The Codex of Lucifer: Chapter 02 - Rofocale And His Mission
'Rofocale And His Mission'
Di
suatu tempat bertembok putih, Istana Adam. Sebuah bangunan super megah ini
hampir tak terlihat atapnya, dia menjulang tinggi menusuk langit surga yang
berlapis-lapis.
Di
Taman Firdaus ini, Istana Adam adalah bangunan paling besar, rumah para
malaikat menerima dan melaporkan tugasnya pada malaikat tertinggi, yang lalu
akan disampaikan pada Tuhan.
Saat
ini di sebuah ruangan, sesosok malaikat berambut emas dengan sepasang sayap
putihnya terlihat sedang memandangi sebuah patung besar. Malaikat itu memakai
jubah biru panjang dan rompi putih sepinggang.
Bola
matanya seakan kosong, terlihat dia tidak terfokus pada indahnya pahatan
patung, melainkan suatu hal yang mengganjal di pikirannya.
“Uriel, apa yang sedang kau pikirkan?”
Sahutan
itu memecahkan lamunan. Dia adalah malaikat berambut pendek yang terlihat mengenakan
rompi putih berjubah merah.
“Oh,
Raguel,” balasnya. “Tidak. Bukan apa-apa.”
“Tidak
apa-apa tapi memandangi patung itu lebih dari tiga menit? Jangan konyol.”
Uriel
menggaruk kepalanya sebelum menjawab.
“Aku
gelisah. Akhir-akhir ini grimoire kita dicuri, dan kau tentu tahu bukan siapa
pencurinya?”
“Ya.”
Raguel menjawab tegas. “Sudah lama. Lama sekali dia tidak menampakkan wajahnya
setelah Lucifer mati.”
“Lima
puluh ribu tahun, sebuah penantian panjang. Lalu dia kini menunjukkan taringnya
kembali. Benar-benar sebuah pengabdian.”
Kini
Raguel juga ikut gelisah. Dia menggaruk dagu lancipnya.
“Dua
iblis yang dilaporkan Sandalphon adalah reinkarnasi dari mereka yang telah
mati.”
“Reinkarnasi?”
tanya Uriel bingung, memiringkan kepalanya.
“Sandalphon
yang sekarang sedang berada di bumi sedang mencari tahu siapa dalang di balik
semua ini. Aku harap ini segera diselesaikan. Semua iblis harus musnah sampai
akar-akarnya!”
“Tidak
perlu gegabah, wahai sahabat-sahabatku.”
Kalimat
itu terdengar jernih dan jelas, hingga mereka tahu siapa yang berbicara. Secara
refleks, Uriel dan Raguel sedikit menggeser pijakannya.
“M-Michael!”
Dia
adalah malaikat tergagah di antara malaikat lainnya. Mempunyai rambut hitam
pendek dengan dua titik hitam di kening, berjubah yang juga merah dengan rompi
putih, dan tak lupa sepasang sayap perak yang menempel pada punggungnya.
“Kau
mengegetkan saja!”
“Maaf,
Raguel. Tapi kalian berdua tak perlu tergesa-gesa akan semua ini. Kita
percayakan semuanya pada Sandalphon yang sekarang sedang turun ke bumi.”
“Mmh,
Michael benar. Sementara itu kita juga sedang diberi tugas oleh Tuhan untuk
memperbaiki bumi.”
“Dan
ya, Raguel, hari ini kau harus membawa grand grimoire, ya. Metatron menyuruhmu
untuk itu,” kata Michael. “Dan kau, Uriel, kurasa kau harus mendampingi anak
buahku ini.”
“Heh?!”
Raguel terkejut. “Tidak perlu, wahai Michael. Aku sendiri dapat membawa benda
tersebut selamat sampai ke bumi pada manusia yang membutuhkan.”
