The Codex of Lucifer: Chapter 10 - Dark Memories
'Dark Memories'
Gemulai kedua kaki gadis itu telah menapak pada lantai
balkon apartemen. Sayap-sayap mereka basah, begitu pula dengan gaun hitam yang
mereka kenakan karena derasnya hujan yang tak kunjung reda hingga pukul dua
belas tengah malam.
Napas mereka masih berat karena stamina yang
dikeluarkan pada pertarungan tadi cukup banyak terkuras, lalu mereka menjatuhkan
tubuh bersandar pada dinding, memandang pada gelapnya langit dengan petir yang
masih terus menyambar.
Dalam mode astral ini, Chika dan Ratih dapat melihat tubuh
asli mereka berdua yang masih terduduk di dalam lingkaran sihir merah. Tubuh
itu tak bernyawa, hanya sebuah raga kosong yang nantinya akan terisi kembali
saat mereka akan menyelesaikan astral projek ini.
“Di mana Belial?” tanya Ratih, matanya menoleh ke
segala arah di gelapnya langit. Dia baru sadar saat kembalinya mereka dari
medan perang menuju apartemen, Belial sudah tak berada di belakangnya.
Chika juga baru sadar Belial hilang, pandangannya pun
tak berhasil menemukan malaikat jatuh itu. Padahal ada beberapa pertanyaan yang
ingin Chika ajukan padanya.
“Dia telah pergi, tak mungkin dia akan ke sini,” jawab
Rofocale, si kucing hitam, yang berhasil membuat Chika dan Ratih memasang
ekspresi terkejut.
“Eh, kenapa?”
“Belial bergerak sendiri, tanpa diriku.”
“Jadi kau memang sebelumnya sudah tahu bahwa selain
Sam masih ada iblis lainnya yang masih hidup?”
Rofocale menghela napas. “Ya. Belial, yang tak ikut
serta dalam perang besar di masa lalu.”
“Tapi sebelumnya, siapa Belial itu?” tanya Chika. “Dia
hebat juga bisa mengimbangi Gabriel.”
“Bisa kalian katakan Belial adalah dalang dari semua
kekacauan di surga.”
“Dalang?”
“Ya, dia yang telah membujuk Lucifer untuk tak mau
bersujud pada Adam, manusia pertama yang Tuhan ciptakan. Tapi memang, malaikat
gagah seperti Lucifer tak pantas bersujud pada makhluk yang terbuat dari tanah
menjijikan itu.”
“Jadi, Belial ….”
“Belial berkata benar,” potong Rofocale. “Lucifer
adalah malaikat yang berkata sebenarnya, bahwa malaikat tak perlu tunduk pada
manusia yang lemah dan berlumur dosa, yang nantinya hanya menimbulkan peperangan
di bumi. Pada awalnya mereka, para malaikat sebelum berpredikat ‘malaikat
jatuh’ pun bertanya pada Tuhan untuk apa membuat manusia yang nanti hanya akan
membuat onar di dunia yang Dia ciptakan sendiri. Tapi sudah terlanjur juga.
Karena-Nya, aku dapat bertemu kalian berdua, huh.”
Chika terdiam, dalam hati dia juga selalu bertanya
untuk apa adanya eksistensi manusia jika Tuhan itu sudah sempurna dengan
malaikat-malaikat-Nya. Apa Tuhan bosan lalu menciptakan manusia sebagai
‘mainan’-Nya?
Entah.
Sejak kedua orang tua Chika saling bertengkar,
Chika-lah yang menjadi bahan pelampiasan mereka. Karena hal ini sudut pandang
Chika berubah tentang manusia. Benar kata Lucifer, manusia itu jahat, tak
seharusnya ada di bumi. Bahkan bumi tanpa manusia pun akan lebih baik. Karena
manusia pula Chika merasakan sakit hati.
Mendengar jawaban Rofocale tadi Chika sudah setuju
sedari SMP bahwa manusia tak seharusnya diciptakan oleh Tuhan, menurutnya itu
kesalahan pertama yang Tuhan buat. Tapi jika Tuhan tak menciptakan manusia,
Chika tak dapat hidup, tak dapat juga bertemu Ratih.
Hati Chika kosong, seperti ada lubang yang dapat ia
rasa. Dalam gelap dia dipeluk iblisnya dari rasa sakit hati yang selalu datang
setiap hari, dan itu membuatnya nyaman.
“Hey, kok ngelamun aja?” Ratih menyadari temannya
tiba-tiba terdiam setelah mendengar jawaban dari Rofocale.
