The Codex of Lucifer: Chapter 01 - Grimoire
'Grimoire'
Malam
ini hujan mengguyur kota Jakarta, lampu lalu lintas dibuat sibuk karenanya.
Kepadatan tak terbendung, terlihat dari nyalanya lampu kendaraan yang merayap
di gelapnya malam.
Jam menunjukkan pukul tujuh. Bertemankan segelas darah
hangat, gadis berambut pendek itu duduk di kursi pada balkon apartemen. Dirinya
merasa damai dengan hujan dan minumannya, dan ramai suara klakson kendaraan bagai
lantunan musik syahdunya.
Dibacanya sebuah buku bercover hitam, novel tebal yang
kiranya lima ratusan halaman. Tak ada momen sedamai ini bagi dirinya, berharap
waktu lima kali berjalan lebih lambat.
Seekor kucing hitam datang mendekat Dia terbangun dari
tidur, dan mendapati sang majikan tidak ada di dekatnya. Menyusuri seisi ruang
kamar, dia tak menemukan orang yang dicari, hingga bayangan hitam terlihat di
luar, barulah dia tahu di sana sang majikannya berada.
Kucing hitam itu melompat, naik ke atas pangkuan gadis
muda itu. Dielusnya kepala si kucing dengan lembut, kucing itu nampak bahagia
berada di dekatnya.
Sekali lagi kucing itu terlelap, dia tertidur di atas
pangkuan hangat sang majikan.
***
Bulan ketiga di tahun ajaran kedua. Beberapa momen
penting terjadi saat masa SMA-nya.
Setelah jam matematika berakhir, bel istirahat terdengar
hingga ujung ruangan. Para murid mulai merapikan buku, lalu bergegas
meninggalkan kelas.
Kecuali dia.
Gadis berambut pendek itu mengambil napas panjang, lalu
dilepaskannya. Masih terpikir kejadian itu, kejadian yang mana merubah dirinya,
masa depan, dan statusnya sebagai manusia murni.
Manusia setengah iblis, sebuah reinkarnasi dari iblis
yang telah gugur di medan perang.
Jelas ini bukanlah mimpi. Jika mimpi, tentu ini mimpi
yang panjang selama dua bulan lamanya dia telah bertugas sebagai iblis.
Dia tidak bisa berhenti, dia tidak bisa mengelak dari
takdir yang telah mempertemukannya. Dia salah satu anak yang terpilih, yang
ditugaskan untuk membunuh semua malaikat yang ada di surga dan bumi.
Sebuah tugas berat, namun dengan kemampuan bertempurnya
di medan perang, mereka bukanlah apa-apa dibanding dengan dirinya.
Darah mereka terasa lezat. Saat masuk ke dalam
tenggorokan, sekujur tubuhnya merasa hangat, membuat rasa haus dan lapar hilang
seketika. Sangat berbeda dengan rasa makanan manusia pada umumnya.
Sampai sebuah tepukan kecil mendarat di pundak, dia pun
terbangun dari lamunannya.
“Kantin, yuk!”
Ajakan itu berasal dari seorang gadis berambut panjang.
Parasnya manis khas orang Bandung.
Dengan wajah bingung gadis berambut pendek itu menjawab,
“Ngapain? ‘Kan kita nggak perlu makan makanan itu.”
“Ya ngapain, kek. Formalitas aja biar nggak dianggap
‘aneh’, atau apalah itu.”
Sebelum menjawab, gadis berambut pendek itu mendengus.
“Oke.”
Beranjak dari kursinya, kini mereka berdua berjalan
menuju kantin sekolah.
Tiba di sana, mereka langsung disambut aroma kaldu mi
ayam. Terasa kuat hingga menusuk hidung.
Saat
masih menjadi manusia utuh, godaan bau ini sangat tak tertahankan hingga mereka
langsung memesan dua mangkuk. Namun setelah menjadi manusia setengah iblis,
semua makanan manusia menjadi hambar tak terasa asin dan manisnya, kecut dan
pahitnya.
Sistem
pencernaan dan nafsu mereka berubah akan makanan dan minuman, hanya darah
malaikat saja yang dapat membuat mereka melepas lapar dan haus. Oleh karenanya,
mereka tidak dapat berhenti berburu malaikat untuk disimpan darahnya.
