The Codex of Lucifer: Chapter 08 - Three On Three
'Three On Three'
Tiga iblis di depan mata Raguel telah siap merenggut
nyawanya. Di saat genting seperti ini, bahkan meminta bantuan pada Tuhan pun
mustahil. Raguel telah mengkontak Metatron, Michael, Gabriel, Raphael, Uriel,
atau malaikat manapun yang dirasa dapat menyeimbangi kekuatan mereka bertiga.
Namun sudah lima menit berlalu, semua malaikat yang dihubungi lewat telepati
tak kunjung menjawab.
Raguel menggenggam erat pedang gergajinya, hanya
senjata ini yang mungkin dapat menolong, tapi dia berharap siapa saja dapat datang
membantunya. Minimal mengulur waktu selama mungkin hingga salah satu dari
mereka datang. Saat ini gelisah menghantuinya, bahkan kemungkinan hanya 1%
keajaiban akan datang.
“He-hahaha!” Sam, iblis menyerupai kadal merah
bersayap ini menatap Raguel penuh kemenangan. Secara logika Raguel akan mati di
sini karena kalah jumlah, lalu keuntungannya adalah dia bisa memakai jasad
Raguel sebagai tentara iblis dengan mencuci otaknya setelah dihidupkan kembali.
Seringai itu seakan memojokkan Raguel, mengintimadasi malaikat yang sebentar
lagi akan ia cabut nyawanya.
Di belakang Sam juga ada Chika dengan pedang besarnya
yang ia topang pada pundak, sudah siap untuk memotong tubuh Raguel menjadi dua
bagian simetris, dan Ratih yang tengah mengacungkan mata sabitnya lurus pada
bola mata Raguel di depan sana. Mereka berdua telah siap membantu Sam untuk
mengusir hama surga ini, musnah menjadi butir-butir cahaya.
Namun di samping itu semua Sam curiga, sadarkah kalian
ke manakah perginya malaikat pembawa grimoire? Mereka seketika menghilang. Tiap
detik atas perintah Tuhan seharusnya mereka turun membagikan grimoire itu pada
para manusia yang membutuhkan, tapi sekarang tak ada satupun yang terlihat
sejauh mata memandang. Sangat ganjil.
Sam menggelengkan kepala. Bukan saatnya berpikir
seperti itu. Prioritasnya adalah membunuh malaikat yang penuh percaya diri di
depan sana, yang dari kejauhan dia sudah bersiap melancarkan serangannya.
Mengambil kuda-kuda, dengan sisa semangat berharap
pada keberuntungan, di tengah derasnya hujan Raguel pun segera melesat terbang
menuju ketiga iblis itu, berniat menghabisi mereka sekaligus. “Hyaa!”
“Dia gila,” batin Sam terkejut. Melihat Raguel telah
bergerak, pedang lava pun digenggamnya erat, memancarkan aura merah menyala,
dan Sam pun lekas terbang lurus menjawab serangan Raguel.
Semakin dekat, semakin dekat, dan kedua pedang itu
beradu kembali, membuat sedikit hempasan angin saat bilah mereka saling
berbenturan. Otot-otot lengan mengeras, menjadi tumpu pada dorongan pedang.
Sama-sama egois tak mau mengalah, mata mereka saling mengutuk satu sama lain.
Imbang. Lalu keduanya mendorong tubuh ke belakang,
mengambil sedikit jarak.
Di sisi lain pada waktu yang sama, dua puluh meter di
samping kiri Raguel sudah ada Ratih yang tengah mengangkat tinggi-tinggi
sabitnya. Petir-petir hitam gila menyambar, berkumpul pada mata sabit, menari
membentuk sebuah bola yang seukuran dengan tubuhnya. Lalu bola-bola petir itu
meluncur bersamaan dengan sabit yang diayunkan.