“Aku capek.” Chika menghela napas panjang. “Tidur,
yuk. Badanku udah kangen kasur, tahu.”
Ratih hanya menggaruk rambut hitam panjangnya,
dipikir-pikir ucapan Chika memang ada benarnya juga.
“Baiklah, aku akan pergi dari sini.” Sam yang masih
berwujud iblis kadal merenggangkan sayapnya, dan pergi melayang menuju gelapnya
langit, lalu dia hilang dalam rintik derasnya hujan.
Sam telah pergi, kini tinggal mereka berdua dan
Rofocale.
Chika memejamkan mata, lalu dalam sekejap astral
projeknya hilang. Jiwanya kini telah kembali ke raga asli yang kemudian
tersadar dari tapanya. Tubuhnya menjadi pegal akibat pertarungan besar melawan empat
malaikat surga, juga puluhan grimoire yang telah dia kumpulkan.
Dia beranjak dari duduknya, lalu merenggangkan badan
ke atas dan ke samping. Menggaruk rambut pendeknya, dia lalu menenggelamkan
diri ke hangatnya kasur berselimut putih. Nyaman, akhirnya dia dapat
beristirahat malam ini.
Ratih juga melepas astral projeknya, dan sekarang
jiwanya telah kembali ke dalam raga. Sesaat kemudian dia menarik napas panjang,
dan membuangnya.
“Rofocale, aku ingin bertanya.”
Kucing hitam yang masih berada di balkon itu segera
masuk ke dalam kamar. Dia terpanggil atas ucapan Ratih dan mendekatinya. “Apa?”
“Saat itu hanya Chika yang dapat melihat momen di mana
dia mati, tapi kenapa aku enggak?”
Rofocale terdiam dan memejamkan mata. “Memangnya kau
benar-benar ingin melihatnya?”
“Heh, Ratih penasaran?” Chika seketika bangun dari
tidurnya, dan spontan bertanya begitu pada mereka.
Ratih mengangguk pelan. “Iya. ‘Kan nggak adil kalau
cuma kamu doang.”
Kucing hitam itu menyetujui, dan berjalan mendekati
Ratih yang masih tengah terduduk. “Baiklah, sekarang pejamkan mata.”
Sedikit penasaran, namun Ratih mengikuti perintah
Rofocale.
Kembali ke masa lalu, seperti memakai mesin waktu.
Ratih kini berada di sebuah bar malam yang dikerumuni keramaian manusia. Mereka
berdansa mengikuti irama DJ yang memutar lagu elektro, diiringi oleh kerlip
lampu laser warna-warni yang menembak ke segala arah.
Ratih tak ingat momen ini, dia sama sekali lupa,
bahkan dia tak tahu bar ini ada di daerah mana. Ingin dia menggali memori ini
dan memutuskan untuk berjalan di tengah keramaian.
Saat ingin menyapa seseorang, seketika itu ia tersadar
dirinya tak bisa menyentuh, juga disentuh. Semua manusia di tempat ini tembus
oleh badannya, seperti sebuah hologram.
Sial, batinnya. Dia tidak bisa mendapat informasi di mana ini.
Dan lekas setelah itu Ratih berjalan kembali.
Sampai di sudut bar, di sana Ratih melihat sekumpulan
empat lelaki muda tengah berpesta minuman sambil tertawa riang. Mabuk
berkelanjutan membuat muka mereka terlihat bodoh. Mereka berpakaian serba hitam
seperti anak geng motor dengan banyaknya tindikan di beberapa bagian wajah,
juga tatto yang melukis kulit-kulit tubuh.
Tak hanya mereka berempat yang duduk di sofa merah
itu, juga di sana ada seorang gadis berambut panjang yang menemani malam
keempat lelaki muda tersebut.
“Itu … aku?”
Ya, itu Ratih.
Melihat sosok wanita yang menemani empat lelaki tersebut membuat Ratih bingung.
Dia sama sekali lupa dan tak mengingat wajah mereka, juga bahkan momen ini.
Empat pria dan gadis—yang diketahui adalah Ratih
dulu—itu pun beranjak dari sofa, dan pergi meninggalkan tempat dengan kondisi
mabuk berat. Terhuyung-huyung mereka berjalan menuju pintu keluar, sampai
terkadang menabrakkan diri ke tembok untuk bersandar.
Setelah keluar melewati pintu belakang, tibalah mereka
di sebuah gang yang jalannya cukup muat dilewati satu mobil. Agak sempit,
memang, dan juga cukup gelap karena lampu penerang jalan berada sekitar lima
belas meter dari tempat mereka berdiri.
