Selamat datang di blog kepenulisan. Silakan menimba ilmu di sini dan jangan copy-paste.

"Keep writing and play your imagination" Yudha Pasca

Join Us On : LightNovel.ID


Minggu, 10 September 2017

The Codex of Lucifer: Chapter 08 - Three On Three







'Three On Three'


Tiga iblis di depan mata Raguel telah siap merenggut nyawanya. Di saat genting seperti ini, bahkan meminta bantuan pada Tuhan pun mustahil. Raguel telah mengkontak Metatron, Michael, Gabriel, Raphael, Uriel, atau malaikat manapun yang dirasa dapat menyeimbangi kekuatan mereka bertiga. Namun sudah lima menit berlalu, semua malaikat yang dihubungi lewat telepati tak kunjung menjawab.

Raguel menggenggam erat pedang gergajinya, hanya senjata ini yang mungkin dapat menolong, tapi dia berharap siapa saja dapat datang membantunya. Minimal mengulur waktu selama mungkin hingga salah satu dari mereka datang. Saat ini gelisah menghantuinya, bahkan kemungkinan hanya 1% keajaiban akan datang.

“He-hahaha!” Sam, iblis menyerupai kadal merah bersayap ini menatap Raguel penuh kemenangan. Secara logika Raguel akan mati di sini karena kalah jumlah, lalu keuntungannya adalah dia bisa memakai jasad Raguel sebagai tentara iblis dengan mencuci otaknya setelah dihidupkan kembali. Seringai itu seakan memojokkan Raguel, mengintimadasi malaikat yang sebentar lagi akan ia cabut nyawanya.

Di belakang Sam juga ada Chika dengan pedang besarnya yang ia topang pada pundak, sudah siap untuk memotong tubuh Raguel menjadi dua bagian simetris, dan Ratih yang tengah mengacungkan mata sabitnya lurus pada bola mata Raguel di depan sana. Mereka berdua telah siap membantu Sam untuk mengusir hama surga ini, musnah menjadi butir-butir cahaya.

Namun di samping itu semua Sam curiga, sadarkah kalian ke manakah perginya malaikat pembawa grimoire? Mereka seketika menghilang. Tiap detik atas perintah Tuhan seharusnya mereka turun membagikan grimoire itu pada para manusia yang membutuhkan, tapi sekarang tak ada satupun yang terlihat sejauh mata memandang. Sangat ganjil.

Sam menggelengkan kepala. Bukan saatnya berpikir seperti itu. Prioritasnya adalah membunuh malaikat yang penuh percaya diri di depan sana, yang dari kejauhan dia sudah bersiap melancarkan serangannya.

Mengambil kuda-kuda, dengan sisa semangat berharap pada keberuntungan, di tengah derasnya hujan Raguel pun segera melesat terbang menuju ketiga iblis itu, berniat menghabisi mereka sekaligus. “Hyaa!”

“Dia gila,” batin Sam terkejut. Melihat Raguel telah bergerak, pedang lava pun digenggamnya erat, memancarkan aura merah menyala, dan Sam pun lekas terbang lurus menjawab serangan Raguel.

Semakin dekat, semakin dekat, dan kedua pedang itu beradu kembali, membuat sedikit hempasan angin saat bilah mereka saling berbenturan. Otot-otot lengan mengeras, menjadi tumpu pada dorongan pedang. Sama-sama egois tak mau mengalah, mata mereka saling mengutuk satu sama lain.

Imbang. Lalu keduanya mendorong tubuh ke belakang, mengambil sedikit jarak.

Di sisi lain pada waktu yang sama, dua puluh meter di samping kiri Raguel sudah ada Ratih yang tengah mengangkat tinggi-tinggi sabitnya. Petir-petir hitam gila menyambar, berkumpul pada mata sabit, menari membentuk sebuah bola yang seukuran dengan tubuhnya. Lalu bola-bola petir itu meluncur bersamaan dengan sabit yang diayunkan.