“Hey,
sini!”
Seorang
teman melambai, dia duduk di meja bersama dua orang lainnya yang sedang
menyantap makan siang.
Saat
si gadis berambut panjang hendak menghampiri, gadis berambut pendek segera
menggenggam tangannya. Wajah mereka saling bertemu, dan gadis berambut panjang
memasang ekspresi penuh tanda tanya.
“Perpus
aja,” pinta gadis berambut pendek.
“Lha,
kenapa?”
“Males.
Nggak selera.”
Tanpa
berkata lagi, gadis berambut pendek menarik lengan gadis berambut panjang itu,
menuntunnya ke arah perpustakaan sekolah.
Hanya
lambaian tangan saja yang gadis berambut panjang berikan pada tiga rekannya
sebagai tanda perpisahan.
Menyusuri
lorong demi lorong, kelas demi kelas, akhirnya mereka berdua tiba di gedung
perpustakaan, dekat dengan taman dan air mancur mininya.
Terlihat
sedikit pengunjung hari ini, seperti biasa. Hanya seorang kutu buku yang ingin
mampir untuk menghabiskan jam istirahatnya di tempat ini.
Mengambil
dua buah buku dari dalam rak, gadis berambut pendek itu lekas menuju meja
menghampiri gadis berambut panjang yang tengah duduk menunggu.
Buku
itu diberikan, dan mereka duduk berhadapan satu sama lain.
“Dari sejak kita begini, aku jadi males ke kantin,” kata
gadis berambut pendek. “Nggak ada rasa laper-lapernya gitu.”
“Ya,
begitulah. Nikmatin aja. Kangen rasa mi ayam, ya?”
Sembari
membaca bukunya, gadis berambut pendek itu mengangguk kecil.
“Tapi,
rasa darah malaikat itu lima kali lebih enak dari mi ayam di kantin.”
“Harus
diakui, ‘ya’.”
“Nanti
jam sembilan gue ke kamar lo, oke?”
“Terserah.”
Mereka
terus membaca sambil mengobrol ringan, hingga tak terasa bel masuk telah
berbunyi. Kedua gadis itu pun segera kembali ke kelas untuk mengikuti pelajaran
berikutnya.
***
Kamar
ini telah gelap saat lampu terakhir dimatikan. Korek dinyalakan, lalu api itu
benderang di atas lilin merah. Cahayanya menjadi titik tumpu penglihatan.
Menggunakan
kapur merah, gadis berambut panjang itu menggambar bintang lima sudut di atas
lantai. Setelahnya, dia lalu menggambar lingkaran di luar bintang tadi. Lilin
merah itu diletakkan di tengah simbol tersebut.
Kucing
hitam itu kini datang mendekat, dan duduk manis melihat dua gadis yang sedang
mempersiapkan proses ritual.
Jika
dirasa, ruangan ini nampak hening, bahkan suara jam dinding dapat terdengar
jelas menggetarkan kamar kecil ini.
Gadis
berambut panjang dan pendek itu duduk di luar area lingkaran, saling
berhadapan. Mereka masing-masing telah memegang pisau, lalu menyat jari
telunjuk mereka hingga darah itu keluar.
Perih,
memang. Tapi sebisa mungkin mereka harus menahan rasa sakit itu tanpa
berteriak.
Darah
yang keluar itu mereka teteskan sedikit pada gelas berisi air yang ada di depan
tempat mereka duduk. Air yang bening kini sedikit berubah menjadi merah pudar.
Mata
mereka bertemu, dan mereka tahu harus apa selanjutnya.
Dengan
mata terpejam, mantera pun dirapalkan.
“Kau yang dari langit, Kau yang jatuh ke bumi. Kau utusan surga, namun terbuang dengan sayap patah-Mu. Kirim aku dendam-Mu, kubalaskan satu per satu..., pada tiap darah yang tertumpah!”
Gelas
di depan mereka terasa sedikit bergetar saat mantera dirapalkan.
“Aku, hamba-Mu yang akan setia hingga akhir hayat tunduk pada segala perintah-Mu. Berikan aku mahkota indah-mu! Bawakan tulang dan darah itu padaku, satukan dengan darah dagingku!
