The Codex of Lucifer: Chapter 03 - The Grand Grimoire
'The Grand Grimoire'
Malaikat berjubah merah itu, Raguel, dengan sepasang
sayapnya terlihat turun dari surga menuju bumi dengan kecepatan cahaya. Saking
cepatnya terlihatlah api yang membara, membekas bagai ekor panjang di gelapnya
malam kota Jakarta.
Dibawanya sebuah telur biru bercahaya itu, yakni yang
disebut-sebut dengan nama grand grimoire. Metatron memberikan misi penting ini
untuk menyelamatkan manusia dari kematian yang akan menghampiri.
Memberi grand grimore pada manusia yang sebentar lagi
dijemput ajalnya bukan hanya seperti memberi grimore pada manusia yang sedang
sakit. Memberi grand grimoire pada manusia yang sebentar lagi dijemput ajalnya
berarti Raguel juga harus bernegosiasi dengan malaikat maut.
“Erh, sejujurnya ini misi yang menyebalkan,” gumamnya.
Bukan perkara mudah, karena malaikat maut juga sedang
menjalankan perintah Tuhan. Jika dia tak mau, maka manusia tersebut memang
sudah seharusnya mati.
Dari arah jam tujuh, Raguel melihat dua cahaya merah
terbang mendekat. Aura jahat ini, aura negatif ini benar-benar terasa kuat.
Raguel dapat merasakan panas di lehernya.
“Tidak salah lagi. Itu mereka yang dilaporkan
Sandalphon,” batinnya. “Rupanya grand grimoire membawa energi yang sangat kuat
hingga mereka dengan mudah mendeteksinya dari jarak langit surga.”
Saat sedang bergumam sendiri, seketika itu sebuah
petir hitam menyambar, mencoba datang mendekati Raguel. Bukan hal yang sulit, dengan
mudah Raguel membelokkan diri hingga serangan tersebut meleset.
Rupanya tak hanya satu serangan, kini dari sebelah
kiri, Chika terlihat mencoba menyerang Raguel dengan tebasan maut.
Angin hitam-merah itu berhembus kuat mendekati Raguel.
Dengan sigap, Raguel membuat sebuah tameng besar bersimbol salib, dan serangan
Chika itu pun lumpuh dibuatnya.
Memanfaatkan momen ini, Ratih yang terbang di belakang
Raguel pun mengayunkan sabitnya. Lalu petir-petir hitam itu menyerang dengan
cara membabi-buta.
Raguel merasa kerepotan karena serangan tersebut hanya
selisih setengah detik setelah serangan
Chika sebelumnya. Giginya menggeretak, dia harus bertindak cepat.
Instingya telah berkata, dia lalu membuat tameng salib
lagi, kemudian benturan energi malaikat dan iblis itu pun pecah.
“Heh, payah!”
Terselamatkan, selisih nol koma satu detik. Meleset
sedikit saja maka Metatron sudah membuat batu nisan untuknya.
Tentu, tameng salib itu ampuh menangkal segala
serangan iblis, karena tameng itu adalah tameng milik Michael, Sang Jenderal
Surga, hingga serangan Ratih tadi tidak ada apa-apanya. Hanya butuh
keterampilan dan ketepan waktu untuk memakai jurus tersebut.
“Ergh, sial!”
Lekas setelah itu Chika terbang melingkar ke kanan,
diikuti dengan Ratih yang terbang melingkar ke kiri. Mereka dengan serangan
kejut perlahan mencoba mendekati Raguel.
Petir-petir hitam itu meluncur bebas, juga tebasan
angin milik Chika yang terus membidik Raguel. Mereka menyerang secara bersamaan
sebagai pancingan untuk mendekatkan jarak mereka ke Raguel.
Raguel yang berada di tengah-tengah hanya mampu
membuat tameng. Sejujurnya, dia terjebak oleh dua gadis ini. Dia hanya mampu
bertahan dalam tameng salib tersebut.
“Ini gawat!” gumamnya.
Saat Ratih dan Chika sudah berada pada jarak yang
cukup dekat, mereka berdua pun saling menebaskan senjatanya menghajar tameng
Raguel.
