Selamat datang di blog kepenulisan. Silakan menimba ilmu di sini dan jangan copy-paste.

"Keep writing and play your imagination" Yudha Pasca

Join Us On : LightNovel.ID


Senin, 10 Juli 2017

The Codex of Lucifer: Chapter 01 - Grimoire










'Grimoire'

Malam ini hujan mengguyur kota Jakarta, lampu lalu lintas dibuat sibuk karenanya. Kepadatan tak terbendung, terlihat dari nyalanya lampu kendaraan yang merayap di gelapnya malam.

            Jam menunjukkan pukul tujuh. Bertemankan segelas darah hangat, gadis berambut pendek itu duduk di kursi pada balkon apartemen. Dirinya merasa damai dengan hujan dan minumannya, dan ramai suara klakson kendaraan bagai lantunan musik syahdunya.

            Dibacanya sebuah buku bercover hitam, novel tebal yang kiranya lima ratusan halaman. Tak ada momen sedamai ini bagi dirinya, berharap waktu lima kali berjalan lebih lambat.

            Seekor kucing hitam datang mendekat Dia terbangun dari tidur, dan mendapati sang majikan tidak ada di dekatnya. Menyusuri seisi ruang kamar, dia tak menemukan orang yang dicari, hingga bayangan hitam terlihat di luar, barulah dia tahu di sana sang majikannya berada.

            Kucing hitam itu melompat, naik ke atas pangkuan gadis muda itu. Dielusnya kepala si kucing dengan lembut, kucing itu nampak bahagia berada di dekatnya.

            Sekali lagi kucing itu terlelap, dia tertidur di atas pangkuan hangat sang majikan.


***

            Bulan ketiga di tahun ajaran kedua. Beberapa momen penting terjadi saat masa SMA-nya. 

            Setelah jam matematika berakhir, bel istirahat terdengar hingga ujung ruangan. Para murid mulai merapikan buku, lalu bergegas meninggalkan kelas.

            Kecuali dia.

            Gadis berambut pendek itu mengambil napas panjang, lalu dilepaskannya. Masih terpikir kejadian itu, kejadian yang mana merubah dirinya, masa depan, dan statusnya sebagai manusia murni.

            Manusia setengah iblis, sebuah reinkarnasi dari iblis yang telah gugur di medan perang.

            Jelas ini bukanlah mimpi. Jika mimpi, tentu ini mimpi yang panjang selama dua bulan lamanya dia telah bertugas sebagai iblis.

            Dia tidak bisa berhenti, dia tidak bisa mengelak dari takdir yang telah mempertemukannya. Dia salah satu anak yang terpilih, yang ditugaskan untuk membunuh semua malaikat yang ada di surga dan bumi.

            Sebuah tugas berat, namun dengan kemampuan bertempurnya di medan perang, mereka bukanlah apa-apa dibanding dengan dirinya.

            Darah mereka terasa lezat. Saat masuk ke dalam tenggorokan, sekujur tubuhnya merasa hangat, membuat rasa haus dan lapar hilang seketika. Sangat berbeda dengan rasa makanan manusia pada umumnya. 

            Sampai sebuah tepukan kecil mendarat di pundak, dia pun terbangun dari lamunannya.

            “Kantin, yuk!”

            Ajakan itu berasal dari seorang gadis berambut panjang. Parasnya manis khas orang Bandung.

            Dengan wajah bingung gadis berambut pendek itu menjawab, “Ngapain? ‘Kan kita nggak perlu makan makanan itu.”

            “Ya ngapain, kek. Formalitas aja biar nggak dianggap ‘aneh’, atau apalah itu.”

            Sebelum menjawab, gadis berambut pendek itu mendengus.

            “Oke.”

            Beranjak dari kursinya, kini mereka berdua berjalan menuju kantin sekolah.

            Tiba di sana, mereka langsung disambut aroma kaldu mi ayam. Terasa kuat hingga menusuk hidung.

Saat masih menjadi manusia utuh, godaan bau ini sangat tak tertahankan hingga mereka langsung memesan dua mangkuk. Namun setelah menjadi manusia setengah iblis, semua makanan manusia menjadi hambar tak terasa asin dan manisnya, kecut dan pahitnya.