Raguel yang mengetahui pergerakan Ratih segera
mengayunkan tangan kirinya, dan seketika tameng salib terbentuk tepat di depan
wajah. Waktu pemunculan yang sangat tepat, bola-bola petir itu pun hancur saat
menabrak tameng Raguel. Serangan yang sia-sia, batinnya.
Namun tidak cukup sampai di situ, sedetik kemudian ujung
bola mata kanan Raguel menangkap sebuah bayang ancaman. Yakni Chika yang mencoba
terbang mendekat dengan sepasang sayap hitamnya.
Pedang besar yang Chika genggam terlihat diselimuti
aura hitam, menambah efek daya hancur pada saat kekuatan itu dilepas. Raguel
tak punya waktu banyak untuk menghindar, dengan memaksakan diri, dia pun
mengayunkan pedang gergajinya itu, berniat membenturkannya dengan pedang Chika.
Chika mendorong pedangnya kuat-kuat saat beradu dengan
mata gergaji-gergaji itu. Ledakan hitam pun tercipta bersamaan dengan tubuh
Raguel yang terhempas jatuh ke bumi. Dia kalah beradu waktu, Chika unggul dalam
mengambil momen.
Raguel yang tak terima segera sadar, dan kembali
melayang di udara dengan sayap-sayapnya. Matanya itu menatap tajam pada Chika
yang menjadi sasaran utama, gadis setengah iblis itu dengan santai mengepakkan
sayap hitamnya dengan pedang tertopang pada bahu, melihat Raguel layaknya
seperti lalat kecil.
“Cih! Kurang ajar!” Pedang gergaji digenggamnya lagi,
lalu terbang membalaskan dendam. Pada tiap mata gergaji menyalalah api merah,
kemudian bersatu membuat api besar.
Chika yang melihat datangnya Raguel kembali
mengumpulkan energi negatif yang menyelimuti pedang. Setelah terkumpul cukup
banyak, ia pun segera terbang meladeni amarah Raguel.
Kedua pedang itu beradu kembali, menciptakan gelombang
angin yang mengibaskan rambut-rambut mereka.
Dari arah jam tujuh, Ratih sedang dalam perjalanan
mendekat. Mata sabit itu berkilau terkena pantulan sinar rembulan. Melihat
Raguel yang tengah sibuk beradu pedang dengan Chika, Ratih pun segera menyerang
Raguel dari belakang dengan mengayunkan sabitnya.
“Ergh! Kurang ajar!” geram Raguel. Dia yang menyadari
kedatangan Ratih segera melepas kuda-kuda, dan mendorong tubuhnya terbang
mundur.
Serangan Ratih gagal menyayat Raguel. Tapi sayang
Raguel lupa akan kehadiran momok iblis yang rupanya sudah terbang melayang di
belakangnya.
Sam dengan pedang lavanya segera menebas Raguel yang
sedang lengah. Namun dengan susah payah Raguel pun menghindar. Gerakan yang
gesit hingga tebasan Sam itu meleset tak menggores punggungnya.
“Argh!” Raguel memekik saat menyadari tebasan Sam
hanya sebuah pengalihan, dan serangan sebenarnya adalah dari ekor.
Sam menggunakan ekornya, dan berhasil merobek kulit
lengan kiri Raguel. Ekor Sam terlihat tajam karena bersisik, namun selain tajam
ekonya juga memiliki racun yang mematikan.
Samael dikenal sebagai rajanya racun. Sekali saja makhluk
hidup menghirup, menyentuh, atau dengan bodoh menelan racun Samael, maka
kemungkinan dia hidup bahkan di bawah nol koma satu persen.
Raguel menopang tangan kirinya dengan bagian tumpul
pedang gergaji. Dia tahu betapa mematikannya racun Samael karena ribuan
malaikat pernah dibuat mati hanya dengan satu embusan napas. Dirinya dibuat
makin putus asa, dan makin gelisah tentang kematian yang kian mendekat.
Pekik tawa terdengar dari ketiga iblis tersebut.