Di tempat ini, seorang pria berambut pendek dengan
tindikan di hidung mencoba memeluk Ratih dari belakang. Dia mendekap pinggang
Ratih erat dan membuat senyum picik di wajahnya.
Dalam kondisi mabuk ini Ratih masih tertawa bercampur
bingung apa yang sedang ingin temannya itu lakukan, tapi Ratih tak membuat
sebuah gertakan, dia malah seperti memberi lampu hijau padanya.
Pria berambut pendek itu mencoba mendekatkan bibirnya
ke pipi Ratih, mengusapnya manja dengan hidung. Bau alkohol pun tercium tajam,
pria itu kini tahu bahwa Ratih sudah mabuk berat.
Ratih mencoba mengelak dengan membuang pandangannya ke
arah lain, namun tangan pria itu merebut dagunya dan memaksa Ratih untuk
menatap wajahnya.
Seram, beringas, bercampur nafsu. Itu hal pertama yang
Ratih tangkap dalam matanya yang sayu. Sekarang dia sadar walau telat.
Ratih kini memberontak, tubuhnya meronta, namun sayang
dia yang mungil kalah oleh badan pria yang lebih besar darinya. Dia yang
terjepit tak bisa berbuat apa-apa, berteriak pun sudah, namun hanya desir angin
kosong yang menjawab.
Tak ada harapan.
Tiga rekan pria itu mulai menggerayangi tubuh Ratih.
Baju polos yang Ratih kenakan dilepas paksa oleh tangan-tangan kotor mereka,
sementara gadis malang ini terus memohon pada Tuhan, berharap sebuah
pertolongan datang dari siapa saja yang akan hadir dari ujung lorong gang itu.
Tidak. Tidak ada yang datang.
Ratih sudah ditelanjangi di sana, tanpa sehelai benang
menutupi tubuhnya dari dinginnya malam. Kini ia meratapi empat pria yang
memasang wajah bak seringai setan, dan dalam duduk dia memasang posisi
bertahan.
Satu pria memegang kedua tangan Ratih, mencengkramnya
erat hingga menimbulkan rasa sakit, dan dua lainnya mulai meraba-raba tiap inci
kulit putih mulus Ratih.
Gadis berdarah Bandung ini pun akhirnya diperkosa
bergilir di belakang bar, tanpa orang lain tahu, bahkan dinding bata merah
tempat dia bersandar pun tutup mata dan pura-pura bisu. Tak ada harapan gadis
itu menangis, bahkan Tuhan sekalipun seperti tak mendengar doanya.
Hingga selesai, Ratih yang sudah lemah tak berdaya pun
dicekoki pil putih. Tidak satu, tapi banyak. Ratih tak bisa menolak, dan
pil-pil itu pun langsung masuk ke dalam tenggorokannya, tertelan habis tanpa
air sebagai pembantu.
Ratih tak sadarkan diri, cahaya dalam matanya mulai
pudar, pandangannya pun telah kabur. Masih bertelanjang bulat dia digendong
menuju parkiran mobil, dan diletakkan di dalam bagasi. Setelahnya barulah keempat
pria itu masuk ke dalam mobil, dan mesin mobil mulai dihidupkan.
Di dalam bagasi yang sempit Ratih hampir tak bisa
bernapas, membuka mata juga terasa sulit. Kepalanya berat, dan semakin berat
ketika mobil yang ditumpangi mengalami guncangan. Hingga pada suatu saat
tubuhnya bereaksi kejang. Dada kiri terasa sakit kepanasan, perut pun seperti
ditusuk panah api. Dalam derita ia tak bisa berteriak. Lalu dia merasa mual
ingin muntah.
Hingga sampai di sebuah desa yang gelap, mesin mobil
pun dimatikan, para preman itu memarkirkannya di pinggir sawah.
“Turun. Gotong dia,” pinta si supir, dan ketiga
rekannya pun keluar dari mobil.
Bagasi dibuka, tubuh Ratih pun dikeluarkan. Entah gadis
yang sedang mereka gendong itu sudah mati atau belum, yang pasti mereka membawa
tubuh Ratih ke tengah sawah, dan membuangnya begitu saja tanpa memakaikannya
sebuah pakaian atau kain penutup tubuh.
Minimnya pencahayaan membuat aksi mereka berjalan mulus.