Raguel yang mengetahui pergerakan Ratih segera mengayunkan tangan kirinya, dan seketika tameng salib terbentuk tepat di depan wajah. Waktu pemunculan yang sangat tepat, bola-bola petir itu pun hancur saat menabrak tameng Raguel. Serangan yang sia-sia, batinnya.

Namun tidak cukup sampai di situ, sedetik kemudian ujung bola mata kanan Raguel menangkap sebuah bayang ancaman. Yakni Chika yang mencoba terbang mendekat dengan sepasang sayap hitamnya.

Pedang besar yang Chika genggam terlihat diselimuti aura hitam, menambah efek daya hancur pada saat kekuatan itu dilepas. Raguel tak punya waktu banyak untuk menghindar, dengan memaksakan diri, dia pun mengayunkan pedang gergajinya itu, berniat membenturkannya dengan pedang Chika.

Chika mendorong pedangnya kuat-kuat saat beradu dengan mata gergaji-gergaji itu. Ledakan hitam pun tercipta bersamaan dengan tubuh Raguel yang terhempas jatuh ke bumi. Dia kalah beradu waktu, Chika unggul dalam mengambil momen.

Raguel yang tak terima segera sadar, dan kembali melayang di udara dengan sayap-sayapnya. Matanya itu menatap tajam pada Chika yang menjadi sasaran utama, gadis setengah iblis itu dengan santai mengepakkan sayap hitamnya dengan pedang tertopang pada bahu, melihat Raguel layaknya seperti lalat kecil.

“Cih! Kurang ajar!” Pedang gergaji digenggamnya lagi, lalu terbang membalaskan dendam. Pada tiap mata gergaji menyalalah api merah, kemudian bersatu membuat api besar.

Chika yang melihat datangnya Raguel kembali mengumpulkan energi negatif yang menyelimuti pedang. Setelah terkumpul cukup banyak, ia pun segera terbang meladeni amarah Raguel.

Kedua pedang itu beradu kembali, menciptakan gelombang angin yang mengibaskan rambut-rambut mereka.

Dari arah jam tujuh, Ratih sedang dalam perjalanan mendekat. Mata sabit itu berkilau terkena pantulan sinar rembulan. Melihat Raguel yang tengah sibuk beradu pedang dengan Chika, Ratih pun segera menyerang Raguel dari belakang dengan mengayunkan sabitnya.

“Ergh! Kurang ajar!” geram Raguel. Dia yang menyadari kedatangan Ratih segera melepas kuda-kuda, dan mendorong tubuhnya terbang mundur.

Serangan Ratih gagal menyayat Raguel. Tapi sayang Raguel lupa akan kehadiran momok iblis yang rupanya sudah terbang melayang di belakangnya.

Sam dengan pedang lavanya segera menebas Raguel yang sedang lengah. Namun dengan susah payah Raguel pun menghindar. Gerakan yang gesit hingga tebasan Sam itu meleset tak menggores punggungnya.

“Argh!” Raguel memekik saat menyadari tebasan Sam hanya sebuah pengalihan, dan serangan sebenarnya adalah dari ekor.

Sam menggunakan ekornya, dan berhasil merobek kulit lengan kiri Raguel. Ekor Sam terlihat tajam karena bersisik, namun selain tajam ekonya juga memiliki racun yang mematikan.

Samael dikenal sebagai rajanya racun. Sekali saja makhluk hidup menghirup, menyentuh, atau dengan bodoh menelan racun Samael, maka kemungkinan dia hidup bahkan di bawah nol koma satu persen.

Raguel menopang tangan kirinya dengan bagian tumpul pedang gergaji. Dia tahu betapa mematikannya racun Samael karena ribuan malaikat pernah dibuat mati hanya dengan satu embusan napas. Dirinya dibuat makin putus asa, dan makin gelisah tentang kematian yang kian mendekat.