Kemenangan sudah di depan mata. Sudah tidak ada jalan bagi Raguel untuk
menyelamatkan diri, karena tiap detik racun itu merambat menusuk sistem syaraf
dan otot.
Raguel menggertakkan gigi, dia benar-benar tahu
posisinya berada, yakni dekat dengan kematian. Namun jika menunggu mati itu
adalah kesalah besar seorang ksatria, dia tidak mau mati sebagai pecundang
karena tidak melawan.
Kulit pada tangan kiri telah membiru, perlahan
menjalar ke jari dan juga bahu. Tangan kirinya sudah mati rasa, dan
otot-ototnya sudah tak bisa digerakkan. Pada umumnya malaikat diberi kekuatan
regenerasi tubuh sesaat Tuhan telah menciptakan mereka, namun kekuatan yang
Raguel miliki sangatlah rendah dibanding racun Sam yang sangat kuat.
Hanya tangan kanan yang dapat digerakkan, mengayunkan
pedang besarnya pun tak semaksimal dengan dua tangan. Dia menepis pikiran itu,
dan kembali menyerang tiga musuhnya yang sedang memasang wajah-wajah tertawa.
Tebasan pertama tak mampu mengenai Sam, terkesan
sangat lamban. Raguel yang tak menyerah terus melancarkan serangannya sembari
menahan sakit atas racun yang terus menjalar ke seluruh tubuh. Napasnya
memburu, racunnya seperti sudah mencekik paru-paru dan kerongkongan.
Chika dari belakang pun ikut menyerang dengan
pedangnya, namun itu berhasil dihalau Raguel dengan susah payah.
“Dasar bodoh!” Serangan sebelumnya hanya sebuah
pengalihan. Di samping itu Ratih telah siap dengan bola petir hitamnya yang
sedang menari-nari indah. Dan dengan satu ayunan, bola-bola petir pun disambarkannya
pada Raguel.
“Aaargh!” Raguel tersengat hebat, tak mampu
menghindar. Dia menggelinjang, sekujur tubuhnya serasa ditusuk oleh ratusan duri-duri
panas yang panjang. Beberapa bulu pada sayap-sayapnya menghitam terbakar,
pakaiannya pun sobek dan lusuh. Dia terengah-engah, menjadi budak mainan iblis.
Napasnya terpingkal-pingkal, bahkan dia merasa
temannya, si malaikat maut telah berada di samping dan akan mengajaknya ngobrol
sebentar untuk negosisasi berapa sisa umurnya.
Di situasi yang makin memburuk ini, dari atas gelapnya
awan yang meneteskan derasnya hujan, tiba-tiba turunlah sebuah pilar dari surga
menuju bumi. Pilar besar itu seketika memecahkan segel Samael, menghancurkan berkeping-keping
tenda kaca yang menghalau pengelihatan Tuhan. Cahaya pilar itu terang,
menyilaukan mata Sam, Chika, Ratih, dan Raguel yang sedang bertarung.
Setelah cahaya itu padam, mata Sam pun terkejut
melihat dua sosok makhluk yang terbang melayang di depan Raguel.
Seakan musik rohani bergema. Dialah malaikat berjubah
hijau dengan rambut keriting gondrong berwarna perak. Raphael. Dengan tangan
kanan dia menodongkan tongkat emas dengan bola mustika hijau pada ujungnya, lurus
searah dengan Samael melayang.
Dan satu temannya dialah malaikat berjubah ungu dengan
rambut keriting pendek berwarna hitam. Uriel. Dipangkunya sebuah pedang besar
dengan kobaran api menyelimutinya, dia menatap tajam pada Samael yang dikiranya
sudah mati pada ribuan tahun lalu, juga pada dua jelmaan iblis dari hasil
eksperimen Rofocale.
“K-kalian berdua…, ke-kenapa bisa ada di sini?” Raguel
bertanya dengan meringis kesakitan. Tak terasa sekujur dada dan kaki kiri telah
membiru, membuat kaku tubuhnya untuk bergerak dan berbicara.