Setelah membuang Ratih, mereka bertiga pun kembali masuk ke dalam mobil, dan cepat-cepat
pergi dari tempat ini.
Keesokan harinya, seorang petani menemukan tubuh
seorang gadis muda sudah memucat kaku di tengah sawah. Diperkirakan masih
berstatus pelajar, namun bukan salah satu dari warga mereka. Kemungkinan mayat
dari daerah lain yang dibuang di sini.
Warga sekitar berebut tempat untuk melihat, walau dari
jalan pinggir sawah sudah ditutupi garis dilarang melintas. Antusias mereka
begitu besar, karena mungkin baru kali ini ada kasus pembuangat mayat di tempat
ini.
Jasad Ratih pun segera dibawa tim penyidik forensik
untuk diidentifikasi.
Melihat itu semua, Ratih yang sekarang merasa tak
percaya. Dia mati setelah diperkosa, lalu jasadnya dibuang begitu saja tanpa
dosa.
Sebegitu
kejamnya kah manusia? Sebinatang itukah manusia?
Tidak
… tidak!
Ratih menjambak rambut hitamnya, terjatuh, berlutut di
atas tanah melihat memori kelam saat hari kematiannya. Dia tak percaya kenapa
sebegitu hinanya dia mati, apa memang tak ada cara lebih baik lainnya?
Dia menangis, air mata itu terus mengalir di pipi
tirusnya. Di mana Tuhan kala itu? Apa Tuhan tidur? Apa Tuhan buta? Ke mana Dia
saat Ratih butuh pertolongan?
“Aaaaaaaaakh!”
Percuma dia menjerit, tak ada satupun warga di sana
yang akan mendengarnya.
Lalu memori itu runtuh, semua latar tempat dia
terduduk menjadi hitam, lalu kembali ke dalam apartemen Chika. Rofocale telah
mencabutnya, dan mengembalikan jiwa Ratih.
Ya, Ratih masih menangis, tak mau berhenti. Isak
tangisnya terdengar di malam yang masih diguyur hujan ini.
Chika yang tak tahu apa-apa mencoba menenangkan Ratih,
namun gadis berambut panjang itu malah menepis tangan Chika, seakan Ratih tak
ingin tangisnya ini diganggu siapapun.
“Kamu kenapa?”
Ratih bangkit dari duduknya, dan tanpa menjawab
pertanyaan Chika, dia lekas keluar dari kamar ini, dan menuju kamarnya sendiri.
Rofocale yang tahu semuanya hanya diam, bahkan saat
Chika bertanya pun Rofocale tak ingin menjawab. “Sudah kubilang, manusia itu
tak pantas ada. Sebuah kesalahan Tuhan menciptakan kalian.”
Setelah si kucing hitam berkata begitu Chika segera
beranjak dan ingin mengejar Ratih.
“Percuma!” teriak Rofocale. “Kau tak perlu
mengganggunya. Biarkan dia!”
Chika mengelak, “Tapi dia temanku!”
“Mau dia teman atau saudara, beri dia ruang untuk
merenung tentang masa lalunya. Yang sekarang dia butuhkan adalah jarak. Dia
mungkin tidak sekuat dirimu.”
Dan Chika terdiam, dia membatalkan niatnya untuk
mengejar Ratih.
Malam ini berakhir tanda tanya di kepala Chika, dia
tak mengerti apa-apa. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, Chika saat itu juga
seperti Ratih sekarang ini, namun tak begitu parah sampai tak ingin mendengar
ucapan temannya.
Gadis berambut pirang itu berjalan menuju balkon yang
belum ditutup pintunya, menatap pada langit gelap di sana yang terus
memancarkan kilat petir. “Jadi … cara bagaimana Ratih mati itu lebih parah
dariku, ya. Pantas saja dia diam.”
Pintu balkon segera ditutup, dan dia lekas kembali ke
kasurnya untuk tidur.
* * *
Pagi yang mendung, hujan telah berenti sedari subuh
tadi, dan kini hanya menyisakan udara dingin dan angin yang bertiup nakal
mengibas rambut-rambut para pejalan kaki. Sejuk bak daerah pegunungan, sangat
jarang udara Jakarta terasa menyegarkan hari ini.
Chika yang lengkap mengenakan seragam putih abu-abunya
sudah siap untuk berangkat sekolah. Baju dimasukkan, rok pendek sedengkulnya
pun dikalungi sabuk hitam, dan tak lupa juga dasi yang tergantung di lehernya.
Dia begitu cantik, tapi sayang banyak manusia yang buta warna, termasuk orang
tuanya.