Michael
mengangguk pelan. “Baiklah. Semua aku percayakan padamu, Raguel. Manusia itu
membutuhkan grand grimoire agar nyawanya selamat tepat pada pukul sebelas malam
nanti. Tuhan telah menulis manusia tersebut akan mati, namun doa yang orang
terkasihnya panjatkan sangatlah tulus, Metatron merasa manusia itu harus tetap
hidup untuk beberapa tahun lagi.”
“Siap!
Dimengerti, kapten!”
“Baik,
segeralah menuju Metatron untuk mengambil benda tersebut.”
Dan
pada saat itu juga, Raguel pun melangkahkan kakinya pergi dari ruangan ini. Kini
tinggalah Uriel dan Michael yang masih tersisa.
“Kau
sedang tidak ada tugas, Uriel?”
“Tentu
ada,” jawabnya.
“Lalu
kenapa diam saja?”
“Hanya
saja tugasnya untuk besok. Gedung itu dijadwalkan runtuh pada siang pukul dua.”
“Begitu,
ya. Kalau begitu aku permisi dulu.”
Saat
sebelum Michael pergi, Uriel pun memanggilnya.
“Tunggu!”
“…”
“Aku
merasa firasat buruk akan terjadi pada Raguel.”
“Firasat
buruk apa maksudmu, wahai Uriel?”
“Entah.
Hatiku tiba-tiba berdegup kencang.”
“Tetaplah
tenang karena Metatron memberimu tugas besar untukmu esok.”
“Baik.”
Michael
lalu melanjutkan langkah kakinya, keluar dari ruangan ini.
***
Jam
pelajaran kedua dimulai, namun belum ada satupun guru yang masuk.
Di
dalam kelas bercat putih, gadis keturunan Belanda itu terlihat merenung sendiri.
Dengan tangan kiri menopang dagu, dirinya memandang kosong pada lapangan di
balik jendela. Mengingat hal yang belum dia mengerti, sesuatu tentang grimoire
itu terus terngiang dalam kepala Chika.
Kucing
hitam semalam berkata, benda yang menyerupai telur itu menyimpan sejumlah data.
Grimoire adalah wahyu yang diberikan Tuhan, lalu disampaikan oleh malaikat, dan
diberikan pada manusia. Contohnya seperti malaikat memberi ilmu, rezeki, atau
juga kesembuhan dari penyakit, dan grimoire itulah data yang akan memperbaiki
manusia tersebut.
Lalu,
rencana pengumpulan data tersebut yang kucing hitam katakan adalah untuk
membuat koloni iblis baru, mendapatkan kekuatan, juga mereinkarnasi iblis
lainnya.
Jadi…,
suatu saat Chika dan Ratih tidak hanya berdua melakukan operasi pembunuhan
malaikat? Bisa saja. Tentu itu akan mempermudah pekerjaan mereka, juga dalam
mencari makan malamnya.
Rencana
si kucing hitam ini masihlah samar di kepalanya. Ada beberapa hal yang harus
ditanyakan nanti sepulang sekolah.
Chika
mendengus sesaat sebelum berkata dalam hati.
“Jika
suatu saat grimoire itu sudah terkumpul banyak, lalu si kucing hitam itu mau
apakan?”
Yang
mana yang lebih dahulu si kucing hitam prioritaskan masih belum jelas, memang.
Sampai saat ini, dirinya dan Ratih hanya mengumpulkan jasad malaikat, lalu
memberikannya pada si kucing hitam yang katanya jasad malaikat tersebut dapat
dibangkitkan kembali.
"Huh...,
membingungkan.”
Dilanjut
hingga jam istirahat, lalu ke jam berikutnya hingga bel pulang sekolah berbunyi
ke penjuru lorong sekolah.
Para
siswa segera merapikan buku mereka, lalu dimasukkan ke dalam tas. Sesudah memanjatkan
doa, lekas mereka pun rama-ramai meninggalkan ruangan ini.
Chika
masih terdiam di kursinya. Dia seperti biasa keluar paling akhir bersama Ratih.