“Tenang saja,” jawab Uriel mencoba menenangkannya.
“Kami yang akan membereskan sisanya.”
“Tch, kau kira aku hanya akan diam saja, huh?” balas
Raguel.
Raphael, malaikat berjubah hijau itu terbang ke
belakang Raguel. Dia mengangkat tinggi tongkatnya, dan aura hijau pun tercipta
membentuk menyerupai bola. Tak lama kemudian, aura hijau itu menyelimuti tubuh
Raguel.
“Kurang ajar!” teriak Sam dari jauh. Dan bersamaan
dengan itu, Uriel pun menodongkan pedang apinya, membaralah api besar seperti
ledakan, membuat kode agar Sam dan kedua iblisnya tidak boleh mendekat.
Kekuatan khusus yang Tuhan berikan pada Raphael adalah
penyembuhan luka fisik maupun luka dalam secara cepat. Hanya dalam beberapa
detik, luka sayat pada lengan kiri Raguel sembuh, kulit itu terlahir baru
dengan darah yang perlahan mengering. Racun maut perlahan terangkat, dan
berhenti menjalar ke seluruh tubuh Raguel.
Batin Raguel merasa lega, jika Raphael tidak datang
kemari dalam waktu yang pas, mungkin dirinya akan mati konyol di tangan Samael.
“Bagaimana kalian dapat menemuiku?” tanya Raguel
heran. “Kau tahu, segel yang Samael buat bahkan mengalihkan mata Tuhan.”
Sembari terus mengeluarkan aura hijau penyembuhan,
Raphael menjawab, “Metatron curiga mengapa malaikat yang turun membawa grimoire
tidak kunjung kembali ke surga. Dan kau tahu, akhir-akhir ini ada hama di bumi
yang mencoba mencuri grimoire. Lalu aku dan Uriel berinisiatif datang turun
kemari, tepat pada lokasi malaikat yang Tuhan perintahkan turun ke bumi, yang
tak kunjung kembali ke surga. Cukup masuk akal, bukan? Sangat mudah mencari di
mana dirimu hilang.”
“Jadi karena itulah Metatron menarik mundur malaikat
yang membawa grimore ke daerah ini,” tambah Uriel, masih mengobarkan api
besarnya pada Samael. “Saat ditarik mundurnya malaikat yang hendak turun
kecurigaan pun kian meningkat di daerah ini, lalu kami pun turun ke bumi.”
Walau Sam memakai segel ini, rupanya malaikat terlalu
pintar untuk membaca gerakannya. Atas tindakan ini, Sam malah mengundang dua
malaikat besar turun ke bumi.
“Kau hanya mengacaukan saja, Raphael, Uriel!” teriak
Sam. “Maka kami pun harus membunuh kalian bertiga!”
Penyembuhan selesai dilakukan, kini Raguel telah pulih
sediakala, bahkan bulu pada sayap telah kembali putih dari noda hitam
sebelumnya. Sekarang tiga malaikat ini siap bertarung melawan tiga iblis di
depannya.
“Aku akan menghadapi Samael,” ujar Raphael. “Uriel,
kau habisi iblis dengan sabit itu, dan Raguel yang akan mengurus iblis dengan
pedang besar di sana.”
Lalu keduanya mengangguk setuju. Sedetik kemudian,
mereka bertiga terbang ke arah target masing-masing.
Raphael melesat cepat dengan sepasang sayap putihnya,
menatap Samael yang juga sedang terbang menuju ke arahnya dengan pedang lava
yang digenggam erat.
Dan kedua senjata mereka pun saling beradu.
Menyimpan dendam pada bola mata, Sam tak mau kalah
dengan makin kuat mendorong pedangnya. Tekanan yang dihadapi Raphael sangat
kuat, karena memang tongkat tak sepadan dengan tajamnya mata pedang.