Chika menunduk lesu di depan cermin, mengingat masa
lalunya yang mati bunuh diri karena dia tak tahan dengan tekanan orang tuanya.
Mengingat tingkah Ratih semalam, dia merasa sedikit bersalah, padahal dia tak
melakukan apa-apa.
“Entah. Derita Ratih mungkin lebih besar dari yang
kurasa,” pikirnya lagi.
Tas yang sudah diisi mata pelajaran untuk hari ini
terpanggul di bahu. Dia pun lekas keluar dari kamar ini setelah mengikat tali
sepatunya.
Begitu keluar dia menghapiri kamar nomor 142, tak jauh
dari tempatnya berada.
Pintu diketuk bersama dia memanggil Ratih untuk
berangkat sekolah bersama, namun yang didapat bukan Ratih yang membuka pintu,
malah ibunya yang masih menggunakan celemek dapur.
Wanita tua berambut panjang itu menjelaskan, “Kayaknya
Ratih hari ini nggak masuk sekolah.”
“Lho kenapa?” Chika memasang ekspresi bingung,
terpikir kejadian semalam yang mungkin menjatuhkan mentalnya.
“Nggak tahu, dari malam dia nggak mau buka pintu
kamar, padahal Tante udah masak makanan favoritnya tadi.” Ibunya pun
mengeluarkan sebuah amplop putih dari kantung celemek. “Ini surat izin nggak
masuk sekolah, tolong kasih ke gurunya, ya.”
Ternyata benar dugaan Chika, dia pun menghela napas
sebelum membalas, “Ya sudah, nanti Chika beri tahu bu guru.”
Setelah menerima surat, Chika mencium tangan wanita
tua itu. Terasa harum bumbu dapur, memang. Dan terbesit andai ini dilakukannya
setiap hari dengan ibu kandungnya, mungkin hidup ini terasa indah.
“Chika pamit, ya.”
“Iya, suratnya jangan lupa dikasih.”
Beranjak dari tempat, Chika segera berjalan menuju
lift yang juga sedang ditunggu oleh para penghuni apartemen ini. Mereka telah
berpakaian rapi dengan jas dan dasinya, dan siap berangkat ke kantornya
masing-masing.
Ya, Chika yang paling muda di antara mereka.
Setelah sampai di lobi apartemen, gadis berusia 16
tahun ini berjalan menuju pintu keluar bersama dengan lainnya.
Saat tiba di luar, hawa sejuk langsung menyapa,
menggelitik leher mungilnya yang terkalungi neck
bracelet hitam. Untung saja dia menyelimuti tubuhnya memakai jaket,
sehingga dingin yang terasa sedikit berkurang.
Pepohonan rindang yang tertanam di pinggir jalan
meneduhkannya, harum yang tercium sangat ia sukai, wangi sisa hujan bekas
semalam. Mungkin hanya mereka yang akan menemani perjalanan Chika hingga sampai
ke sekolah.
Sesejuk embun pagi, senyum itu merekah menjalani hari,
walau dia tahu semua akan berjalan sama saja. Hari tanpa Ratih mungkin akan membuatnya
sepi saat di sekolah, karena hanya Ratih-lah teman satu-satunya yang Chika
miliki.
Punggung Chika sebenarnya terasa pegal. Tidur jam satu
lalu bangun subuh, dalam hati dia masih ingin sekali tidur di kasurnya. Ini
semua gara-gara tiga malaikat sialan yang tetiba muncul membantu Raguel. Anda
mereka tak datang, mungkin Raguel telah mati, dan kekuatan militer Metatron
berkurang.
* * *
Di sebuah ruangan besar berdinding putih, beberapa
malaikat telah duduk di kursinya masing-masing. Meja panjang itu telah ramai
dan rapat pun sebentar lagi akan dimulai.
Malaikat berjubah merah darah itu duduk memimpin,
sementara yang lain memandang dirinya penuh dengan hormat. Yakni Michael, Sang
Jenderal Perang, kedua matanya melirik ke para peserta yang telah hadir ke
tempat ini.
Rapat pun dimulai dengan Michael. “Menurut laporan
yang kuterima, iblis utuh masih
tersisa tiga di alam semesta ini. Rofocale, Samael, dan Belial. Dan iblis
jadi-jadian adalah Lilith dan Succubus. Hanya lima yang sekarang dapat
terdeteksi.”
Raguel menambahkan, “Dan semua berkumpul di Jakarta,
Indonesia. Kemungkinan besar bahwa markas mereka ada di daerah tersebut.”