Ledakan energi terjadi, tameng itu masih menggantung
kokoh di langit.
“Memakai jurus ini hanya membuang banyak stamina saja.
Aku harus bertindak cepat!”
Segeralah Raguel terbang ke angkasa sebelum melepaskan
jurus tameng salibnya. Akhirnya kini dia bisa bebas dari serangan Ratih dan chika.
Dan dari jarak sejauh ini dia pun mengeluarkan senjatanya.
Sebuah partikel merah layaknya kunang-kunang bersinar
di tangan kanan, lalu terbakar layaknya api. Dari sanalah sebuah pedang dengan
mata pisau seperti gergaji muncul.
“Ayolah! Cukup main-mainnya. Pak tua itu sedang
memberi misi penting yang masa tenggangnya tinggal tujuh menit lagi, dan aku
juga belum bernegosiasi dengan si jelek itu, tahu!”
Setelah berkata demikian, Raguel pun mengayunkan
pedangnya. Dengan ringan, sebuah gelombang badai api pun tercipta, menghembus
ke arah Ratih dan Chika
“Lari!”
Dengan jantung berdebar mereka berdua pun
terhuyung-huyung terbang dengan kecepatan tinggi hingga serangan tersebut
berhasil dihindari. Sebuah serangan maha dahsyat dari Raguel memang pantas
menjadikannya salah satu anak buah Michael.
Tidak puas dengan itu, Raguel segera terbang mendekati
Ratih yang terpisah jauh jaraknya dari Chika. Kecepatan terbangnya bahkan tak
bisa dilihat oleh mata telanjang, dan tiba-tiba saja dia sudah mengambang di
belakang Ratih.
Seakan ini adalah hari kematiannya, Ratih hanya diam
di tempat. Dia sadar betul bahwa Raguel sudah ada di belakangnya, namun untuk
bergerak saja sudah terbilang terlambat, sementara pedang bermata gergaji itu
sudah siap merobek lehernya.
Melihat momen ini, Chika dari jauh merasakan sebuah
kesepian datang menghampiri. Jika Ratih mati, maka dia tak punya teman lagi.
Jika Ratih mati, maka dia tak mempunyai orang terdekat lagi.
Dadanya sesak, seperti tubuhnya tertimbun kapal selam.
Dia bergetar memegang pedang, tak tahu harus berbuat apa untuk menyelamatkan
Ratih di seberang sana.
Kesepian, kehampaan itu benar-benar telah datang di
depan matanya hingga pupil itu mengecil.
“AAAAAARGH!”
Sebuah pilar gelap turun dari langit, tepat di
belakang Chika, mencengkram kulit bumi. Angin besar tiba-tiba menyapu Raguel
dari punggung Ratih, hingga mata pedang gergaji itu gagal memakan korban.
Raguel terpental satu kilometer jauhnya. Serangan itu
tak berbahaya, tak bersifat merusak. Chika hanya mencoba menjauhkan Raguel dari
Ratih.
Kini atmosfir pertarungan berubah, terasa semakin
panas. Dari kejauhan Raguel tahu bahwa kekuatan Chika naik drastis, itu
bukanlah Chika yang sebelumnya.
Kekuatan itu berasal dari amarah, dari perasaan
terpendamnya. Chika seperti berhasil menaikkan level iblisnya. Bisa jadi ini
adalah kekuatan grimoire yang selama ini mereka kumpulkan.
Mata Chika berubah merah, semua gigi menjadi taring
dengan banyak kerutan urat pada wajah. Dia tampak mengamuk. Dengan pedang
besarnya, dia lalu terbang menuju Raguel dengan kecepatan penuh.
Melihat itu, Raguel pun memasang kuda-kuda bertahan.
Alhasil, tebasan pedang Chika beradu dengan pedang milik Raguel, dan
menimbulkan percikan kilat hitam.
Raaguel berhasil menahan, walau kuda-kudanya sedikit
kendur. Pijakan kakinya sedikit demi sedikit mundur ke belakang, dan akhirnya
berhasil mencapai batas.