Sistem pencernaan dan nafsu mereka berubah akan makanan dan minuman, hanya darah malaikat saja yang dapat membuat mereka melepas lapar dan haus. Oleh karenanya, mereka tidak dapat berhenti berburu malaikat untuk disimpan darahnya.

“Hey, sini!”

Seorang teman melambai, dia duduk di meja bersama dua orang lainnya yang sedang menyantap makan siang.

Saat si gadis berambut panjang hendak menghampiri, gadis berambut pendek segera menggenggam tangannya. Wajah mereka saling bertemu, dan gadis berambut panjang memasang ekspresi penuh tanda tanya.

“Perpus aja,” pinta gadis berambut pendek.

“Lha, kenapa?”

“Males. Nggak selera.”

Tanpa berkata lagi, gadis berambut pendek menarik lengan gadis berambut panjang itu, menuntunnya ke arah perpustakaan sekolah.

Hanya lambaian tangan saja yang gadis berambut panjang berikan pada tiga rekannya sebagai tanda perpisahan.

Menyusuri lorong demi lorong, kelas demi kelas, akhirnya mereka berdua tiba di gedung perpustakaan, dekat dengan taman dan air mancur mininya.

Terlihat sedikit pengunjung hari ini, seperti biasa. Hanya seorang kutu buku yang ingin mampir untuk menghabiskan jam istirahatnya di tempat ini.

Mengambil dua buah buku dari dalam rak, gadis berambut pendek itu lekas menuju meja menghampiri gadis berambut panjang yang tengah duduk menunggu.

Buku itu diberikan, dan mereka duduk berhadapan satu sama lain.

            “Dari sejak kita begini, aku jadi males ke kantin,” kata gadis berambut pendek. “Nggak ada rasa laper-lapernya gitu.”
 
“Ya, begitulah. Nikmatin aja. Kangen rasa mi ayam, ya?”

Sembari membaca bukunya, gadis berambut pendek itu mengangguk kecil.

“Tapi, rasa darah malaikat itu lima kali lebih enak dari mi ayam di kantin.”

“Harus diakui, ‘ya’.”

“Nanti jam sembilan gue ke kamar lo, oke?”

“Terserah.”

Mereka terus membaca sambil mengobrol ringan, hingga tak terasa bel masuk telah berbunyi. Kedua gadis itu pun segera kembali ke kelas untuk mengikuti pelajaran berikutnya.


***


Kamar ini telah gelap saat lampu terakhir dimatikan. Korek dinyalakan, lalu api itu benderang di atas lilin merah. Cahayanya menjadi titik tumpu penglihatan.

Menggunakan kapur merah, gadis berambut panjang itu menggambar bintang lima sudut di atas lantai. Setelahnya, dia lalu menggambar lingkaran di luar bintang tadi. Lilin merah itu diletakkan di tengah simbol tersebut.

Kucing hitam itu kini datang mendekat, dan duduk manis melihat dua gadis yang sedang mempersiapkan proses ritual.

Jika dirasa, ruangan ini nampak hening, bahkan suara jam dinding dapat terdengar jelas menggetarkan kamar kecil ini.

Gadis berambut panjang dan pendek itu duduk di luar area lingkaran, saling berhadapan. Mereka masing-masing telah memegang pisau, lalu menyat jari telunjuk mereka hingga darah itu keluar.

Perih, memang. Tapi sebisa mungkin mereka harus menahan rasa sakit itu tanpa berteriak.

Darah yang keluar itu mereka teteskan sedikit pada gelas berisi air yang ada di depan tempat mereka duduk. Air yang bening kini sedikit berubah menjadi merah pudar.

Mata mereka bertemu, dan mereka tahu harus apa selanjutnya.

Dengan mata terpejam, mantera pun dirapalkan.

“Kau yang dari langit, Kau yang jatuh ke bumi. Kau utusan surga, namun terbuang dengan sayap patah-Mu. Kirim aku dendam-Mu, kubalaskan satu per satu..., pada tiap darah yang tertumpah!”

Gelas di depan mereka terasa sedikit bergetar saat mantera dirapalkan.