“Raguel benar,” tanggap Sandalphon, si malaikat
berjubah hijau. “Aku sudah menyusun rencana untuk menguak di mana markas mereka
berada.”
Michael memiringkan kepala. “Rencana apa itu, wahai
Sandalphon?”
“Aku meminjam satu malaikatmu, yakni Raguel jikalau
berkenan. Aku akan mengirim Raguel ke bumi, menyamarnya menjadi manusia. Iblis
jadi-jadian yang Rofocale bangkitkan, menurut informasi yang kuterima, mereka
adalah wanita muda. Terlihat dari warna kulit yang putih juga rambut yang masih
berkilau. Dari ciri-ciri yang kami dapat, kemungkinan mereka adalah pelajar
atau wanita kantoran dengan umur berkisar 15 sampai 25 tahun.”
“Silakan jika kau ingin memakai Raguel dalam misi
ini,” jawab Michael. “Tapi ini terlihat bahaya, karena Belial bukan iblis
sembarangan, bahkan dia bisa mengimbangi Gabriel.”
“Hei, kau menganggapku lemah?!” potong Raguel sedikit
tak terima.
“Terima saja bahwa kau masih lemah, Raguel.”
Dan Raguel terdiam, menghela napas panjang tak
membalas. Kalau saja bukan Michael yang menjawab, mungkin ruangan ini sudah
menjadi lautan api.
Michael lanjut bertanya, “Jadi bagaimana kau akan
mencari para iblis itu, wahai Sandalphon? Karena kita tahu, mantera yang
Rofocale pakai melindungi mereka dari mata Tuhan.”
“Raguel mempunyai sampel rambut iblis jelmaan Lilith
yang sempat jatuh saat pertarungan semalam. Dengan ini, aku akan mengirim anak
buahku untuk melacaknya. Selanjutnya jika sudah ketemu, akan kumasukkan Raguel
ke dunia manusia, lalu membuat manusia setengah iblis itu memberitahu di mana
markas mereka. Terlihat mudah, tapi aku tahu nanti tak akan semudah yang telah
aku ucapkan.”
“Bagus jika begitu.”
“Tapi tidak hanya mereka yang menjadi incaranku, wahai
Michael.” Malaikat berjubah biru itu membuka mulut dari diamnya. Raut wajahnya
terlihat serius memandang sang ketua rapat.
“Apa itu, wahai Gabriel?”
“Kau tahu, Rofocale memegang buku yang saat ini
menjadi pedoman misinya. Yakni The Codex of Lucifer. Kodeks milik Lucifer yang
di sana tertulis lengkap rahasia-rahasia Tuhan yang seharusnya tak boleh bocor,
tapi setelah dia diusir dari surga, buku itu kini berada di tangan Rofocale.”
Setelah mendengar sanggahan Gabriel, Michael memegang
keningnya yang terdapat dua tatto titik hitam. “Kau benar juga, itu sempat aku
pikirkan juga, tapi …”
“Tapi apa?”
“Ini tak akan mudah. Kau tahu, kemungkinan besar
Rofocale akan membunuh dua bonekanya itu jika mereka buka mulut di mana letak
markas mereka. Maka dari itu, tolong gunakan cara halus agar Rofocale tak
mengetahui penyamaran Raguel.”
“Baik. Dimengerti, Komandan.”
“Setelah The Codex of Lucifer itu kita dapatkan, kita
harus segera menghancurkannya, karena tidak boleh ada satupun dari kita yang
boleh mengetahui rahasia Tuhan, atau kita akan bernasib sama dengan Lucifer.”
“Tapi bahkan, kita tak tahu bagaimana rupa buku itu,
benar bukan?” tanya Raguel. Ungkapan yang dia lontarkan memang benar, dan cukup
membuat hening ruang rapat ini untuk beberapa detik. Di surga ini hanya ada
satu malaikat yang mengetahui wujud buku tersebut, yakni Metatron.
“Haruskah kita tanyakan padanya?” sela Uriel bertanya.
“Tidak, bahkan Metatron pun tak ingin dia memberitahu
buku itu pada kita, karena siapapun, kecuali dia, tak boleh ada yang tahu
identitas buku terlarang itu,” jawab Michael. “Bagaimanapun juga, walau kita
tak tahu bagaimana rupa buku itu, buku itu harus dihancurkan setelah kita
berhasil mendapatkannya. Hanya itu yang Metatron sampaikan padaku.”
Dan para peserta rapat hening kembali.