The Codex of Lucifer: Chapter 09 - The Old Friends
Menari di udara, dengan pedang lavanya Sam
membabi-buta menyerang Raphael, membuat malaikat berjubah hijau itu tak punya
waktu banyak untuk melancarkan tornadonya. Sam mendominasi permainan, sampai
saat ini Raphael hanya mampu bertahan dan menghindar
Walau sudah berkali-kali mengayunkan pedang lava,
namun seluruh serangan Sam dapat terbaca oleh mata Raphael.
Melancarkan serangan cepat, setelah Sam mengayunkan
pedangnya, dia pun memutar tubuh, dan menggunakan ekor sebagai serangan kedua.
Ekornya itu berhasil menggores lengan kanan Raphael, namun amat disayang
Raphael yang mempunyai kekuatan penyembuhan dengan cepat menutup luka, dan
membunuh racun Sam dalam hitungan detik.
Gagal, dia kesal. Sam menggertakkan gigi, menyinggung
alis matanya. Serangan racun tak cukup ampuh untuk melawan malaikat yang satu
ini, sangat dispesialkan oleh Tuhan sebagai juru medis surga.
“Tak ada jurus lain, Samael?” ejek Raphael dengan
ujung bibir yang terangkat. “Kalau begitu terima ini!”
Raphael mengangkat tongkat emasnya tinggi-tinggi,
seketika bola mustika itu menyala hijau terang, dan lalu muncullah puluhan
pedang-pedang angin yang melayang di sekitarnya. Segera sesaat Raphael
mengayunkan tongkat, pedang-pedang angin tersebut melesat bebas menuju Sam.
“Ergh! Kurang ajar!” Sam mengacungkan jari telunjuknya,
lalu sedetik kemudian muncul sebuah dinding kaca berwarna ungu. Tabrakkan dua
elemen pun terjadi, pedang-pedang angin Raphael pecah saat mencium pelindung
Sam.
Serangan jarak jauh Raphael masih tak berdaya.
Sam mengeratkan genggaman pada pedang, lalu kembali
terbang menuju Raphael.
Tongkat emas itu kembali diacungkan ke langit, lalu
terciptalah angin ribut menyerupai kepala naga hijau berleher panjang. Dengan
satu perintah, naga angin yang meraung tersebut berputar menuju Sam. “Maju!”
Sam menghentikan kepakan sayapnya, dan mulai membuat
lingkaran sihir lagi dengan tangan kiri. “Terhisaplah!”
Diayunkan tangan kiri menuju angin ribut milik
Raphael, dan terhisaplah ia ke dalam lubang hitam yang Sam buat. Angin ribut
itu pun sirna, dan tiba-tiba Raphael telah menghilang dari pandangan Sam yang
seharusnya masih melayang di depan sana.
“F5!” Suara itu muncul dari belakang, secepat kilat
malaikat berambut gondrong itu sudah membuat tornado besar menjulang tinggi
menembus langit. “Rasakan ini!”
“Kurang ajar!” Sam tercengang melihatnya saat tornado
itu telah datang mendekat, dan dia tak punya cukup waktu untuk mengeluarkan
lubang hitam lagi, atau bahkan melarikan diri.
Sebelum tornado itu berhasil mencium Sam, terdengarlah
suara kepakan sayap datang mendekat. Dari aroma yang Raphael endus, dia seperti
pernah mengenalnya. Bau yang dulu pernah berada di surga, jauh sebelum Lucifer
meniup terompet perang.
Tornado Raphael tiba-tiba pecah oleh pilar api merah
yang tiba-tiba muncul di tepat di inti dalam tornado, terbangun dari dasar bumi
menjulang tinggi hingga menembus gelapnya langit. Sedetik kemudian pilar api
itu meledak, apinya melebar luas berputar membentuk lingkaran dan terus meluas,
membakar apa saja yang berada di dekatnya.
Melihat api itu hendak membakarnya, dengan sergap
Raphael membuat dinding perlindungan berupa bola dengan dia yang berada di
dalamnya. Begitu pula dengan Sam, dia membuat dinding perlindungan bola ungu
untuk menahan serangan api yang entah siapa pemiliknya.
“Hahaa .…” Sang pemilik tersenyum, menampakkan taring
tajam di antara barisan giginya.
Sam dan Raphael, keduanya kini berada di dalam badai
api yang terus berkoyak, perlahan meretakkan dinding pertahanan mereka. Terus
bertahan dan meningkatkan kekuatan, bocor sedikit saja tubuh mereka akan
terlahap api tersebut.