“Aku, hamba-Mu yang akan setia hingga akhir hayat tunduk pada segala perintah-Mu. Berikan aku mahkota indah-mu! Bawakan tulang dan darah itu padaku, satukan dengan darah dagingku!


Aku adalah Kau! Dan Kau adalah aku!”

            Setelah mantera dirapalkan, mereka berdua membuka mata. Gelas yang berada di depan mereka berubah warna seketika. Dari yang berwarna merah pudar kini menjadi merah tua.

            Mereka berdua meraih gelas tersebut, lalu ditumpahkanlah airnya pada kucing hitam, dari kepala hingga ujung kaki secara perlahan hingga tetes terakhir.

            Sedetik kemudian, simbol yang di gambar di atas lantai itu menyala terang, angin kencang menghempas dari bawah ke atas.

            Kedua gadis itu mengerang, kulit mereka merah mengelupas, bentuk mereka mulai berubah. Lalu berteriak.

            Angin itu berhenti, namun simbol itu masih tetap menyala menerangi kamar.

            Gadis berambut panjang kini memakai gaun merah kecoklatan dengan sabit di tangan kanannya. Lalu gadis berambut pendek itu juga memakai gaun dengan warna yang sama, juga sebuah pedang besar di tangan kanan.

            Pembangunan iblis telah dilakukan.

            “Mari…, lakukan perburuan!”

            Dengan mata merahnya, kucing hitam itu berseru, lalu kedua gadis itu mengagguk.

            Mereka berdua terbang keluar dari kamar apartemen, lalu melihat ke seisi kota.

            Malam ini begitu cerah, hamparan bintang terlihat menggantung indah di gelapnya awan, bersama sang bulan yang hampir mendekati purnamanya. 

Di arah jam empat, mereka melihat satu malaikat dengan cahaya putih terang yang baru saja turun dari langit (surga). Malaikat itu terlihat membawa cahaya biru yang diyakini itu adalah grimoire. 

Selain darah yang diburu untuk dijadikan bahan makanan, grimoire juga salah satu benda berharga yang harus dibawa pulang, lalu diekstrak. 

Dengan kecepatan penuh, segeralah mereka berdua terbang menghampiri malaikat tersebut.

Malaikat itu melihat, tahu akan kehadiran musuh yang sedang datang mendekat. Dia lalu menyiapkan senjatanya, yakni berupa tongkat dengan guntur sebagai mata pisau.

Tongkat itu diayunkan, kilat petir berwarna kuning pun menggelegar di langit Jakarta yang tak terlihat mendung ini.

Melihat datangnya serangan, kedua iblis yang tengah mendekat pun menghindar, bermanuver ke samping. Nyaris saja tubuh mereka gosong karena kilat tersebut.

Dengan kedua tangan, gadis berambut pendek mengayunkan pedangnya ke belakang pundak. Ditahan sebentar, dia mengumpulkan energi alam. Pedang besarnya itu kini terlihat bercahaya merah-hitam penuh dengan energi kegelapan.

Setelah terkumpul penuh, pedang itu lalu diayunkan bersamaan dengan energi jahat yang terhempas ke arah malaikat tersebut.

Energi jahat itu melesat cepat bak kecepatan cahaya, namun dengan kekuatan hebatnya, sang malaikat tadi dengan mudah menghindari serangan iblis berambut pendek tersebut.

Malaikat itu balas menyerang dengan memberi beberapa sambaran petir pada si iblis, namun serangan malaikat itu juga dapat dihindari.

Hingga pada saat itu, iblis berambut panjang muncul pada titik buta sang malaikat. Rupanya iblis berambut pendek tadi hanya pengalihan semata membuat sibuk malaikat.

Sabit diayunkan sebelum malaikat itu berhasil menangkis dengan tongkatnya, ataupun menghindari serangan. Alhasil, kepala itu terpisah dari lehernya.

Malaikat itu mati, dan grimoire itu jatuh ke tangan iblis.

“Satu,” kata iblis berambut panjang.

Dengan pedang yang ditopang dibahu, temannya berkata, “Mari kita cari lagi.”