Mengambil inisiatif, Raphael pun menarik mundur
dirinya. Dengan waktu sebagai senjata, dengan cepat dia menciptakan enam bola
angin berwarna hijau, lalu dia lemparkan semuanya dalam satu hentakan.
Sam yang melihat datangnya serangan Raphael segera
menghindar, membuat bola-bola angin itu melaju bebas lepas sasaran. “Percuma!”
Setelahnya, Sam pun kembali terbang melancarkan serangan
jarak dekat. Pedang lavanya itu menyala merah tua, berkobar haus akan darah.
Raphael tahu bahwa serangan jarak dekat buka tipe
bertarungnya, namun daripada Uriel dan Raguel, dirinyalah yang patut melawan
Samael, karena jika Raphael terkena racun, tubuhnya dapat dengan cepat
beregenerasi dan mengangkat racun tersebut.
Digenggamnya tongkat emas itu, lalu Raphael pun
menghantamkannya dengan pedang Samael yang menyala merah. Dua elemen pun
beradu, menciptakan hempasan ombak energi menyerupai bola dengan mereka berdua
yang berada di dalamnya.
Lagi-lagi kekuatan mereka imbang, dan Raphael
duluanlah yang menarik mundur tongkatnya.
Kembali Raphael menciptakan elemen angin, kali ini
dalam bentuk tornado besar setinggi gedung. Angin ribut itu tercipta hanya dalam
kedipan mata, yang lalu segera dilancarkan pada Samael. “Terima ini!”
Melihat tornado sebesar itu membuat mata Sam
terbelalak, dia bingung bagaimana cara menghindarinya. Dia ingat ada sebuah
sihir yang mampu menetralisir seluruh elemen, dan akhirnya Sam pun mengeluarkan
lingkaran sihir dari tangan kirinya.
“Terhisaplah! Lubang hitam!”
Saat Sam mengayunkan tangan kirinya, sebuah lingkaran
sihir besar berwarna ungu tercipta. Sebuah lubang gelap, dia menghisap seluruh
tornado besar yang Raphael buat, dan mengirimnya ke dimensi lain dalam lubang
hitam. Sihir yang Samael keluarkan bukan sihir sembarangan, yakni sihir yang
tentu memakan energi banyak hingga tangan kiri Samael bergetar saat tornado
Raphael sedikit demi sedikit terhisap masuk ke dalam lingkaran sihir, dan angin
ribut itu berangsur hilang dari pandangannya.
Sam kewalahan, napasnya memburu. Tak disangka Raphael
tak main-main melawannya, padahal belum ada sepuluh menit dia turun ke bumi.
“Kau kuat juga, Samael,” puji Raphael. “Tapi seberapa
besar staminamu mengeluarkan sihir itu lagi jika aku mengeluarkan ratusan
tornado dalam sekali tiup?”
Sam menggeram kesal. Salah satu cara membuat diam
Raphael adalah tak memberinya jarak dan waktu, yakni melakukan pertarungan
jarak dekat agar dia sibuk. Pedang yang Sam punya unggul dalam hal ini.
Segeralah tanpa membuang waktu, Sam terbang dengan
sayap-sayap rontoknya. Pedang lava menyala lagi berselimut dendam, dan kembali
dibenturkan dengan tongkat emas Raphael yang berselimut aura hijau.
Keduanya saling mendorong tak mau kalah, mata mereka
saling menatap tajam satu sama lain.
Di saat yang sama, Ratih berdansa dengan sabitnya meladeni
Uriel yang menyerang dengan tebasan pedang api. Puluhan kali senjata mereka
saling berbenturan di udara, menciptakan percikan api dan petir yang keluar
bersamaan.
Dengan pedangnya Uriel menciptakan bola-bola api, dan
Ratih mempersiapkan petir-petir hitam saat sabitnya ia acungkan menantang
langit. Lalu kedua energi mereka pun beradu saat dihempaskan.