Perlahan pilar api itu padam memudar. Si pemiliknya
terbang lebih tinggi dari mereka berdua. Sepasang sayap hitam itu lebar
berkibar, dengan ujung sayap menyerupai jari-jari tangan seakan melambai
memberi salam.
Melihat sosok yang baru saja muncul membuat Sam dan
Raphael terdiam. Begitu pula pada Uriel yang sedang melawan Ratih, dan Raguel
yang sedang melawan Chika. Sosok yang terbang di atas sana berhasil mencuri
perhatian mereka.
“Be-Belial!” gumam Raguel. Dia yang sedang menahan
dorongan pedang Chika menarik mundur serangannya.
Saat petir besar menyambar bumi, cahaya kilatnya
menampakkan jelas malaikat berjubah hitam tersebut. Belial, sosok malaikat
jatuh menampakkan dirinya lagi dihadapan malaikat surga.
Raphael, Uriel, dan Raguel sempat tak percaya
kehadiran si malaikat jatuh ini. Awalnya dikira hanya Rofocale dan Samael saja
yang masih hidup, namun sosok ketiga ini muncul di hadapan mereka untuk
memperkenalkan diri.
“Siapa dia?” Chika dan Ratih yang masih awam tak
mengenali sosok itu, entah teman atau musuh, mereka berdua siap melawan jika
makhluk berkulit hitam itu hendak membunuh Sam.
“Lama tak menggunakan kekuatan ini,” gumam Belial,
menatap Sam dan Raphael yang telah melepas pertahanannya. “Juga lama tak
berjumpa, Raphael.”
Tongkat mustika hijau ditodongkan pada Belial. Dengan
kencang Raphael berteriak, “Apa maksud kehadiranmu, Belial?!”
“Begitukah cara malaikat menyambut tamu? Di mana sopan
santun yang telah Tuhan ajarkan, hei?”
Setelah itu Uriel dan Raguel segera terbang mendekati
Raphel dengan meninggalkan lawan mereka masing-masing.
“Oh, ada Uriel dan Raguel juga, ya,” lanjut sapanya. “Malam
ini akan menjadi malam yang panjang, sepertinya.”
Uriel dengan murka mengacungkan pedangnya, lurus tepat
pada merahnya bola mata Belial. “Kuwakilkan kemarahan Metatron malam ini!”
“Hahaa, pelawak itu?” Sebaliknya, tak ada rasa takut
yang dinampakkan Belial. Dia teramat rileks, bahkan pedangnya pun masih berada
dalam sarung.
Di tengah derasnya hujan lebat, angin yang semakin
kencang menggoyangkan rambut merah Belial. Dirinya terbang masih membawahi para
malaikat dan iblis di sana. Dia lalu menunjuk Raphael dan berkata, “Dadu masih
bermain, kawan.”
Pernyataan yang Belial ucapkan membuat Uriel dan
Raguel terbingung, begitu pula dengan Sam, Chika, dan Ratih. Semua pandangan
tertuju pada Raphael.
“Malaikat jatuh, atau apalah itu. Kami malaikat surga
telah mencap kalian sebagai tentara iblis. Mati saja!” Setelah berkata
demikian, Raguel mengeratkan jemarinya pada gagang pedang, lalu mengepakkan
kedua sayapnya terbang menuju Belial.
Seringai tertampak pada bibir lebarnya, bola mata
merah itu dapat melihat jelas malaikat sembrono yang dengan cepat sedang mendekat.
Segeralah pedang tipis itu dikeluarkan dari sarungnya, hanya sepanjang satu
meter.
Jaraknya semakin dekat dengan Belial. Raguel memutar
badan, dengan sekuat tenaga diapun melampiaskan segala kemarahan dengan ayunan
pedang gergajinya.
Dan seketika hening. Mata mereka saling bertemu
pandang.
Ayunan pedang gergaji Raguel yang berat dapat dengan
mudah ditahan oleh pedang tipis nan kecil milik Belial. Secara logika memang
sebuah hal yang mustahil.
Raguel yang penasaran terus menekan dorongan pedangnya.
“Ke-kenapa bisa?!”
“Kau tahu karena apa?” tanya Belial. “Karena ‘dosa’.”
Setelah mengetahui jawaban itu, Raguel menarik mundur
pedangnya, dan mengambil beberapa jarak. “Apa maksudmu?”
Belial tertawa saat menjawab, “Tentu pedang ini pedang
kutukan. Pedang yang menyerap dosa manusia. Semakin banyak manusia melakukan
dosa di bumi, pedang ini akan semakin kuat dan padat. Aku bahkan penasaran
apakah Metatron akan mati dengan sekali tebasan ini.”
Pernyataan Belial segera menyulut emosi Raguel.