Gadis berambut panjang merapal mantera. Seketika itu muncullah cahaya biru membentuk lingkaran di ujung jari tangannya. Dia memberikan sigil pada jasad malaikat itu, lalu jasad tadi pun sirna, seakan terbang ke langit, namun menghilang entah ke mana dengan cahaya birunya.

“Aku sudah selesai. Ayo.”

Inilah yang mereka berdua lakukan semenjak menjadi manusia setengah iblis. Melangsungkan hidup berburu malaikat, menjalankan tugas dari perintah si kucing hitam.

Perburuan malam ini dilanjutkan, kali ini dua malaikat terlihat datang bersamaan dari arah jam satu dan sembilan. Mereka berdua mengangguk, lalu berpisah memburu malaikat itu sendiri-sendiri.

Iblis berambut pendek sekali lagi mengeluarkan serangan jarak jauhnya dengan energi hitam, namun sang malaikat berhasil menangkisnya dengan membentuk sebuah tameng cahaya putih keemasan.

Malaikat itu tersenyum, terasa mudah menghindari serangan tersebut. Dia lalu terbang mendekati sang iblis dengan bersenjatakan tongkat gunturnya.

Dia berhenti, lalu mengayunkan tongkatnya. Malaikat itu mengeluarkan kilat petir ke beberapa arah yang bertujuan agar sang iblis bingung menghindarinya.

Hanya butuh sedikit keahlian dengan mata elangnya, iblis berambut pendek ini dengan mudah membaca gerakan tiap petir yang melesat mendekatinya bagai serangan rudal jet pesawat tempur.

Tak ada serangan yang merusak, semua dapat terhindari. Iblis berambut pendek juga mengeluarkan beberapa tebasan pedang dengan energi gelapnya pada malaikat itu.

Namun dengan kecerdasannya, malaikat itu sekali lagi membuat tameng cahaya yang melindungi dirinya dari berbagai macam serangan.

Iblis berambut pendek rupanya lebih cerdas dari dugaan sang malaikat, dia tak bodoh. Leher malaikat itu seketika merinding, merasa sebuah sosok makhluk sedang berada di belakangnya.

Benar saja, iblis berambut pendek itu sudah berada di belakang si malaikat. Dengan pedang besarnya, dia pun membelah tubuh malaikat itu menjadi dua bagian simetris.

Pertarungan berakhir. Malaikat itu pun mati, dan grimoire itu berhasil iblis dapatkan. Iblis berambut pendek lalu merapal mantera, membuat sigil pada jasad malaikat, persis dengan apa yang iblis berambut panjang tadi lakukan. Dan sedetik kemudian jasad malaikat tadi pun menghilang.

Melihat ke arah sana, iblis berambut panjang juga sudah selesai dengan buruannya. Bersamaan dengan itu, sebuah suara pun terngiang di telinga mereka.

“Cukup untuk malam ini. Kembalilah.”

Seruan itu berasal dari kucing hitam. Dia hanya duduk manis, melihat pertempuran dua ‘peliharaan’-nya dari jarak puluhan kilometer.

Kedua iblis itu mengangguk. Dengan kecepatan penuh, mereka berdua kembali pulang ke apartemennya.

Sesampainya di sana, tiga jasad malaikat yang berhasil dibunuh tadi kini terlihat tengah terbaring di atas lantai bersimbol bintang. Sigil tadi mempunyai kekuatan teleportasi yang membuat sebuah obyek berpindah tempat ke tempat yang sudah ditandai.

Makan malam pun dimulai. Dengan rakus, dua iblis itu pun menggigit leher malaikat untuk dihisap darahnya. Terasa lezat saat darah malaikat memasuki tenggorokan. Lapar dan dahaga hilang, perut mereka terasa penuh.

Saat kedua iblis itu sedang menikmati makan malamnya, si kucing hitam kini melakukan tugas rutinnya.

Grimoire, benda seperti telur bercahaya biru dengan cincin putih itu dirapalkan mantera. Lalu tak lama kemudian cahaya birunya berubah menjadi merah serupa darah. Energi yang tadi bermuatan positif kini berubah menjadi negatif.

