The Codex of Lucifer: Chapter 05 - Reunion
"Reunion"
Rofocale yang dalam bentuk kucing berjalan menuruni
anak tangga. Mungkin dia bosan, dan memilih keluar dari kamar Chika lewat sela
pintu kecil yang memang sengaja dibuat.
Dalam wujud kucing ini tentu tak akan ada manusia yang
curiga, ataupun mengetahui jika dia adalah tangan kanan iblis besar dari
neraka. Malah yang ada, para manusia selalu mengelus bulu-bulu halusnya. Saat
mereka melakukan itu, Rofocale jelas merasa risih.
Mungkin jika kucing lain disentuh perutnya, mereka
akan senang karena mereka dianggap lucu oleh manusia. Namun hukum itu berkata
sebaliknya. Ketika ada manusia yang menggelitiki perutnya, Rofocale langsung
menggigit mereka. Dan tetap, Rofocale masih dianggap lucu nan menggemaskan.
“Hei, apa kalian pikir aku ini imut seperti kucing
lainnya? Aku ini iblis! IBLIS! Camkan itu!”
Batinnya selalu menggeretak saat Chika memperlihatkan
dirinya pada para tetangga. Hal itu tentu membuat Rofocale sebal. Tapi siapa
juga sih yang paham akan bahasa
kucing yang hanya meow meow saja?
Justru itu menjadi daya tarik tersendiri bagi manusia ingin memelihara Rofocale
karena dia terlihat aktif, tidak pemalas seperti kucing rumahan lainnya.
Itulah mengapa dia lebih memilih tinggal di kamar
Chika, karena Chika tinggal sendiri. Jika dia tinggal bersama Ratih, tentu
kedua orang tua Ratih yang hobi kucing akan memperlakukan Rofocale seperti
kucing rumahan, dan membuat tubuhnya itu gendut agar terlihat imut.
“Ya, jika dipikir-pikir aku berhutang budi juga
padanya.”
Ngomong-ngomong, sekarang dia sudah sampai lantai
dasar dengan hanya menuruni anak tangga. Sial,
batinnya. Itu jelas melelahkan. Andai saja ada manusia yang memakai lift di jam
sepuluh, pasti semua ini akan terasa mudah turun dari lantai enam.
Sinar matahari menyapanya saat langkah pertama
dipijak. Hari terasa hangat, namun berangin sejuk. Dedaunan hijau itu
melambai-lambai, mengibaskan bulu hitam Rofocale ke sana-kemari. Beruntung
lingkungan apartemen ini menanamkan banyak pohon rindang di sepanjang jalan,
jadi walau seterik apapun cuacanya, di sini akan terasa sejuk.
Lingkungan yang ramah, dan tidak langsung menghadap
jalan protokol, jadi Rofocale sangat menikmati jalan yang diprioritaskan bagi
para pejalan kaki.
Saat menyusuri jalan, beberapa kucing liar meliriknya
tajam. Itu adalah geng Saber yang diketuai oleh kucing berbulu kuning. Dia
tampak sangar dengan luka cakar membentang di area mata.
Mereka menghampiri Rofocale beramai-ramai, setidaknya
tujuh ekor. Raut wajah terlihat lapar karena tong sampah tempat mereka
nongkrong kebetulan sedang kosong.
Rofocale tetap berjalan santai saat salah satu anak
buah geng kucing tersebut maju ingin menyerang. Namun tak disangka komplotan
geng Saber yang mencoba mendekat tiba-tiba pingsan, tubuhnya jatuh seketika.
Satu sampai empat kucing mengalami nasib yang sama,
mereka tak sadarkan diri bagai mayat. Hingga yang tersisa mencoba menyelamatkan
diri, namun itu semua mustahil. Dengan energi negatif, Rofocale pun memperluas
aura jahatnya hingga mereka semua jatuh tak berdaya.
Dan perjalanan berlangsung tanpa hambatan.