“Jangan bercanda dengan tipuan murahanmu!”
“Makan saja ini!” Belial mengangkat tinggi pedangnya
pada gelapnya langit. Bunga-bunga api seketika muncul, lalu membesar pada
punggung Belial, membentuk sebuah sayap yang membentang hingga tiga puluh
meter. Api itu berkoyak memberontak liar, kemudian membentuk enam ekor kepala
naga yang segera terbang ke arah lawannya.
“Ini gawat!”
Lalu dengan satu ayunan, Belial pun menyuruh api-api
itu melahap Raguel.
Menyala terang di kolong langit Jakarta, enam kepala
naga itu mengamuk dan melaju cepat. Raguel yang tak punya banyak waktu segera
membuat dinding salib yang melindungi seluruh dirinya dalam bola.
Dan enam kepala naga itu membenturkan dirinya pada
tameng salib Raguel.
“Kita uji lagi.” Belial menjilat atap bibirnya. Dia
tak main-main, api itu semakin dibesarkannya menjadi tujuh hingga delapan
kepala naga menyerang Raguel sekaligus.
“Ergh, kurang ajar!” Pertahanan Raguel semakin goyah,
terbukti dengan timbulnya retakkan kecil di sisi kirinya.
“Enyah saja, dasar kotoran neraka!” Melihat Raguel
yang semakin terpojok, Raphael pun mengangkat tinggi tongkatnya, lalu tornado
hijau seketika muncul dekat dengan bara amuk naga api Belial, dan hendak
menabrakkannya.
Sam yang mengetahui Raphael sedang menyerang segera
melakukan tindakan, namun Uriel yang berada di dekat Raphael membuat dinding
salib, dan menghalangi jalan Sam yang langsung terhenti.
Chika
dan Ratih masih belum beranjak dari tempat. Dengan kedua bola matanya, mereka
dapat melihat dari jauh bahwa tornado milik Raphael bertabrakkan dengan kobaran
api kepala naga milik Belial.
Dan
patah. Api-api yang menyerupai kepala naga berleher panjang itu berhasil
dipatahkan oleh tornado Raphael, musnah menyelamatkan nyawa Raguel yang masih bertahan
diri dalam cangkang bola pelindung.
Raguel merasa lega, dia melepas pun tamengnya.
Malaikat jatuh itu—bukan, iblis itu masih melayang gagah dengan sepasang sayap
hitamnya, menatap Raphael yang rupanya berhasil menghancurkan jurus api kepala
naga.
“Hebat juga,” batin Belial. “Kalau begitu coba hadapai
yang satu ini!”
Belial mengangkat tangan kirinya, mengacungkan dua
jari yang merapat pada awan hitam. Pada ujung jari, menyalalah sepercik api,
lalu membentuk lingkaran kecil yang lama-lama membesar seukuran kepalanya.
“Kuperlihatkan ‘neraka mini’ pada kalian yang rindu
pada rumah.”
Sejurus kemudian, awan gelap di belakangnya memancarkan
cahaya jingga, meledak menjadi merah bersanding dengan amukan guntur yang
menggetarkan gendang telinga. Dari atas sana, berbondong-bondong batu meteor jatuh
ke bumi atas perintahnya. Membara, menyala. Mereka menyerang apa dan siapa saja
yang berada di bawahnya.
“Pesta malam ini seru juga, ya,” batin Belial.
Seluruh mata yang menyaksikan pun terbelalak.
Batu-batu dengan ukuran variasi itu terbakar, dan menghempas jatuh ke bumi.
Meteor itu menyerang para malaikat surga yang kemudia mereka pun membuat tameng
masing-masing.
Beruntung bahwa pertarungan ini pisah dimensi antara
dimensi manusia dan ghaib, menjadikan dunia manusia tak terkena dampak dari
segala pertarungan yang terjadi.
Tak hanya menyerang para malaikat, batu-batu meteor
yang Belial jatuhkan juga menyerang Sam, Chika, dan Ratih yang menyebabkan
mereka bertiga juga membuat bola pelindung.
Resah-gelisah terukir di wajah. Hujan meteor
menghantam keras pertahanan mereka tiap detiknya. Keretakkan mulai terlihat
pada tiap tameng, mengharuskan mereka meregenerasikan jurus masing-masing
sesegera mungkin.
Di saat Belial tertawa karena telah menangkap bayang
kemenangan, semuanya pun berubah seratus delapan puluh derajat hanya dalam
hitungan detik saat petir besar menghantam bumi.