Alasannya karena dia tidak mau berdesakkan dengan mereka. Dirinya merasa
tertutup dengan semua, hingga paling susah berkomunikasi dengan teman untuk
diajak pulang bersama. Karena itu, sendiri merupakan pilihan tepat untuk keluar
paling akhir.
Introvert,
katanya. Dia menutup diri dari lingkungan. Hanya Ratih yang mau menjadi
temannya, hanya Ratih lah satu-satunya teman di sekolah. Tak ada lagi teman
curhat selain gadis berambut panjang asal Bandung itu.
Sepasang
kaki itu melangkah maju, dirinya keluar dari kelas dengan Ratih yang telah
menunggu di depan pintu. Jika dilihat, kali ini Chika lagi yang keluar paling
akhir. Seluruh kelas sudah kosong tak bernyawa.
Mereka
berdua menyusuri lorong menuju pintu gerbang, dan harus melewati beberapa kelas
dan menuruni anak tangga.
Setibanya
di gerbang depan, Ratih berkata, “Oh ya, gue bareng Ronald. Dia baru aja sms
gue. Gimana?”
Ronald
adalah pacarnya Ratih, walau hanya sebagai ‘boneka’. Mereka berdua telah
menjalin hubungan sebelas bulan lamanya.
Chika
tak mau tampak egois memetingkan dirinya sendiri, atau dalam kata lain Ratih
lebih memetingkan pacarnya ketimbang temannya.
“Iya,
gapapa, kok,” jawab Chika.
“Bener
ya gapapa?”
Chika
hanya mengangguk.
Ratih
memang berhak mendapat kebahagian. Pikir Chika, dalam sebuah hubungan
pertemanan atau pacaran memang butuh ruang atau jarak. Justru jarak tersebutlah
yang nanti akan menimbulkan rindu. Jika terus bertemu dan memetingkan ego,
Ratih mungkin akan terkekang oleh Chika.
“Gue
duluan, ya!”
Ratih
segera berlari ke arah seorang pria yang telah mengeluarkan sepeda motornya.
Ronald tampak mengenakan jaket coklat dan helm hitam selaras dengan warna
motornya.
Gas
ditancap dan mereka berdua pun pergi. Kini tinggalah Chika sendiri…, lagi.
Menyusuri jalan, Chika lekas menuju apartemennya yang hanya berjarak tiga ratus
meter dari sini.
Kesendirian
ini bagai teman setia. Ditinggal oleh orang tersayang, termasuk kedua orang
tuanya. Hanya dia yang tahu, hanya dia yang memeluk hangat Chika di saat
semuanya pergi, semuanya musnah.
Sejak saat itu, tersenyum pun susah kalau
bukan dari candaan Ratih. Bahkan langka. Chika juga lupa kapan terakhir dia
tersenyum bahagia.
Semua
sirna ditelan api, dia terjebur ke dalam Tartarus, jurang kegelapan yang tak
bertepi. Semua kenangan indah kala kanak-kanak itu bagai mimpi, seakan semua
hanya imajinasi liar bersama kedua orang tuanya.
Mereka…,
sekarang terasa jauh…, tak seperti dulu.
Sudah
setahun lebih pasangan suami-isteri itu telah pisah rumah, namun belum
berstatus cerai. Yang menjadi bahan pelampiasan adalah Chika seorang karena dia
adalah anak satu-satunya.
Pernah
kala itu Chika ditampar habis-habisan oleh ayahnya hanya karena salah
membelikan obat, juga disiram oleh air satu ember oleh ibunya karena hari itu
Chika tidak memasak.
Emosi
ayah dan ibunya seperti manusia kesetanan. Selama berada di rumah, Chika tak
pernah aman, dia selalu dicaci-maki oleh kata-kata kasar. Itu membuat dirinya
tertekan, seakan ingin keluar saja dari rumah itu. Namun dia sadar tak punya
tujuan untuk pergi, lalu memutuskan untuk tetap tinggal di rumah walau dia tahu
hari esok tetaplah sama seperti hari ini, dan kemarin.