***
Sudah memasuki jam istirahat, Chika dan Ratih seperti hari-hari
kemarin hanya mengunjungi perpustakaan. Ruangan ini seperti markas kedua
baginya, karena sepi, di sini bebas untuk berbicara tentang hal-hal ghaib yang
terjadi dalam selama ini.
Semalam memang perburuan paling besar yang pernah
mereka lakukan, jika dihitung lagi, kemarin itu mereka berhasil membantai habis
enam puluh tiga malaikat. Jumlah yang fantastis, terhitung dari awal mereka
menjabat sebagai iblis.
Oh ya, luka di lengan Ratih masih membekas, dan hanya
dibalut kain perban dengan obat merah. Saat dalam mode astral memang terasa
biasa, namun saat kembali menjadi bentuk manusia, terkena air pun perihnya
minta ampun. Bahkan semalam dia menjerit saat Chika meneteskan obat merah.
Dengan lembut, Chika mencoba menyentuh lengan Ratih
yang terluka.
“Ish!” Namun Ratih menjauhkannya.
“Kenapa?”
“Jangan. Sakit, tau!”
Chika cemberut sambil membalik halaman novelnya.
“Lebay, ih.”
“Tapi gue bingung, sakitnya kok baru terasa pas kita
berubah lagi, ya?”
“Hmm, iya, ya? Aku juga bingung.”
“Bahkan, terasa digigit semut pun enggak, kayak cuma
abis digaruk aja.”
Dengan tangan menopang dagu, Chika bertanya, “Apa kita
saat berubah bentuk jadi iblis, ketahanan tubuh kita bukan lagi kayak manusia?
Maksudnya, kita bertambah kuat dalam ketahanan dan kekebalan fisik.”
“Bisa jadi. Bisa jadi.” Ratih mengangguk setuju.
“Terasa juga sih pas kita berubah, stamina kita nggak capek. Tapi pas berubah
jadi manusia, langsung drop gitu aja.
Badan pegel-pegel.”
“Begitu, ya.”
“Apanya?”
“Bisa ditarik kesimpulan. Kita pas udah berubah jadi
iblis, seketika memang kita langsung terlempar ke dimensi lain. Sebuah dimensi
yang memang rupanya sama kayak bumi, namun kita nggak bisa menyentuh manusia,
bahkan merusak benda apapun. Kayak…, mereka semua, bangunan-bangunan itu cuma
latar belakang.”
Ratih menyandarkan punggungnya pada kursi. “Jadi, ini
semacam astral projek. Bener, ‘kan?”
Chika mengangguk. “Bisa dibilang begitu. Karena memang
kita menjadi ‘makhluk astral’, juga pisah dimensi dengan manusia lainnya.”
“Jadi, dalam mode astral itu gue bisa dong ngintip Ronald lagi ngapain?”
“Ronald doang? Kalo Erick, Leo, sama Gilang gimana?”
“Ya gausah disebut semuanya, Nona manis! Ih!” desis
Ratih.
“Hahaa, cowok kok
dikoleksi? Ternakin aja, Mbak, sekalian.”
“Tuh kan, melenceng dari topik.”
“Oke, oke. Sorry.”
Chika menyandarkan punggungnya. Kini sedikit merasa rileks setelah dia menarik
napas panjang. “Mengingat. Dalam mode astral, kita berada satu dimensi dengan
malaikat, atau bahkan Tuhan sekali pun. Jadi dengan kata lain, kita bisa
melihat apa yang manusia lakukan, sementara manusia tidak bisa melihat kita.
Itu sebabnya tak ada yang tau kalau di langit kita sedang melawan malaikat.”
“Tuhan, ya?” Ratih menggaruk dagu. “Bentuknya
kira-kira bagaimana?”
Sementara itu Chika hanya bisa menaikkan kedua
bahunya. “Siapa yang tau?”