“Aaargh!” Belial memekik, teriakannya nyaring merambat
cakrawala. Sampai pada akhirnya sebuah petir yang teramat cepat menyambar,
kilatnya memancarkan cahaya silau, dan akar petir itu membakar, memotong sayap
kanan Belial hingga terlepas dari punggungnya. Dan karena itu pula Belial pun
jatuh ke bumi.
Irama surgawi terngiang saat malaikat bercahaya itu
turun ke bumi. Dia yang memakai cincin emas melingkari kening, berambut hitam
keriting panjang seleher. Matanya itu mengutuk pada Belial, lalu dengan izin
Tuhan dia pun kembali menyambarkan petirnya kembali.
Belial tersambar bertubi-tubi, membuat Sam, Chika, dan
Ratih tak bisa berkutik, dan hanya mewaspadai kehadirannya.
Alam berpihak pada malaikat yang baru turun dengan
sepasang sayap putihnya. Kencangnya angin mengibaskan jubah biru yang dikenakan,
lalu dia berdiri melayang di depan Raphael dan Uriel.
“G-Gabriel! Kau tak perlu turun ke bumi!”
Memandang Gabriel membuat Sam tak percaya, kulit
tubuhnya merinding menyadari bahwa Gabriel tak sepadan dengannya.
Gabriel mengangkat tangan kanannya ke atas,
menggenggam angin kosong. Saat kilat menyambar dari gelapnya awan, serpihan
kilat itu pun tergenggam pada tangannya.
“Kalian para iblis patut lenyap di hadapanku!” Tak ada
ampun, segeralah Gabriel melempar petir itu pada Sam. Petir yang tadinya kecil
berubah menjadi besar menyerupai kepala monster bermata merah.
Sam yang melihat datangnya ancaman segera menodongkan
tangan kirinya ke depan, tepat ke arah kilat monster itu. Dan seketika
muncullah lingkaran sihir dengan lubang hitam yang kemudian menghisap petir
monster Gabriel.
“Ergh! Tidak bisa dibiarkan!” Melihat temannya
kesusahan, dengan kecepatan kilat Chika dan Ratih segera mendekati Sam,
melindungi iblis berbentuk kadal besar itu dari para malaikat dengan senjatanya
masing-masing.
Melihat Chika dan Ratih yang berdiri terbang di depan
Sam, Gabriel malah menyungging senyum merendah. “Dasar lalat!”
Tangan kiri diayun, pada telapaknya memercikkan
petir-petir yang memberontak, dan lalu seketika petir-petir itu pun menyambar
ke arah para iblis.
Chika dan Ratih bekerja sama, mereka berdua membuat
tembok yang menghalau petir-petir Gabriel.
Tak hanya di situ, di arah jam enam, yakni tepat di
belakang Sam sudah berdiri Uriel yang sudah siap dengan apinya. Dan dari arah
belakang, dia mencoba menyerang Sam.
Sam yang sadar segera menahan dengan pedang lavanya,
dan kedua bilah pedang itu pun beradu.
Dari atas mereka sudah ada Raphael yang mengangkat
tinggi tongkat emasnya. Pada bola mustika yang menyala terang, seketika angin
ribut tercipta, makin membesar dan membesar membuat tornado yang kemudian hanya
dengan satu hentakan, angin ribut seukuran gedung itu pun berputar meluncur ke
arah para iblis.
Chika dan Ratih yang sedang membuat dinding pelindung
bingung harus apa, begitu pula Sam yang sedang beradu pedang dengan Uriel.
Uriel meloloskan diri saat tornado itu hendak
mendekat, kini Sam tak punya waktu untuk membuat lingkaran sihir maupun jurus
semacam pelindung.
“Malaikat sialan!”
Sedetik kemudian bergemalah sebuah teriakan yang
disertai api besar meledak dari dasar bumi. Yakni Belial yang sekali lagi
beraksi dengan badai apinya, mencoba mengusir tornado milik Raphael.
Belial terbang dengan satu sayap, namun sayap yang
patah tergantikan oleh sayap api yang menyala. “Gabriel, kau hanya merusak
suasana saja!”
Semua aktivitas serangan terhenti. Para malaikat
berlindung di belakang Gabriel, serta Chika dan Ratih berada di dekat Sam,
menatap Belial yang baru saja bangkit dari serangan petir Gabriel.
“Kau masih dapat bernapas? Harus kuakui kau hebat
juga,” puji Gabriel.
Kesal direndahkan, Belial menggertakan giginya. Dia
terlalu sombong menilai para malaikat. Kini di hadapannya adalah Gabriel,
malaikat besar nomor dua yang ada di surga.
