malaikat itu
tak bisa membaca gerakan Chika, hingga darah segar mereka membasahi mata
pisaunya.
Seakan menari di atas langit, tekhnik bertarungnya
sangatlah unik. Jika Ratih mengandalkan kekuatan, Chika justru mengandalkan
kecepatan.
Beberapa kali dia berhasil menghindari sambaran petir,
lalu dengan mudahnya dia muncul di belakang malaikat, dan membelah tubuh mereka
layaknya mengupas kulit apel.
Terlalu mudah baginya merebut grimore dari mereka.
Tubuh Chika yang mungil mungkin juga salah satu faktor yang mendukung dia untuk
terbang bebas bermanuver di udara.
Satu per satu malaikat itu mati, sayap-sayap mereka
patah. Hingga satu jam lamanya mereka terbang di udara, tak ada malaikat lagi
yang terlihat sejauh mata memandang.
“Hah, melelahkan,” keluh Ratih mengusap kening dengan
lengannya.
Tak lupa, mereka berdua memberi sigil pada semua jasad
itu. Terbang dan terteleportasi. Setelahnya mereka lekas kembali ke apartemen
dengan banyak sekali membawa grimoire yang dipesan.
“Bagus sekali pekerjaan malam ini,” puji si kucing
hitam setelah kedua gadis tersebut mendarat pada balkon apartemen. “Makan lah
sekenyang kalian.”
Alangkah terkejutnya mereka berdua, jasad semua
malaikat itu ternyata sudah bergeletakkan di atas lantai apartemen. Bahkan
bukan seperti jasad lagi, dalam pandangan mereka, jasad tersebut sudah seperti
tumpukkan mi ayam yang sudah siap saji untuk disantap.
Perut Chika dan Ratih sudah berbunyi. Mengikuti
insting liarnya, dengan rakus mereka berdua pun segera menyantap hidangan makan
malam yang tersaji gratis.
Kini kucing hitam bermain dengan griomoire-nya yang
mungkin berjumlah lebih banyak dari pada yang dia pesan. Seperti melihat
tumpukkan emas, bibir itu menunjukkan taring pada senyumnya.
Dia memejamkan mata, lalu mantera dirapalkan. Telur
bercahaya biru itu perlahan menghitam, sebuah energi positif telah berubah
menjadi negatif.
Mantera dirapalkan untuk kedua kalianya. Sedetik
kemudian semua grimoire itu pun menghilang, entah ke mana dan di mana dia
menyembunyikannya.
“Sudah kenyang?” tanya Rofocale saat membalikkan
tubuhnya menatap pada kedua gadis tersebut.
Tak ada jawaban, Chika dan Ratih masih dengan rakus
menghisap langsung darah malaikat dari tubuhnya. Bahkan membekas merah pada
bibir, berjatuhan hingga leher. Dan dari pemandangan inilah sisi kemanusiaan
mereka nampak hilang, berubah seperti vampir yang haus darah.
“Hah, ya sudah. Aku tidur dulu.”
Rofocale lalu melipat tubuhnya, dan bergegas tidur.
***
Angin nakal mengibas rambut Raguel ke kiri-kanan. Di
malam ini dia masih berkeliaran melakukan tugasnya, terbang dari surga turun ke
bumi membawa grimore untuk para manusia yang membutuhkan.
Saat melewati kawasan Gambir, hidungnya mengendus bau nyengat
darah yang tak lain adalah darah malaikat. Dia menduga bahwa belum lama ada
pertarungan di dekat sini, karena jatuhnya darah malaikat tentu disebabkan oleh
serangan iblis.
Di bawah sana, dia melihat tongkat guntur yang
tergeletak memancarkan cahaya emas. Dengan rasa penasaran, Raguel pun segera terbang
menukik memungutnya. Dan benar saja sesuai dugaan, ujung tongkat itu berbekas
darah.
“Iblis!”
Setelah menciumnya, dia pun kenal betul darah itu. Bukan
darah malaikat, melainkan musuh abadi mereka. Bau darah yang sama, darah yang
tumpah membanjiri Taman Firdaus lima puluh ribu tahun yang lalu.
Menyadari hal itu, Raguel pun nampak murka, raut
wajahnya benar-benar marah. Sudah pasti banyak teman-temannya yang terbunuh
malam ini.
Andai dirinya datang lebih awal, pasti mereka tak mati
sia-sia. Dan dia sekarang mengutuk dirinya sendiri. Namun percuma, mengutuk iblis-iblis
itu tak akan membuat teman-temannya kembali bangkit dari kematian.
“Ini barang berharga, aku harus memberitahukannya pada
Sandalphon.”
Raguel pun terbang ke langit melanjutkan tugas yang
diberikan oleh Metatron, dan membawa pulang tongkat guntur tadi. Satu yang dia
harapkan, darah ini dapat mengidentifikasi siapa sebenarnya iblis tersebut.
“Tunggu saja, dasar hama!”
0 komentar:
Posting Komentar