“Kalau kita bisa mengalahkan Tuhan, apa kita bisa
menguasai alam semesta?”
“Kamu mikirnya terlalu jauh, Ratih.”
“Entah. Tapi itu menarik juga,” pikir Ratih. “Bayangin
kita dapat membangun dan menulis ulang sejarah alam semesta. Keren, ‘kan?”
Chika menggaruk rambut pirangnya. “Y-ya, keren juga,
sih. Tapi bisa dibilang mustahil juga untuk mengalahkan Sang Pencipta. Gila
kamu, ya.”
“Hahaa, gue penasaran apa Rofocale juga berpikiran
sama kayak gue.”
“Aku rasa enggak.”
“Heh, kenapa?”
“Dendam dia cuma sama malaikat, deh, nggak ke Tuhan
segala.”
“Tapi kalo dia berhasil menggulingkan seluruh
malaikat, otomatis Tuhan adalah lawan terakhir kita, karena dia yang memegang
tahta tertinggi.”
“Bener juga.”
“Jadi bisa dipastikan, Tuhan adalah lawan terakhir
setelah benteng malaikat runtuh.”
“Tapi ini jelas gila, Ratih.”
“Ya. Tapi entah nanti bagaimana. Yang kita harus
lakukan adalah memperkuat diri dari grimore yang kita kumpulkan.”
Chika mengangguk. “Ya.”
***
Di taman ini terasa sejuk dan damai, jauh dari
hiruk-pikuk kendaraan dan polusi kota, menjadikan suasana tentram yang dipilih
Rofocale untuk membaca sebuah buku bercover hitam. Apalagi taman ini mempunyai
danau yang indah, dan tiap angin yang bertiup membawa bau air yang menambah
konsentrasi.
Bola mata kuningnya itu
bergerak ke kiri-kanan, hingga tak ada satu katapun yang terlewat. Susunan
huruf itu bukan alphabet, arabic, atau dari negara manapun. Halamannya berlatar
kuning, dan terkadang coklat. Agak sedikit kotor, karena ini memang buku lama.
Butuh waktu puluhan ribu tahun bagi Rofocale
menerjemahkan buku pemberian Lucifer ini. Ya, sebelum Lucifer mati, hanya ini
yang dia wariskan pada satu-satunya iblis yang masih tersisa.
Tentu itu waktu yang lama, bahkan tulisan ini baru
diterjemahkan 60%-nya saja. Walau begitu, banyak informasi yang telah Rofocale
dapatkan dari buku bergambar ini.
Rencana Tuhan, penciptaan malaikat, iblis, tingkatan
surga, neraka, grimoire, pembangkitan, juga bumi beserta manusia tertulis jelas
di sini. Saat Lucifer masih menjadi tangan kanan Tuhan, dia mencatat semua itu
ke dalam buku dengan huruf ciptaannya sendiri.
“Ergh! Bagian ini sulit dimengerti.” Halaman lain
kembali dibuka.
Terdapat seribu halaman lebih yang terdiri dari
sepuluh bab. Buku ini menyimpan misteri kehidupan yang seharusnya tak boleh
dipecahkan, dan pantas saja Metatron benar-benar murka ketika buku ini jatuh ke
tangan iblis lain.
Mereka, para malaikat mengira bahwa buku karangan
Lucifer ini telah musnah saat perang tersebut berlangsung. Maka dari itu,
Rofocale harus menyembunyikan eksistensi keberadaan buku ini.
Rofocale terus membolak-balikkan halaman, dari yang
sudah dibaca ke yang belum dibaca, dan sebaliknya. Dia mencari huruf dan
kosakata yang sama, lalu mentranslit mereka.
“Oh, jadi begitu cara kerjanya.”
Seringai itu tertampak pada wajah. Sepertinya dia
mendapat ilmu baru yang berpengaruh besar pada misi utamanya.