Pekik tawa terdengar dari ketiga iblis tersebut. Kemenangan sudah di depan mata. Sudah tidak ada jalan bagi Raguel untuk menyelamatkan diri, karena tiap detik racun itu merambat menusuk sistem syaraf dan otot.

Raguel menggertakkan gigi, dia benar-benar tahu posisinya berada, yakni dekat dengan kematian. Namun jika menunggu mati itu adalah kesalah besar seorang ksatria, dia tidak mau mati sebagai pecundang karena tidak melawan.

Kulit pada tangan kiri telah membiru, perlahan menjalar ke jari dan juga bahu. Tangan kirinya sudah mati rasa, dan otot-ototnya sudah tak bisa digerakkan. Pada umumnya malaikat diberi kekuatan regenerasi tubuh sesaat Tuhan telah menciptakan mereka, namun kekuatan yang Raguel miliki sangatlah rendah dibanding racun Sam yang sangat kuat.

Hanya tangan kanan yang dapat digerakkan, mengayunkan pedang besarnya pun tak semaksimal dengan dua tangan. Dia menepis pikiran itu, dan kembali menyerang tiga musuhnya yang sedang memasang wajah-wajah tertawa.

Tebasan pertama tak mampu mengenai Sam, terkesan sangat lamban. Raguel yang tak menyerah terus melancarkan serangannya sembari menahan sakit atas racun yang terus menjalar ke seluruh tubuh. Napasnya memburu, racunnya seperti sudah mencekik paru-paru dan kerongkongan.

Chika dari belakang pun ikut menyerang dengan pedangnya, namun itu berhasil dihalau Raguel dengan susah payah.

“Dasar bodoh!” Serangan sebelumnya hanya sebuah pengalihan. Di samping itu Ratih telah siap dengan bola petir hitamnya yang sedang menari-nari indah. Dan dengan satu ayunan, bola-bola petir pun disambarkannya pada Raguel.

“Aaargh!” Raguel tersengat hebat, tak mampu menghindar. Dia menggelinjang, sekujur tubuhnya serasa ditusuk oleh ratusan duri-duri panas yang panjang. Beberapa bulu pada sayap-sayapnya menghitam terbakar, pakaiannya pun sobek dan lusuh. Dia terengah-engah, menjadi budak mainan iblis.

Napasnya terpingkal-pingkal, bahkan dia merasa temannya, si malaikat maut telah berada di samping dan akan mengajaknya ngobrol sebentar untuk negosisasi berapa sisa umurnya.

Di situasi yang makin memburuk ini, dari atas gelapnya awan yang meneteskan derasnya hujan, tiba-tiba turunlah sebuah pilar dari surga menuju bumi. Pilar besar itu seketika memecahkan segel Samael, menghancurkan berkeping-keping tenda kaca yang menghalau pengelihatan Tuhan. Cahaya pilar itu terang, menyilaukan mata Sam, Chika, Ratih, dan Raguel yang sedang bertarung.

Setelah cahaya itu padam, mata Sam pun terkejut melihat dua sosok makhluk yang terbang melayang di depan Raguel.

Seakan musik rohani bergema. Dialah malaikat berjubah hijau dengan rambut keriting gondrong berwarna perak. Raphael. Dengan tangan kanan dia menodongkan tongkat emas dengan bola mustika hijau pada ujungnya, lurus searah dengan Samael melayang.

Dan satu temannya dialah malaikat berjubah ungu dengan rambut keriting pendek berwarna hitam. Uriel. Dipangkunya sebuah pedang besar dengan kobaran api menyelimutinya, dia menatap tajam pada Samael yang dikiranya sudah mati pada ribuan tahun lalu, juga pada dua jelmaan iblis dari hasil eksperimen Rofocale.