Aku adalah Kau! Dan Kau adalah aku!”
Setelah mantera
dirapalkan, mereka berdua membuka mata. Gelas yang berada di depan mereka
berubah warna seketika. Dari yang berwarna merah pudar kini menjadi merah tua.
Mereka berdua meraih gelas tersebut, lalu ditumpahkanlah
airnya pada kucing hitam, dari kepala hingga ujung kaki secara perlahan hingga
tetes terakhir.
Sedetik kemudian, simbol yang di gambar di atas lantai
itu menyala terang, angin kencang menghempas dari bawah ke atas.
Kedua gadis itu mengerang, kulit mereka merah mengelupas,
bentuk mereka mulai berubah. Lalu berteriak.
Angin itu berhenti, namun simbol itu masih tetap menyala
menerangi kamar.
Gadis berambut panjang kini memakai gaun merah kecoklatan
dengan sabit di tangan kanannya. Lalu gadis berambut pendek itu juga memakai
gaun dengan warna yang sama, juga sebuah pedang besar di tangan kanan.
Pembangunan iblis telah dilakukan.
“Mari…, lakukan perburuan!”
Dengan mata merahnya, kucing hitam itu berseru, lalu
kedua gadis itu mengagguk.
Mereka berdua terbang keluar dari kamar apartemen, lalu
melihat ke seisi kota.
Malam ini begitu cerah, hamparan bintang terlihat
menggantung indah di gelapnya awan, bersama sang bulan yang hampir mendekati
purnamanya.
Di
arah jam empat, mereka melihat satu malaikat dengan cahaya putih terang yang
baru saja turun dari langit (surga). Malaikat itu terlihat membawa cahaya biru
yang diyakini itu adalah grimoire.
Selain
darah yang diburu untuk dijadikan bahan makanan, grimoire juga salah satu benda
berharga yang harus dibawa pulang, lalu diekstrak.
Dengan
kecepatan penuh, segeralah mereka berdua terbang menghampiri malaikat tersebut.
Malaikat
itu melihat, tahu akan kehadiran musuh yang sedang datang mendekat. Dia lalu
menyiapkan senjatanya, yakni berupa tongkat dengan guntur sebagai mata pisau.
Tongkat
itu diayunkan, kilat petir berwarna kuning pun menggelegar di langit Jakarta
yang tak terlihat mendung ini.
Melihat
datangnya serangan, kedua iblis yang tengah mendekat pun menghindar, bermanuver
ke samping. Nyaris saja tubuh mereka gosong karena kilat tersebut.
Dengan
kedua tangan, gadis berambut pendek mengayunkan pedangnya ke belakang pundak.
Ditahan sebentar, dia mengumpulkan energi alam. Pedang besarnya itu kini
terlihat bercahaya merah-hitam penuh dengan energi kegelapan.
Setelah
terkumpul penuh, pedang itu lalu diayunkan bersamaan dengan energi jahat yang
terhempas ke arah malaikat tersebut.
Energi
jahat itu melesat cepat bak kecepatan cahaya, namun dengan kekuatan hebatnya,
sang malaikat tadi dengan mudah menghindari serangan iblis berambut pendek
tersebut.
Malaikat
itu balas menyerang dengan memberi beberapa sambaran petir pada si iblis, namun
serangan malaikat itu juga dapat dihindari.
Hingga
pada saat itu, iblis berambut panjang muncul pada titik buta sang malaikat.
Rupanya iblis berambut pendek tadi hanya pengalihan semata membuat sibuk
malaikat.
Sabit
diayunkan sebelum malaikat itu berhasil menangkis dengan tongkatnya, ataupun
menghindari serangan. Alhasil, kepala itu terpisah dari lehernya.
Malaikat
itu mati, dan grimoire itu jatuh ke tangan iblis.
“Satu,”
kata iblis berambut panjang.
Dengan
pedang yang ditopang dibahu, temannya berkata, “Mari kita cari lagi.”
Gadis
berambut panjang merapal mantera. Seketika itu muncullah cahaya biru membentuk
lingkaran di ujung jari tangannya. Dia memberikan sigil pada jasad malaikat itu,
lalu jasad tadi pun sirna, seakan terbang ke langit, namun menghilang entah ke
mana dengan cahaya birunya.