Chika
itu bagai jembatan untuk ayah dan ibunya. Bukan jembatan untuk berkomunikasi,
namun jembatan untuk pelampiasan. Jika ayahnya belum puas mencaci ibu, Chika
lah yang lalu menjadi bahan omelan, bahkan kekerasan fisik. Begitu juga jika
ibunya tidak puas mencaci sang ayah. Semua itu berlajut setiap harinya.
Bunuh
diri…, tidak. Itu bodoh, pikir Chika. Namun itu adalah opsi terakhir yang ada
di kepalanya. Tali tambang pun telah siap ditaruh di bawah kasur.
Saat
memasuki SMA, dirinya meminta untuk tinggal sendiri dengan alasan ingin fokus
belajar untuk sampai perguruan tinggi. Itu juga meminta dengan memohon sangat,
mengemis pada ayah dan ibunya. Dan lalu permohonan tersebut berhasil. Kini dia
tinggal di apartemen yang sama dengan Ratih.
Kabarnya
setelah Ratih pergi meninggalkan rumah, ayahnya juga pergi dan menyewa
apartemen di tempat lain yang dekat dengan kantornya, dan ibu Chika tinggal
sendiri. Mereka berdua fokus terhadap karir. Yang dicari hanya uang, uang, dan
uang sampai anaknya sendiri terabaikan, tidak mendapatkan pendidikan dari kedua
orang tuanya.
Keadaan
ini membuat Chika iri pada Ratih, pada semua orang yang masih mempunyai kedua
orang tua utuh, harmonis rumah tangganya. Jika melihat mereka semua, ingin
rasanya Chika menangis, menjerit keras hingga air mata membanjiri pipinya.
Merasa
Tuhan itu tak adil, manusia selemah dirinya harus ditempatkan di posisi ini,
memerankan tokoh sebagai Chika si cupu dan tak mempunyai teman seperti sampah
masyarakat. Semua seakan menjauh, semua jauh dari harapan.
Hidup
sendiri itu tidak enak.
Tak
terasa dia sudah sampai di depan pintu apartemennya, kamar nomor 156.
***
“Berburu
lagi?”
Ratih
tengkurap di atas kasur berselimut putih, kakinya mengayun naik-turun saat
bertanya pada Chika.
“Kurasa
tidak,” jawab Chika. “Makanan kita masih penuh di kulkas.”
“Jadi,
kalian berburu hanya untuk makanan?”
Kucing
hitam itu naik ke atas kasur, dekat dengan Ratih.
“Hai,
kucing hitam, aku penasaran, grimoire yang kami kumpulkan itu untuk apa?”
“Bukankah
kemarin aku sudah menceritakan?”
“Tidak.”
Chika menggelengkan kepalanya. “Kurang spesifik, lengkap.”
“Jadi
kalian benar-benar penasaran, ya?” Kucing hitam itu memasang wajah serius.
“Misiku sebenarnya adalah untuk membangunkan Lucifer!”
Chika
dan Ratih terkejut.
“Lucifer?
Siapa dia?”
“Dia
adalah rajaku, Raja Kegelapan. Raja dari semua iblis.”
“Jadi
dia telah mati? Kapan?”
“Kurang
lebih lima puluh ribu tahun lalu, saat Perang Suci memperebutkan tahta suci
Istana Adam. Metatron, pemimpin malaikat itulah yang membunuh Lucifer dengan
api emasnya.”
“Metatron…,
sekuat itu, kah? Lalu Istana Adam, itu di mana?”
Kucing
hitam itu menegadahkan kepala pada langit-langit kamar sebelum menjawab.
“Taman
Firdaus, surga.”
Ratih
tersentak. “E-eh, jadi surga itu memang ada, ya? D-dan kau juga pernah ke
sana?”
“Tentu
ada, dasar manusia lemah. Memangnya apa yang kau pelajari di sekolah selama
ini, hah?