“Jadi, piramida di dunia ini dibangun bukan sebagai
istana atau bangunan untuk memperindah kota semata. Ada tujuan lain di balik
itu semua. Hahaa, Lucifer itu memang pintar!”
“Pintar?”
“Eh?”
Bagai tersengat listrik, semua bulu kucing Rofocale
terangkat ketika dia tak sadar bahwa ada seseorang di belakangnya.
“EEEEEEH——?! MANUSIA?!”
“Halo.”
Lelaki itu tersenyum, dia mengangkat telapak tangan
layaknya sedang menyapa, bahkan tak ada ekspresi takut atau terkejut saat
bertemu kucing hitam yang dapat berbicara, sedangkan Rofocale segera memasang
kuda-kuda siap bertarung.
“Grrr! Mau apa kau?!” tanya Rofocale, berdiri di depan
buku itu guna melindunginya.
“Ah, tidak-tidak.” Lelaki itu menjawab santai, dan sedikit
tertawa. Dia lalu memperkenalkan diri. “Panggil saja Sam. Samuel Leonheart.”
“Aku tak butuh namamu. Enyah saja kau dari sini! Rawr!”
Dengan cakar tajamnya, Rofocale lalu melompat ke arah Samuel.
Jika manusia awam melihat pemandangan ini, mungkin
mereka mengira si majikan sedang bermain dengan kucing piaraannya. Namun di
balik semua itu, sebuah nyawa sebenarnya sedang terancam.
Rofocale terus melompat, meraung, dan mencakar.
Terperangkap dalam tubuh kucing memang menyamarkan dirinya dari malaikat, namun
hewan ini begitu kecil dan cukup sulit melawan manusia yang berkali-kali lipat
tingginya.
Staminanya terkuras banyak hanya untuk melompat, hanya
sesekali dia mencakar sepatu dan celana Sam, sementara Sam terus menghindar dan
sama sekali tak membalas serangan Rofocale.
“Hei, tunggu!” teriak Sam. “Aku tidak ingin mengacaukan
harimu!”
“Grrr! Kuharap kau sudah memesan batu nisan! Manusia
normal tak boleh tahu siapa aku!”
“Memangnya kau ‘apa’?”
“Tentu saja jelmaan iblis!”
“Nah, walau kau jelmaan iblis, bukannya ucapanmu hanya
terdengar seperti suara kucing pada manusia biasa?”
“Ergh!” Rofocale makin memantapkan kuda-kudanya, juga
pikirannya sedikit terbuka.
Memang benar. Walau Rofocale berbicara bahasa manusia,
namun ucapannya hanya terdengar meow seperti
kucing pada umumnya. Kecuali Sam bukan manusia biasa, pasti dia bisa mendegar
apa yang Rofocale ucapkan.
Dengan tangan di pinggul, Sam berdiri santai, matanya
menghadap Rofocale tanpa ancaman, ataupun niat membunuh.
“Lama tak bertemu, ya, Rofocale.”
Masih meraung, Rofocale menjawab, “Siapa kau?!”
“Bukannya sudah kubilang ‘Sam’?”
“Bukan nama!”
Sam menggaruk rambut hitamnya. “Ya, seperti yang kau
tahu. Aku juga jelmaan iblis, sama sepertimu.”
“Iblis, huh?”
“Samael.”
Rofocale menarik kuda-kudanya. “Hoo, jadi kau Samael.
Kukira hanya aku yang selamat dari perang itu.”
“Sebelum tewasnya Lucifer, dia berpesan agar aku turun
ke bumi, dan menetap ditubuh manusia. Sama sepertimu yang dulu bersembunyi
dalam tubuh manusia.”
“Aku meninggalkan jasad manusia itu.”
“Kenapa?”
“Jangan bodoh. Kau tentu juga melakukannya, ‘kan?”
“Ya. Maksudku, untuk menghindari malaikat, juga
penuaan organ, maka tiap sepuluh tahun aku berganti tubuh. Tapi kenapa kau
tidak memilih tubuh manusia, melainkan kucing?”