“Aku
sudah selesai. Ayo.”
Inilah
yang mereka berdua lakukan semenjak menjadi manusia setengah iblis.
Melangsungkan hidup berburu malaikat, menjalankan tugas dari perintah si kucing
hitam.
Perburuan
malam ini dilanjutkan, kali ini dua malaikat terlihat datang bersamaan dari
arah jam satu dan sembilan. Mereka berdua mengangguk, lalu berpisah memburu
malaikat itu sendiri-sendiri.
Iblis
berambut pendek sekali lagi mengeluarkan serangan jarak jauhnya dengan energi
hitam, namun sang malaikat berhasil menangkisnya dengan membentuk sebuah tameng
cahaya putih keemasan.
Malaikat
itu tersenyum, terasa mudah menghindari serangan tersebut. Dia lalu terbang
mendekati sang iblis dengan bersenjatakan tongkat gunturnya.
Dia
berhenti, lalu mengayunkan tongkatnya. Malaikat itu mengeluarkan kilat petir ke
beberapa arah yang bertujuan agar sang iblis bingung menghindarinya.
Hanya
butuh sedikit keahlian dengan mata elangnya, iblis berambut pendek ini dengan
mudah membaca gerakan tiap petir yang melesat mendekatinya bagai serangan rudal
jet pesawat tempur.
Tak
ada serangan yang merusak, semua dapat terhindari. Iblis berambut pendek juga
mengeluarkan beberapa tebasan pedang dengan energi gelapnya pada malaikat itu.
Namun
dengan kecerdasannya, malaikat itu sekali lagi membuat tameng cahaya yang
melindungi dirinya dari berbagai macam serangan.
Iblis
berambut pendek rupanya lebih cerdas dari dugaan sang malaikat, dia tak bodoh.
Leher malaikat itu seketika merinding, merasa sebuah sosok makhluk sedang
berada di belakangnya.
Benar
saja, iblis berambut pendek itu sudah berada di belakang si malaikat. Dengan
pedang besarnya, dia pun membelah tubuh malaikat itu menjadi dua bagian
simetris.
Pertarungan
berakhir. Malaikat itu pun mati, dan grimoire itu berhasil iblis dapatkan. Iblis
berambut pendek lalu merapal mantera, membuat sigil pada jasad malaikat, persis
dengan apa yang iblis berambut panjang tadi lakukan. Dan sedetik kemudian jasad
malaikat tadi pun menghilang.
Melihat
ke arah sana, iblis berambut panjang juga sudah selesai dengan buruannya.
Bersamaan dengan itu, sebuah suara pun terngiang di telinga mereka.
“Cukup
untuk malam ini. Kembalilah.”
Seruan
itu berasal dari kucing hitam. Dia hanya duduk manis, melihat pertempuran dua ‘peliharaan’-nya
dari jarak puluhan kilometer.
Kedua
iblis itu mengangguk. Dengan kecepatan penuh, mereka berdua kembali pulang ke
apartemennya.
Sesampainya
di sana, tiga jasad malaikat yang berhasil dibunuh tadi kini terlihat tengah
terbaring di atas lantai bersimbol bintang. Sigil tadi mempunyai kekuatan
teleportasi yang membuat sebuah obyek berpindah tempat ke tempat yang sudah
ditandai.
Makan
malam pun dimulai. Dengan rakus, dua iblis itu pun menggigit leher malaikat untuk
dihisap darahnya. Terasa lezat saat darah malaikat memasuki tenggorokan. Lapar
dan dahaga hilang, perut mereka terasa penuh.
Saat
kedua iblis itu sedang menikmati makan malamnya, si kucing hitam kini melakukan
tugas rutinnya.
Grimoire,
benda seperti telur bercahaya biru dengan cincin putih itu dirapalkan mantera.
Lalu tak lama kemudian cahaya birunya berubah menjadi merah serupa darah. Energi
yang tadi bermuatan positif kini berubah menjadi negatif.
Pengekstrakan
selesai. Grimore itu dirapalkan mantera kembali, diberikan sigil. Lalu
menghilang ke tempat lain.