“Jadi,
siapa kau, kucing hitam?” tanya Chika. “Apa hubunganmu dengan Lucifer hingga
kau mau membangkitkannya kembali?”
“Aku
Rofocale, iblis tangan kanan Lucifer.”
“Tangan
kanan? Lalu kenapa bisa kau tak mati seperti iblis lainnya?”
“Aku
memakai sihir teleportasi menuju bumi sebelum Metatron mengibas sayap besarnya.
Setelah kejadian itu aku kembali ke sana, dan melihat semua iblis telah mati…,
termasuk Lucifer,” jawab si kucing hitam. “Dendam ini harus dibalaskan!”
“Lalu
kenapa kau merekrut kami sebagai anak buahmu? Mereinkarnasi iblis dalam tubuh
kami.”
“Kalian
berdua seharusnya sudah mati.”
“Heh?!”
Mereka
berdua tercengang kembali.
“Apa
maksudmu? Bagaimana bisa?”
“Jadi
kalian lupa, ya? Wajar jika ingatan itu hilang,” kata si kucing hitam. “Ratih
yang seharusnya sudah mati tertabrak mobil, lalu Chika yang mati overdosis
obat. Kalian berdua saat di ambang batas antara hidup dan mati, aku datang
menawarkan sesuatu, dan kalian setuju.”
“Tawaran
apa itu?” tnaya Ratih.
“Menjadi
budak iblis.”
Sesaat
kemudian, kepala mereka seperti terserang sesuatu. Seperti sebuah tusukan tajam
dari kanan menembus bagian kiri kepala. Pusing rasanya.
“Jadi,
kalian sudah sadar.”
Chika
yang menjambak rambutnya itu menjawab, “Itu…, ingatan itu…, aaaaaakh!”
Teriakan
lalu menggema seisi kamar. Ingatan kelam itu kembali muncul, seperti Chika
sedang menonton televisi dengan dia sebagai karakter utamanya.
Kala
itu dia depresi berat. Terlihat seragam sekolah putih-biru masih dikenakannya.
Kamar itu terkunci rapat, gedoran keras pada pintu dia abaikan.
Itu
adalah ibunya Chika. Memukul pintu dengan sekuat tenaga berulang kali agar
anaknya mau memasakkan makan siangnya. Jika telat sedikit, maka kejadian
seperti kemarin, kemarin, dan kemarinnya lagi pasti terjadi. Bahkan jika kurang
asin atau keasinan, Chika juga menerima kekerasan fisik.
Dia
frustasi, dia tak ingin ditampar lagi, dia tak ingin dipukuli lagi. Dia hanya
ingin kasih sayang dari seorang ibu, seorang ibu seperti ibu-ibu lainnya di
luar sana yang memberi cinta pada anaknya.
Obat
penenang dari dokter pribadinya digenggam, jenis fluoxetine. Seharusnya satu
pil saja sudah cukup, namun dengan berani tanpa pikir panjang akan keselamatan
jiwanya, Chika dengan lahap menelan sepuluh pil secara langsung dalam satu
tegukkan.
Ketukan
pintu dia abaikan, hingga beberapa menit kemudian kunci pada pintu tersebut
rusak, dan berhasil terbuka. Alangkah terkejutnya ibu Chika melihat mulut
anaknya telah berbusa.
Segera
dia menggendong anaknya masuk ke dalam mobil, lalu menuju rumah sakit terdekat.
Rasa salah saat itu menghantui jiwanya, berharap anak satu-satunya ini selamat
dari ajalnya.
Di
saat itu juga dalam kamar UGD, antara malaikat maut dan Rofocale, si kucing
hitam bertemu, saling berkelahi. Dan kucing hitam memenangkan pertarungan
dengan berhasil memasukkan sesuatu ke dalam tubuh Chika hingga malaikat maut
tersebut tak bisa menyentuh Chika.
Saat
itu di ambang kematian, Rofocale yang dalam bentuk iblisnya berseru pada Chika.