“K-kalian berdua…, ke-kenapa bisa ada di sini?” Raguel bertanya dengan meringis kesakitan. Tak terasa sekujur dada dan kaki kiri telah membiru, membuat kaku tubuhnya untuk bergerak dan berbicara.

“Tenang saja,” jawab Uriel mencoba menenangkannya. “Kami yang akan membereskan sisanya.”

“Tch, kau kira aku hanya akan diam saja, huh?” balas Raguel.

Raphael, malaikat berjubah hijau itu terbang ke belakang Raguel. Dia mengangkat tinggi tongkatnya, dan aura hijau pun tercipta membentuk menyerupai bola. Tak lama kemudian, aura hijau itu menyelimuti tubuh Raguel.

“Kurang ajar!” teriak Sam dari jauh. Dan bersamaan dengan itu, Uriel pun menodongkan pedang apinya, membaralah api besar seperti ledakan, membuat kode agar Sam dan kedua iblisnya tidak boleh mendekat.

Kekuatan khusus yang Tuhan berikan pada Raphael adalah penyembuhan luka fisik maupun luka dalam secara cepat. Hanya dalam beberapa detik, luka sayat pada lengan kiri Raguel sembuh, kulit itu terlahir baru dengan darah yang perlahan mengering. Racun maut perlahan terangkat, dan berhenti menjalar ke seluruh tubuh Raguel.

Batin Raguel merasa lega, jika Raphael tidak datang kemari dalam waktu yang pas, mungkin dirinya akan mati konyol di tangan Samael.

“Bagaimana kalian dapat menemuiku?” tanya Raguel heran. “Kau tahu, segel yang Samael buat bahkan mengalihkan mata Tuhan.”

Sembari terus mengeluarkan aura hijau penyembuhan, Raphael menjawab, “Metatron curiga mengapa malaikat yang turun membawa grimoire tidak kunjung kembali ke surga. Dan kau tahu, akhir-akhir ini ada hama di bumi yang mencoba mencuri grimoire. Lalu aku dan Uriel berinisiatif datang turun kemari, tepat pada lokasi malaikat yang Tuhan perintahkan turun ke bumi, yang tak kunjung kembali ke surga. Cukup masuk akal, bukan? Sangat mudah mencari di mana dirimu hilang.”

“Jadi karena itulah Metatron menarik mundur malaikat yang membawa grimore ke daerah ini,” tambah Uriel, masih mengobarkan api besarnya pada Samael. “Saat ditarik mundurnya malaikat yang hendak turun kecurigaan pun kian meningkat di daerah ini, lalu kami pun turun ke bumi.”

Walau Sam memakai segel ini, rupanya malaikat terlalu pintar untuk membaca gerakannya. Atas tindakan ini, Sam malah mengundang dua malaikat besar turun ke bumi.

“Kau hanya mengacaukan saja, Raphael, Uriel!” teriak Sam. “Maka kami pun harus membunuh kalian bertiga!”

Penyembuhan selesai dilakukan, kini Raguel telah pulih sediakala, bahkan bulu pada sayap telah kembali putih dari noda hitam sebelumnya. Sekarang tiga malaikat ini siap bertarung melawan tiga iblis di depannya.

“Aku akan menghadapi Samael,” ujar Raphael. “Uriel, kau habisi iblis dengan sabit itu, dan Raguel yang akan mengurus iblis dengan pedang besar di sana.”

Lalu keduanya mengangguk setuju. Sedetik kemudian, mereka bertiga terbang ke arah target masing-masing.

Raphael melesat cepat dengan sepasang sayap putihnya, menatap Samael yang juga sedang terbang menuju ke arahnya dengan pedang lava yang digenggam erat.

Dan kedua senjata mereka pun saling beradu.

Menyimpan dendam pada bola mata, Sam tak mau kalah dengan makin kuat mendorong pedangnya. Tekanan yang dihadapi Raphael sangat kuat, karena memang tongkat tak sepadan dengan tajamnya mata pedang.