“Karena kucing satu-satunya hewan yang sulit dideteksi
oleh malaikat.”
Sam memiringkan kepalanya. “Oh, ya? Buktinya aku tidak
ketahuan, tuh.”
“Shees,
entah. Buku ini menjelaskan begitu.”
“Hoo, begitu. Boleh kupinjam?”
“Tidak!”
“Meh, kita ‘kan sama-sama iblis.”
“Lagipula kau tidak dapat memahami tulisan ini.”
“Dari yang aku intip tadi, memang benar. Tapi aku bisa
memecahkannya.”
“Heh, jangan bodoh. Sudah lebih dari lima puluh ribu
tahun aku belum sempurna mentraslitnya.”
“Kau ini bodoh atau apa, Rofocale?”
“Aku tidak peduli. Kerajaan iblis harus bangkit
kembali sesegera mungkin!”
“Maka dari itu aku berniat membantumu.”
“Heh, membantu katamu?”
“Kau pikir aku ini dari clan mana, kucing manis?”
“Kukira kau sudah betah menjadi manusia abadi.”
Sam menghela napas sebelum menjawab, “Aku akan
membantu misimu itu. Kau kira kau saja yang berduka atas kejadian itu, huh?”
“Terserah. Tapi mulai dari sekarang, kau harus
mengikuti kata-kataku. Mengerti?”
“Dimengerti. Komandan!”
***
Di saat subuh datang bersama sang embun, kabut mulai
merayap di kawasan pegunungan Elbrus, Rusia. Suhu yang turun drastis hingga di
bawah nol derajat celcius mengharuskan para pendaki untuk memakai pakaian tebal
selama bertahan di tempat ini.
Salju yang tiba-tiba turun mengharuskan mereka
menghentikan pendakian, dan mendirikan tenda di berbagai tempat. Bir adalah
minuman legal, karena panas, suhu tubuh mereka akan stabil saat
mengkonsumsinya.
Tak ada yang bisa mereka lakukan selama hujan turun di
kawasan yang berselimut salju abadi. Hanya dapat menunggu reda, hingga angin
bertiup tak terlalu kencang. Persediaan makanan juga harus disiapkan untuk
sampai ke pos berikutnya.
Ramalan cuaca menjadi teman terbaik, karena tanpa
mereka para pendaki akan mati tanpa mengetahui prakiraan cuaca hari ini.
Tepat di puncaknya berdirilah kuil ghaib tempat
Sandalphon bertugas di bumi. Bersama para malaikatnya, mereka semua mencatat
dan melapor apa saja yang terjadi di bumi, seperti; kelahiran, kematian,
bencana, pembangunan, pergantian hari, dan masih banyak lagi.
Dari gelapnya cakrawala yang berbintang terlihatlah
sebuah ekor api yang turun ke bumi. Seperti jatuhnya sebuah komet, api itu
menyala terang hingga para pendaki dapat melihatnya. Jika diterawang lebih
dekat, dia adalah malaikat berjubah merah, Raguel yang hendak menuju kuil ghaib
milik Sandalphon.
Penemuan tongkat guntur dengan darah iblis ini harus segera
diselidiki asalnya.
Di sana, beberapa malaikat terlihat sibuk keluar-masuk
dari gerbang kuil yang menjulang tinggi. Mereka secara bergantian menerima
tugas dan melaporkannya pada Sandalphon yang menjabat sebagai pencatat segala sesuatu
yang terjadi di bumi.
Raguel disambut oleh malaikat penjaga gerbang. Mereka
terheran melihat benda yang sedang Raguel bawa, namun tak berani bertanya.
Sandalphon, malaikat berjubah hijau itu sedang sibuk
menulis laporan di meja. Dari banyaknya tumpukkan kertas yang tak tertata rapi
itu, malaikat-malaikat lain pun tak berani menganggunya.