Momen ini pun dimanfaatkan Chika dengan semakin kuat
mendorong pedangnya, terus bergesekkan dengan mata gergaji itu.
“Aku sedang dalam misi, tahu! Pergilaaaaah!”
Sebuah cahaya emas muncul menyelimuti pedang Raguel.
Semakin bersinar, semakin tebal. Lalu seperti tembakan laser, tubuh Chika pun dibuat terhempas karenanya.
Chika terlempar jauh, melampaui jarak tiga kilometer.
“Huh…, huh…”
Raguel tampak kelelahan, napasnya memburu. Namun dia
sadar perjuangan melawan dua iblis ini belum usai. Dia menggenggam erat
pedangnya, lalu meluncur cepat dengan kecepatan cahaya hingga sekarang sudah
berada di hadapan Chika.
“Tak akan kubiarkan kau!”
Teriakan itu berasal dari Ratih yang sedang sama-sama
sedang terbang mendekati Chika.
Dengan sigap, Ratih membuat tameng gelap yang berhasil
menghentikan tebasan maut Raguel yang pedangnya sedang dalam mode kemarahan.
Chika selamat, namun kesadarannya terlihat goyang. Dia
Nampak pingsan, dan perlahan jatuh ke bumi.
Melihat itu, Ratih segera terbang bebas mencoba
menggapai Chika. Raguel yang melihatnya tentu tidak senang ikan buruannya kabur
begitu saja, dan dia pun segera mengikuti jejak Ratih.
Sedetik kemudian, sebuah suara pun menusuk gendang
telinga Raguel.
“Berhenti, Raguel!”
Hanya dalam satu perintah, tubuh Raguel benar-benar
berhenti. Itu seperti menghipnotis seseorang yang hanya sekali sentuh langsung
tertidur. Tubuh Raguel bagai dililit benang, dan tak bisa bergerak ke manapun.
“Apa, Michael?! Jangan mencoba menggangguku!”
“Kau ingat bahwa kau sedang mengemban misi penting?”
tanya Michael. “Kau hanya butuh kurang dari lima menit lagi.”
“Ergh!”
Raguel mengerang, sementara itu Ratih sudah berhasil
mencapai Chika, dan membopongnya pergi menjauh. Nampaknya mereka berdua mundur
dari medan pertempuran.
“Baiklah, Michael, aku berjanji,” jawab Raguel. Dan
seketika itu Raguel dapat bergerak kembali. “Rumah sakitnya di sana, ya? Empat
menit itu lebih dari cukup.”
Hanya dalam kedipan mata, Raguel sudah hilang dari
langit. Yang tersisa hanyalah jejak apinya saja.
Sementara itu di tempat Ratih, dia kini sudah mencapai
balkon apartemen dengan kucing hitam yang telah menunggu.
Kucing hitam itu melihat pertarungan mereka. Memang
benar seperti dugaannya, bahwa tentu hanya malaikat kuatlah yang diutus
Metatron membawa grand grimoire.
Kondisi Chika tak sadarkan diri. Berulang kali Ratih
memompa dadanya, bahkan memberi napas buatan, namun Chika belum juga sadarkan
diri.
“Bangun, Chika! Kau tak boleh mati!”
Teriakan itu terdengar jelas di telinga Chika, namun
dia tak bisa menjawabnya. Dirinya sekarang berada dalam dimensi lain, sebuah
dunia di mana dulu semua kenang indah masih terukir.
Kala itu, kedua orang tua Chika membelikannya es krim
vanila. Dengan wajah gembira Chika menjilat es krim tersebut, lalu berjalan ke
taman kota.
Ini ingatan lama, kira-kira saat Chika masih kelas
lima di bangku sekolah dasar. Pasangan itu masih terlihat harmonis, akur
seperti suami-isteri pada umumnya. Saling bergandengan tangan, berjalan dengan
Chika yang berada di tengah.
Semua keinginan Chika dikabulkan, apa yang Chika mau
pasti mereka belikan walau permintaannya aneh-aneh.
Lalu tiba-tiba layar televisi itu retak, pecah menjadi
puing-puing.