Tak ada yang menang, tak ada yang kalah, kekuatan
mereka meledak saat bertemu. Hanya kepulan asap hitamlah yang tersisa. Ratih
masih berdiri tegak, sama halnya dengan Uriel dengan pedang apinya yang masih
terus membara.
Dan lagi, Ratih kembali terbang melayangkan sabitnya,
melakukan serangan jarak dekat. Melihat datangnya lawan, Uriel pun menjawab
tantangan Ratih.
“Ternyata malaikat itu tampan-tampan, ya,” goda Ratih,
matanya itu dengan nakal berkedip pada Uriel. “Boleh aku memacarimu?”
“Teruslah bermimpi, dasar jalang!”
Keduanya pun saling menarik senjata saat dialog
tersebut berakhir.
Beranjak ke tempat lain. Jauh beratus-ratus kilometer,
Chika dengan pedang besarnya sedang menangkis serangan Raguel. Balas dendam
terus dilancarkan dengan ayunan lihai pedang gergajinya yang menyala merah.
Chika geram, dirinya tak boleh kalah. Saat mendapat
jarak di mana dirinya menarik mundur terbang ke belakang, dia mengumpulkan aura
hitam yang menyelimuti pedangnya.
Dengan satu tebasan sekuat tenaga, aura hitam itu
berubah menjadi pisau-pisau angin yang jumlahnya puluhan, melesat cepat menuju
Raguel.
Pisau-pisau angin hitam itu terbang secara acak. Ada
yang terbang lurus, berputar spiral, maupun yang berliku ke kiri dan kanan.
Mereka lalu datang dari segala arah dan mengepung Raguel.
Tak ada pertahanan selain ini, Raguel pun mengangkat
tangan kirinya ke langit. Seketika itu dengan izin Tuhan, muncullah sebuah bola
cahaya emas menyelimuti dirinya dengan Raguel yang berada di dalam. Saat
pisau-pisau angin itu menabrak pertahanan Raguel, pisau-pisau angin itu pun
musnah.
Tak cukup sampai di situ, Chika kembali melesat
melancarkan serangan jarak dekat, bersamaan dengan Raguel yang menghilangkan
tamengnya, dan meladeni serangan yang Chika berikan.
Pedang mereka beradu kembali.
Tiga melawan tiga. Mereka semua satu sama lain imbang,
masih belum terlihat siapa pemenangnya.
Sementara itu di lain tempat, pada balkon apartemen
yang dirintiki air hujan. Rofocale melihat pertarungan tiga anak buahnya dari
jauh dengan mata iblis, menerawang hingga ratusan kilometer jauhnya yang dapat
terlihat jelas hingga detail.
Musik kematian bergeming di telinga, bersamaan dengan
suara petir yang menyambar bumi, membuat dentuman yang dapat terdengar ke
seluruh penjuru Jakarta. Dengan kaki hitam telanjang bercakar tajam, sesosok
makhluk telah berdiri pada pagar balkon apartemen, dekat dengan Rofocale yang
sedang memantau pertarungan.
“Kau kemari, Belial.”
Makhluk bertubuh manusia itu menyinggung senyum pada
wajah, menampakkan taring-taring tajam yang dimiliki. Dia juga sedang asyik
menyaksikan pertunjukkan yang sedang berlangsung. Sepasang sayap hitamnya tertekuk
santai, pedang tipisnya juga tersarung pada pinggang.
“Dua dari mereka telah turun. Darahnya mungkin akan
sangat manis,” batin Belial, dia menjilat atap bibirnya dengan lidah. “Boleh
aku main ke sana?”
“Mau apa?”
“Pamer kekuatan.”
“Meh…” Rofocale menghela napas saat mendengar jawaban
teman lamanya. “Terserah kau saja.”
Setelah mendapat izin, Belial merenggangkan sepasang
sayap hitamnya, sangat lebar jika disatukan hingga sepanjang lima belas meter.
Dan segeralah dengan kecepatan penuh dia menghampiri medan pertempuran di sana.
0 komentar:
Posting Komentar