Dari aroma ini, dengan hidung mancungnya, Sandalphon
dapat mencium wangi surga yang datang mendekat, namun juga sedikit amis. Dan
dari mata itu terpantullah bayangan malaikat berjubah merah yang sedang
menggenggam sesuatu di tangan kirinya.
Dia berhenti, berdiri lima meter dari depan meja
Sandalphon.
“Wahai sahabatku, aku datang membawa sesuatu.”
Terhenti dari aktivitas menulis, Sandalphon kini menyandarkan
punggungnya. “Apa itu yang kau bawa, wahai Raguel?”
Raguel datang mendekat, menyerahkan tongkat guntur
bernoda darah itu pada Sandalphon yang segera berdiri dari kursinya.
“Pantas saja aku mencium bau amis. Ternyata iblis!”
“Aku mau anak buahmu mencari tahu tentang ini.”
Sandalphon mengelus dagu. “Hmm, baiklah. Tapi di mana
kau mendapatkan ini?”
“Di suatu tempat daerah Jakarta, Indonesia.”
“Tak jauh dari sini rupanya. Mereka sangat dekat
dengan kita.”
“Benar,” jawab Raguel. “Tak salah jika kau membangun
markas di sini.”
Sandalphon duduk kembali. “Sebelumnya aku turut
berduka pada malaikat yang telah gugur, namun dia gugur dengan membawa
informasi penting. Tentu aku tak akan menyia-nyiakan pengorbanannya yang telah
berbakti di sisi Tuhan.”
“Kalau begitu, aku mohon kasus ini harus segera
diselesaikan.”
“Heh, tenang saja, wahai Raguel. Pasti anak buahku
akan menemukan siapa pemilik darah ini.”
Raguel memejamkan matanya. “Pada malam kemarin,
Metatron mendapat laporan bahwa banyak sekali malaikat yang gugur.”
“Eh? Benarkah?”
“Para malaikat itu ditugaskan untuk membawa grimoire
pada manusia yang membutuhkan. Namun saat ditunggu, mereka tidak pulang ke
Istana Adam.”
“Jadi para iblis itu benar-benar mengincar grimore,
ya?”
“Tidak hanya itu.” Raguel memantapkan nada bicaranya.
“Tentu juga grand grimore, jangan kau lupakan.”
“Saat kau pertama kali bertemu mereka itu? Hmm, ya,
ya.”
“Bagi mereka, sepertinya grand grimoire mempunyai daya
tarik tersendiri daripada grimore biasa.”
“Maksudmu?”
“Saat masih di angkasa, aku pun sudah diteror oleh
mereka yang jauhnya ribuan kilometer dari tanah bumi.”
“Begitu, ya? Jadi suatu saat benda itu dapat dipakai
untuk memancing mereka.”
“Memancing? Apa maksudmu?”
“Kita pancing mereka memakai grand grimore.”
“Hmm, begitu.” Raguel mengelus dagu lancipnya. “Tapi
mereka sungguh kuat, sungguh pintar. Buatlah strategi yang matang sebelum aku
mati menjadi puing cahaya.”
“Heh, kau pikir aku ini bodoh, hah? Kau saja yang saat
itu kewalahan,” ejek Sandalphon yang membuat Raguel sedikit jengkel.
“Hei, saat itu aku ‘kan sedang bertugas. Metatron pun
mengirimkan benang surganya hingga aku tak boleh mengejar iblis itu kabur.
Dasar payah.”
“Ya, ya. Terserah. Akan aku laporkan rencana itu
setelah penyelidikan ini selesai. Masih banyak tugas yang aku dan para anak
buahku kerjakan.”
“Baik. Aku serahkan sepenuhnya kepadamu.” Setelah
berkata demikian, Raguel pun balik badan. “Kalau begitu, aku permisi dulu.”
Sandalphon mengangguk dengan mata terpejam. “Silakan.”
0 komentar:
Posting Komentar