Kini tayangan itu muncul lagi, beralih ke zaman kelas
tiga SMP.
Dengan marah, ayah Chika meminta dibikinkah kopi
hitam. Setelah jadi dan siap disajikan, kopi itu lalu dicicip.
Gelas itu dibanting seketika, beling itu pecah
berhamburan di atas lantai. Lalu satu tamparan keras mendarat di pipi Chika.
“Kamu bisa bikin kopi apa enggak? Tau ini kurang
manis?!”
Chika hanya bisa menunduk menangis sambil memegang
bekas tamparan itu. Padahal sebelum dibawa pada ayahnya, Chika sudah mencicipi
kopi tersebut, dan terasa manis. Entah karena selera mereka berbeda, atau ayah
Chika hanya mencari alasan untuk melampiaskan amarhanya.
Ingatan ini kembali menimbulkan trauma mendalam. Sosok
ayah di benaknya saat ini bagai monster besar yang hendak melahapnya
hidup-hidup.
Layar televisi itu pecah kembali, dan menyiarkan
channel baru.
Masih kelas tiga SMP, keributan di ruang tamu itu
sangat menendang gendang telinga. Ayah dan ibunya saling mencaci-maki, Bahasa
kebun binatang keluar dari mulut mereka.
Chika hanya duduk merenung memeluk lutut, menyandar
pada kulkas dengan mata yang berkaca-kaca. Kemarahan mereka yang tepat terjadi
di depan matanya ini benar-benar menanam kebencian, luka, juga trauma.
Dia hanya dapat melihat, melerainya pun percuma, yang
ada dirinya nanti hanya ikut terlibat dan menjadi bahan pelampiasan lagi.
Beberapa kali terdengar suara piring dan gelas pecah,
lalu tamparan yang terdengar nyaring mendarat di pipi ibunya. Pria itu tanpa
dosa langsung meninggalkan rumah. Menyalakan mesin mobil, lalu entah pergi ke
mana. Sementara itu ibu Chika mengunci diri di dalam kamarnya.
Tak bisakah mereka berdamai? Apakah mereka tak merasa
lelah dengan semua ini? Keegoisan mereka hanya mendorong ke arah jurang gelap
itu, yang mana Chika sudah lebih dulu mencapai dasarnya.
Chika yang melihat bayangan masa lalu kelamnya ingin
sekali berteriak, namun dia tak bisa. Tenggorokannya dingin, seakan ruh dan
raganya akan terpisah. Dada pun terasa sesak.
Namun sekali lagi, cahaya terang itu pun muncul.
Ratih senang sampai menangis, lalu dirinya pun memeluk
Chika dengan rasa syukur. Kucing hitam itu juga lega bahwa satu prajuritnya
berhasil terselamatkan.
“Kau bodoh! Bodoh sekali!” bentak Ratih. “Hampir saja
kau mati konyol!”
Chika yang masih terbaring hanya ternyum memandang
gadis berambut panjang yang masih terus mendumel cerewet.
“Eh, lo senyum?!”
Ratih kali ini yang terkejut.
Belai lembut tangan Chika itu mengelus pipi Ratih,
membasuh air matanya. Bersyukur bahwa teman terdekatnya yang sudah dia anggap
sebagai keluarga tidak mati, karena hanya Ratih satu-satunya harta terindah
miliknya sekarang.
Kebahagian Ratih harus dijaga, begitupun juga
hidupnya. Chika akan mempertaruhkan apapun untuk Ratih. Tak ada siapapun yang
boleh menyakitinya.
“Hei, kok malah bengong, sih?”
Chika menggeleng.
“Aku senang kamu selamat.”
“Justru gue yang bersyukur lo ga mati konyol!”
“Terserah. Hahaa…”
Dalam hati Ratih juga merasa senang. Entah kapan dia
terakhir kali melihat Chika tersenyum, tapi hari ini senyuman itu kembali
terlukis di wajah cantiknya. Sebuah senyuman yang seharusnya ada setiap hari, setiap
saat, setiap waktu.
Kekuatan
astral itu hilang, mereka berdua kembali ke dalam tubuh manusianya.