Mengambil inisiatif, Raphael pun menarik mundur dirinya. Dengan waktu sebagai senjata, dengan cepat dia menciptakan enam bola angin berwarna hijau, lalu dia lemparkan semuanya dalam satu hentakan.

Sam yang melihat datangnya serangan Raphael segera menghindar, membuat bola-bola angin itu melaju bebas lepas sasaran. “Percuma!”

Setelahnya, Sam pun kembali terbang melancarkan serangan jarak dekat. Pedang lavanya itu menyala merah tua, berkobar haus akan darah.

Raphael tahu bahwa serangan jarak dekat buka tipe bertarungnya, namun daripada Uriel dan Raguel, dirinyalah yang patut melawan Samael, karena jika Raphael terkena racun, tubuhnya dapat dengan cepat beregenerasi dan mengangkat racun tersebut.

Digenggamnya tongkat emas itu, lalu Raphael pun menghantamkannya dengan pedang Samael yang menyala merah. Dua elemen pun beradu, menciptakan hempasan ombak energi menyerupai bola dengan mereka berdua yang berada di dalamnya.

Lagi-lagi kekuatan mereka imbang, dan Raphael duluanlah yang menarik mundur tongkatnya.

Kembali Raphael menciptakan elemen angin, kali ini dalam bentuk tornado besar setinggi gedung. Angin ribut itu tercipta hanya dalam kedipan mata, yang lalu segera dilancarkan pada Samael. “Terima ini!”

Melihat tornado sebesar itu membuat mata Sam terbelalak, dia bingung bagaimana cara menghindarinya. Dia ingat ada sebuah sihir yang mampu menetralisir seluruh elemen, dan akhirnya Sam pun mengeluarkan lingkaran sihir dari tangan kirinya.

“Terhisaplah! Lubang hitam!”

Saat Sam mengayunkan tangan kirinya, sebuah lingkaran sihir besar berwarna ungu tercipta. Sebuah lubang gelap, dia menghisap seluruh tornado besar yang Raphael buat, dan mengirimnya ke dimensi lain dalam lubang hitam. Sihir yang Samael keluarkan bukan sihir sembarangan, yakni sihir yang tentu memakan energi banyak hingga tangan kiri Samael bergetar saat tornado Raphael sedikit demi sedikit terhisap masuk ke dalam lingkaran sihir, dan angin ribut itu berangsur hilang dari pandangannya.

Sam kewalahan, napasnya memburu. Tak disangka Raphael tak main-main melawannya, padahal belum ada sepuluh menit dia turun ke bumi.

“Kau kuat juga, Samael,” puji Raphael. “Tapi seberapa besar staminamu mengeluarkan sihir itu lagi jika aku mengeluarkan ratusan tornado dalam sekali tiup?”

Sam menggeram kesal. Salah satu cara membuat diam Raphael adalah tak memberinya jarak dan waktu, yakni melakukan pertarungan jarak dekat agar dia sibuk. Pedang yang Sam punya unggul dalam hal ini.

Segeralah tanpa membuang waktu, Sam terbang dengan sayap-sayap rontoknya. Pedang lava menyala lagi berselimut dendam, dan kembali dibenturkan dengan tongkat emas Raphael yang berselimut aura hijau.

Keduanya saling mendorong tak mau kalah, mata mereka saling menatap tajam satu sama lain.

Di saat yang sama, Ratih berdansa dengan sabitnya meladeni Uriel yang menyerang dengan tebasan pedang api. Puluhan kali senjata mereka saling berbenturan di udara, menciptakan percikan api dan petir yang keluar bersamaan.

Dengan pedangnya Uriel menciptakan bola-bola api, dan Ratih mempersiapkan petir-petir hitam saat sabitnya ia acungkan menantang langit. Lalu kedua energi mereka pun beradu saat dihempaskan.