“Kau, gadis kecil penuh dendam, penuh masa
kelam, gadis yang sedang putus asa. Kau sebenarnya gadis baik, gadis pintar.
Kau tak seharusnya mati mengenaskan.”
Chika
hanya terdiam, duduk manis memeluk lututnya, dan juga menangis mengingat semua
ingatan itu.
“Aku
akan membangkitkanmu, mau kah kau?”
Sesaat
itu juga Chika mengangkat kepalanya, menghadap Rofocale yang mempunyai wajah
menyeramkan, namun tak ada rasa takut padanya.
Rofocale
mengulurkan tangan.
“Kubangkitkan
kau kembali, dengan catatan kau adalah budakku yang mengemban tugas akan
membangun sebuah kerajaan besar yang dulu telah mati. Kau tak bisa lari dariku.
Kau adalah budak setiaku.”
Tanpa
pikir panjang, dalam keputus asaan itu, dalam derita yang telah lama itu, Chika
pun meraih genggaman tangan Rofocale, dan sebuah cahaya terang benderang itu
menyilaukan matanya.
Dia
berhasil hidup kembali.
Tangis
itu pecah di dalam kamar UGD. Untuk pertama kalinya lagi, walau samar-samar
Chika melihat ibunya tersenyum karenanya. Itu sudah lama sekali.
Lalu
layar televisi itu mati, Chika kembali sadar dari masa lalunya.
Jantungnya
berdegup kencang, juga keringat deras mengalir dari kening turun ke dagunya,
padahal kamar ini telah terpasang ac.
“Chika!
Chika! Kamu gapapa?”
Suara
itu samar, terdengar beberapakali memanggil namanya.
“Y-ya.
Aku gapapa.”
“Benar?”
Chika
mencoba menstabilkan diri, juga degup jantungnya yang berpacu tak beraturan.
Semua itu terasa nyata, atau memang nyata namun telah terlupa.
“Jadi…,
aku mati karena fluoxetine?” batin Chika. “Aku tak boleh ceroboh untuk yang
kedua kalinya.”
“Hei,
apa yang kau pikirkan? Jangan bengong begitu, dong!”
Chika
memandang Ratih, kesadarannya sudah sedikit membaik kali ini.
“Maaf.
Sepintas…, tadi aku melihat bagaimana caranya aku mati.”
“Jadi
kau sudah melihatnya?” tanya si kucing hitam. “Kalau begitu terima kasihnya
nanti saja.”
“Melihat
bagaimana caramu mati sebelumnya? Bagaimana bisa?! Mengapa aku tidak?”
Chika
menaikkan kedua bahunya. “Entah.”
Sesaat
kemudian, jantung Rofocale terasa berdebar kencang. Sebuah insting akurat
menggema di kepalanya. Aura kuat ini membuat darahnya menghangat, seakan birahi
telah naik menuju puncak.
“Grand
grimoire!”
“Grimoire—apa?”
Ratih tak paham.
Tanpa
menjawab pertanyaan tersebut, Rofocale langsung melompat dari kasur, dia keluar
menuju balkon apartemen, dan matanya itu tertuju pada langit malam tak
berbintang di sana. Segeralah Ratih dan Chika mengikuti ke mana kucing hitam
tersebut lari.
“Ada
apa?”
“Grimoire
yang memuat sepuluh hingga seratus kali lebih besar dari grimore biasanya.
Grand grimoire.”
“Grand
grimore?”
“Kita
harus mengambilnya…, segera!”
Kemudian
Ratih dan Chika mengangguk, lalu mengambil peralatan untuk melakukan jalannya
proses ritual.
Rofocale
masih memandang langit, dia masih belum mau masuk bersama yang lain.
“Malaikat
seperti apa yang malam ini membawa grand grimoire?” batinnya. Dia memasang
senyum licik dan melanjutkan, “Hahaa, ini menarik!”
0 komentar:
Posting Komentar