“Ternyata Raguel.”
“Kau mengenalnya, Rofocale?”
“Ya,” jawab si kucing hitam. “Dia adalah salah satu
bawahan Michael, Sang Pangeran Perang. Tak heran jika kekuatannya sangatlah
hebat, berbeda dari malaikat lainnya.”
Chika mencoba bangun, lalu duduk menghadap kucing
hitam.
“Aku merasa bahwa tadi bukanlah aku.”
“Bener,” ungkap Ratih. “Kayak ada menara gelap yang
turun dari langit, terus angin tiba-tiba ngelempar Raguel.”
“Pengumpulan grimoire kalian berdua memang tidaklah
sia-sia,” jawab Rofocale.
“Jadi itu ulah grimoire yang kau simpan?”
“Grimoire itu bereaksi saat kau meluapkan emosi.
Terang saja, aku belum pernah melihat kejadian ini sebelumnya, tapi ini patut
diteliti lebih lanjut.”
Chika berpikir bahwa emosi itu muncul karena ingin
menolong Ratih, harta satu-satunya yang dia punya.
“Jadi, dengan kata lain, kita nggak bisa mengontrol
pemakaian kekuatan grimoire?” tanya Ratih.
“Karena grimoire pada umumnya hanya sebuah data tanpa
otak, pemakainya tidak bisa mengontrol dari jauh, kecuali memegangnya
langusung. Aku juga masih belum tahu ini bisa terjadi,” jelas si kucing hitam.
“Begitu, ya.”
“Kalau begitu, kalian beristirahatlah. Malam ini sudah
cukup.”
Selesai mengakhiri kalimatnya, kucing hitam itu segera
berjalan memasuki kamar, lalu tidur di kasur Chika.
***
Di aula besar dekat pintu masuk Istana Adam, Michael
berdiri memandang lukisan. Dari telinganya terdengarlah suara ketukan langkah
kaki yang mencoba mendekat. Saat ditengok, dialah si pemilik pedang gergaji,
Raguel.
Raguel datang hendak melapor bahwa misi yang diberikan
Metatron sukses terlaksana, dan manusia tersebut dapat sadar dari komanya.
“Kau tak perlu berbicara,” kata Michael saat bibir Raguel
baru saja hendak terbuka. “Selamat atas tugasmu, satu nyawa berhasil
terselamatkan malam ini, dan aku telah melapor pada Metatron.”
“Erh, ya sudah. Kalau begitu aku pergi dahulu.”
“Tunggu.”
Baru saja berbalik badan, dia dipanggil kembali.
“Hee? Apalagi, wahai Michael?”
“Bagaimana rasanya bertarung dengan mereka?”
Raguel mencoba mengingat pertarungan yang belum lama
terjadi.
“Mereka benar-benar mewarisi kekuatan iblis,” jawab
Raguel. “Mereka dapat terbang, melakukan sihir, dan hal-hal di luar nalar dan
kekuatan manusia. Mereka persis seperti iblis yang telah binasa ribuan tahun
lalu.”
Michael menggaruk dagunya. “Begitu, ya. Kalau begitu
sekarang kau kuberikan tugas untuk bertemu dengan Sandalphon, dan bertukar
informasi tentang ini.”
“Dia, ya? Baiklah. Sekarang aku akan bertemu
dengannya.”
Dan Raguel pun melangkahkan kakinya untuk pergi dari
sini.
Michael kembali memandang lukisan. Bukan mengagumi
keindahannya, namun dia memikirkan bagaimana si ‘iblis terakhir’ itu dapat
membangkitkan iblis yang telah lama mati, lalu memberikan kekuatannya pada
manusia.
Tidak salah lagi, pencurian grimoire akhir-akhir ini
adalah ulahnya. Karena banyaknya malaikat yang mati dalam perjalanan, dan
grimoire itu tidak sampai pada manusia, yang menjadikan manusia tersebut tidak
sembuh dari sakitnya, bahkan sampai koma.
“Rofocale…, kau menyebalkan!”
0 komentar:
Posting Komentar