Tak ada yang menang, tak ada yang kalah, kekuatan mereka meledak saat bertemu. Hanya kepulan asap hitamlah yang tersisa. Ratih masih berdiri tegak, sama halnya dengan Uriel dengan pedang apinya yang masih terus membara.

Dan lagi, Ratih kembali terbang melayangkan sabitnya, melakukan serangan jarak dekat. Melihat datangnya lawan, Uriel pun menjawab tantangan Ratih.

“Ternyata malaikat itu tampan-tampan, ya,” goda Ratih, matanya itu dengan nakal berkedip pada Uriel. “Boleh aku memacarimu?”

“Teruslah bermimpi, dasar jalang!”

Keduanya pun saling menarik senjata saat dialog tersebut berakhir.

Beranjak ke tempat lain. Jauh beratus-ratus kilometer, Chika dengan pedang besarnya sedang menangkis serangan Raguel. Balas dendam terus dilancarkan dengan ayunan lihai pedang gergajinya yang menyala merah.

Chika geram, dirinya tak boleh kalah. Saat mendapat jarak di mana dirinya menarik mundur terbang ke belakang, dia mengumpulkan aura hitam yang menyelimuti pedangnya.

Dengan satu tebasan sekuat tenaga, aura hitam itu berubah menjadi pisau-pisau angin yang jumlahnya puluhan, melesat cepat menuju Raguel.

Pisau-pisau angin hitam itu terbang secara acak. Ada yang terbang lurus, berputar spiral, maupun yang berliku ke kiri dan kanan. Mereka lalu datang dari segala arah dan mengepung Raguel.

Tak ada pertahanan selain ini, Raguel pun mengangkat tangan kirinya ke langit. Seketika itu dengan izin Tuhan, muncullah sebuah bola cahaya emas menyelimuti dirinya dengan Raguel yang berada di dalam. Saat pisau-pisau angin itu menabrak pertahanan Raguel, pisau-pisau angin itu pun musnah.

Tak cukup sampai di situ, Chika kembali melesat melancarkan serangan jarak dekat, bersamaan dengan Raguel yang menghilangkan tamengnya, dan meladeni serangan yang Chika berikan.

Pedang mereka beradu kembali.

Tiga melawan tiga. Mereka semua satu sama lain imbang, masih belum terlihat siapa pemenangnya.

Sementara itu di lain tempat, pada balkon apartemen yang dirintiki air hujan. Rofocale melihat pertarungan tiga anak buahnya dari jauh dengan mata iblis, menerawang hingga ratusan kilometer jauhnya yang dapat terlihat jelas hingga detail.

Musik kematian bergeming di telinga, bersamaan dengan suara petir yang menyambar bumi, membuat dentuman yang dapat terdengar ke seluruh penjuru Jakarta. Dengan kaki hitam telanjang bercakar tajam, sesosok makhluk telah berdiri pada pagar balkon apartemen, dekat dengan Rofocale yang sedang memantau pertarungan.

“Kau kemari, Belial.”

Makhluk bertubuh manusia itu menyinggung senyum pada wajah, menampakkan taring-taring tajam yang dimiliki. Dia juga sedang asyik menyaksikan pertunjukkan yang sedang berlangsung. Sepasang sayap hitamnya tertekuk santai, pedang tipisnya juga tersarung pada pinggang.

“Dua dari mereka telah turun. Darahnya mungkin akan sangat manis,” batin Belial, dia menjilat atap bibirnya dengan lidah. “Boleh aku main ke sana?”

“Mau apa?”

“Pamer kekuatan.”

“Meh…” Rofocale menghela napas saat mendengar jawaban teman lamanya. “Terserah kau saja.”


Setelah mendapat izin, Belial merenggangkan sepasang sayap hitamnya, sangat lebar jika disatukan hingga sepanjang lima belas meter. Dan segeralah dengan kecepatan penuh dia menghampiri medan pertempuran di sana.

0 komentar:

Posting Komentar