Kedua
iblis itu telah kenyang, beberapa sisa darah dimasukkan ke dalam botol beling.
Botol itu khusus, tutupnya adalah sebuah susunan gigi taring dengan gusi hitam.
Hanya dengan menempelkan ‘gigi’ itu pada bagian tubuh malaikat, secara otomatis
‘gigi’ itu menghisap darah malaikat, lalu darah tersebut mengalir, mengisi
penuh botol tersebut.
Setelah
semua selesai, kedua iblis itu pun berubah bentuk kembali menjadi manusia
semula, lepas dari bentuk astralnya. Jasad malaikat itu juga menghilang, karena
malaikat tersebut hanya dapat dilihat oleh makhluk astral saja.
Satu
jam telah berlalu, kini waktu telah menujukkan sepuluh lewat lima belas menit.
“Aku
lelah, juga kekenyangan.”
Gadis
berambut pendek berkata sambil mengelus perutnya.
“Stok
darah masih banyak, jadi besok tak berburu juga tak apa, ‘kan?” tanya gadis
berambut panjang.
Kucing
itu pun menjawab, “Tergantung.”
“Eh?”
“Jika
ada malaikat yang membawa grimoire, kalian harus membunuhnya, dan membawakannya
padaku.”
“Tunggu,
kucing hitam,” sanggah gadis berambut pendek. “Sebenarnya kami tak tahu apa
fungsi grimore tersebut. Yang kami lakukan hanya membunuh malaikat dan meminum
darahnya.”
Kucing
hitam itu memejamkan mata, lalu membukanya dan berkata, “Grimoire adalah data.
Adalah partikel Tuhan. Aku membutuhnya dalam jumlah tertentu untuk membuat
koloni iblis.”
“Koloni?”
“Ya.
Kau kira dengan hanya dua orang aku dapat menggulingkan ribuan malaikat Tuhan?”
Gadis
berambut panjang menggaruk kepalanya. “Yhaa…, secara logika, sih, enggak.”
“Maka
dari itu, aku membutuhkan bantuan kalian untuk mengumpulkan data, lalu membuat
koloni baru. Bahkan jika perlu mereinkarnasi iblis kembali.”
Kucing
hitam itu melanjutkan, “Malaikat yang kalian bunuh sebenarnya aku simpan,
sewaktu-waktu pasti akan kita butuhkan.”
“Hah,
mereka ‘kan sudah mati?”
“Secara
logika, ya,” jawab si kucing hitam. “Tapi dengan kekuatanku, mereka akan
kujadikan tentara iblis, kubangkitkan mereka dengan mantera terlarang.”
Kedua
gadis itu menelan ludah, saling bertatap muka.
“Maksud
kamu, berarti saat mereka dibangkitkan, mereka menjadi akan bagian iblis?”
tanya gadis berambut pendek.
“Benar
sekali, Chika-ku sayang,” jawab sang kucing. “Karena gigitan kalian mempunyai
racun, menginfeksi lewat darah yang mengalir ke otak. Mematikan kerja pikiran,
dan merubah pola pikir suatu makhluk.”
“Selama
ini aku baru tahu,” kata gadis berambut panjang.
“Eh,
Ratih juga baru tahu, ya?”
“Maaf
aku tak memberi tahu kalian. Sebenarnya, ada banyak sekali hal yang belum aku
sampaikan, namun aku kujelaskan jika waktunya tepat seperti sekarang ini.”
Kedua
gadis itu mengangguk.
“Sekarang
beristirahatlah karena besok kalian harus pergi ke tempat yang bernama
‘sekolah’ itu. Benar-benar kalian manusia terjebak dalam kehidupan yang
membosankan.”
Setelah
berkata demikian, kucing hitam itu pergi duluan dan naik ke atas kasur. Dia
menggulung dirinya bersama selimut dan memejamkan mata.
Ratih
berdiri dari duduknya. “Malam ini cukup ya, Chika. Gue balik ke kamar.”
Lampu
dinyalakan bersamaan dengan Ratih yang meraih gagang pintu.
“Goodnite!”
Suara
pintu ditutup terdengar, Ratih telah pergi dari ruangan ini.
0 komentar:
Posting Komentar