Pengekstrakan selesai. Grimore itu dirapalkan mantera kembali, diberikan sigil. Lalu menghilang ke tempat lain.

Kedua iblis itu telah kenyang, beberapa sisa darah dimasukkan ke dalam botol beling. Botol itu khusus, tutupnya adalah sebuah susunan gigi taring dengan gusi hitam. Hanya dengan menempelkan ‘gigi’ itu pada bagian tubuh malaikat, secara otomatis ‘gigi’ itu menghisap darah malaikat, lalu darah tersebut mengalir, mengisi penuh botol tersebut.

Setelah semua selesai, kedua iblis itu pun berubah bentuk kembali menjadi manusia semula, lepas dari bentuk astralnya. Jasad malaikat itu juga menghilang, karena malaikat tersebut hanya dapat dilihat oleh makhluk astral saja.

Satu jam telah berlalu, kini waktu telah menujukkan sepuluh lewat lima belas menit.

“Aku lelah, juga kekenyangan.”

Gadis berambut pendek berkata sambil mengelus perutnya.

“Stok darah masih banyak, jadi besok tak berburu juga tak apa, ‘kan?” tanya gadis berambut panjang.

Kucing itu pun menjawab, “Tergantung.”

“Eh?”

“Jika ada malaikat yang membawa grimoire, kalian harus membunuhnya, dan membawakannya padaku.”

“Tunggu, kucing hitam,” sanggah gadis berambut pendek. “Sebenarnya kami tak tahu apa fungsi grimore tersebut. Yang kami lakukan hanya membunuh malaikat dan meminum darahnya.”

Kucing hitam itu memejamkan mata, lalu membukanya dan berkata, “Grimoire adalah data. Adalah partikel Tuhan. Aku membutuhnya dalam jumlah tertentu untuk membuat koloni iblis.”

“Koloni?”

“Ya. Kau kira dengan hanya dua orang aku dapat menggulingkan ribuan malaikat Tuhan?”

Gadis berambut panjang menggaruk kepalanya. “Yhaa…, secara logika, sih, enggak.”

“Maka dari itu, aku membutuhkan bantuan kalian untuk mengumpulkan data, lalu membuat koloni baru. Bahkan jika perlu mereinkarnasi iblis kembali.”

Kucing hitam itu melanjutkan, “Malaikat yang kalian bunuh sebenarnya aku simpan, sewaktu-waktu pasti akan kita butuhkan.”

“Hah, mereka ‘kan sudah mati?”

“Secara logika, ya,” jawab si kucing hitam. “Tapi dengan kekuatanku, mereka akan kujadikan tentara iblis, kubangkitkan mereka dengan mantera terlarang.”

Kedua gadis itu menelan ludah, saling bertatap muka.

“Maksud kamu, berarti saat mereka dibangkitkan, mereka menjadi akan bagian iblis?” tanya gadis berambut pendek.

“Benar sekali, Chika-ku sayang,” jawab sang kucing. “Karena gigitan kalian mempunyai racun, menginfeksi lewat darah yang mengalir ke otak. Mematikan kerja pikiran, dan merubah pola pikir suatu makhluk.”

“Selama ini aku baru tahu,” kata gadis berambut panjang.

“Eh, Ratih juga baru tahu, ya?”

“Maaf aku tak memberi tahu kalian. Sebenarnya, ada banyak sekali hal yang belum aku sampaikan, namun aku kujelaskan jika waktunya tepat seperti sekarang ini.”

Kedua gadis itu mengangguk.

“Sekarang beristirahatlah karena besok kalian harus pergi ke tempat yang bernama ‘sekolah’ itu. Benar-benar kalian manusia terjebak dalam kehidupan yang membosankan.”

Setelah berkata demikian, kucing hitam itu pergi duluan dan naik ke atas kasur. Dia menggulung dirinya bersama selimut dan memejamkan mata.

Ratih berdiri dari duduknya. “Malam ini cukup ya, Chika. Gue balik ke kamar.”

Lampu dinyalakan bersamaan dengan Ratih yang meraih gagang pintu.

“Goodnite!”

Suara pintu ditutup terdengar, Ratih telah pergi dari ruangan ini.

0 komentar:

Posting Komentar