Sam tahu bahwa dia harus menarik mundur Chika dan
Ratih, namun ini semua tergantung pada Belial yang masih mau melanjutkan
pertarungan atau tidak. Dilihat dari gelagatnya, Belial nampak geram dan justru
malah masih ingin melawan.
“Belial, kita sebaiknya mundur.”
“Sam, apa-apaan ucapanmu itu!” balas Belial. “Justru
kehadirannya akan membuat pesta ini semakin menarik.”
Belial mengacungkan pedang tipisnya ke langit. Hujan
membasahi pisaunya, dan sedetik kemudian atas mantera yang dirapalkan, pedang
Belial yang tipis tadi berubah besar setelah diselimuti api hitam.
Mengeluarkan pedang terlarang ini menunjukkan bahwa
Belial akan serius menghadapi Gabriel. Yakni pedang Wail, sebuah pedang hitam
bermata satu yang panjangnya dua meter dengan gagang pedang yang panjangnya
setengah meter. “Tak kusangka harus mengeluarkan senjata ini.”
Gabriel senang melihat lawannya yang serius, dia pun
mengangkat tangan kanannya, dan seketika petir menghantam, menjadikan sebuah
pedang tipis panjang berwarna biru sudah tergenggam di tangannya.
“Hyaaa!” Belial terbang maju, menggenggam pedang
besarnya erat berselimut api hitam. Di samping itu Gabriel juga maju dengan
sepasang sayapnya, dan pedang itu memercikkan kilatan petir biru yang siap
membakar lawannya.
Lalu kedua pedang itu beradu, energi mereka
berbenturan, menciptakan gelombang angin yang menghempas hingga ratusan meter,
sampai mengibaskan jubah dan rambut pasukan malaikat dan iblis yang menonton.
Imbang. Belial menunjukkan seringainya lagi. Dia
manatap tajam pada mata Gabriel yang sedang ingin memenggal kepalanya. Mereka
berdua pun saling menarik mundur senjata, mengambil beberapa meter jarak.
Gabriel mengacungkan pedangnya ke gelapnya langit. Atas
kuasa Tuhan, petir besar pun menyambar pedangnya, lalu dipantulkan pada Belial,
menciptakan sebuah gelombang laser.
Belial dengan gila malah maju mendekat. Dia terbang
mendekati Gabriel. Pedang hitamnya terbakar api hitam, mengamuk menyelimutinya.
Saat petir besar berwarna biru itu mendekatinya, Belial dengan mudah
mengayunkan pedang api hitamnya itu, dan membenturkannya.
“Apa?!” Gabriel terkesima. Dia tak menyangka petir
besar miliknya dihancurkan hanya dengan sekali tebas, dan bola matanya menangkap
jelas bahwa Belial sedang dalam perjalanan menuju ke arahnya.
“Bodoh! Kau sekarang tahu berapa banyak dosa yang
telah manusia buat?”
Dan tabrakan kedua elemen terjadi, menimbulkan
gelombang energi kembali. Gabriel semakin mantap dengan kuda-kudanya, tak mau
menyerah atas dorongan pedang Belial.
Petir biru meloncat-loncat keluar dari pedang Gabriel,
dan api hitam besar terus berkobar dari pedang Belial. Mereka sama-sama saling
mendorong tenaga, tak mau kalah saing berlaga.
“Ergh!” Dan keduanya saling menarik senjata. Mereka
imbang kembali.
“Tak kusangka Belial mampu mengimbangi Gabriel!” batin
Rofocale, menatap jauh pertarungan mereka dari balkon apartemen. “Tapi
sebaiknya aku menarik mereka mundur.”
Chika dan Ratih siap dengan senjata mereka, begitu
pula dengan Sam yang menggenggam pedang lavanya. Setelah Belial mengambil jarak
mundur, mereka bertiga pun maju dengan sasaran utama adalah Gabriel.
Hal itu tidak bisa dibiarkan. Dengan sigap Uriel,
Raphael, dan Raguel pun segera menghalangi jalan ketiga iblis tersebut, dan
senjata mereka saling berbenturan.
“Menarik. Kita imbang,” ucap Gabriel menodongkan ujung
pedangnya pada Belial. “Tapi cukup sudah usaha kalian!”
Pedang biru itu kembali diacungkan Gabriel, dan petir
besar menyambar membelah hitamnya langit, menerangi kegelapan. Petir besar itu
terserap ke dalam pedang, memberinya kekuatan. Lalu hanya dengan satu ayunan,
petir besar itu pun dipantulkan lagi ke arah Belial.
Uriel, Raphael, dan Raguel segera terbang menghindar.
Karena satu jalur, dampaknya juga akan berpengaruh pada Sam, Chika, dan juga
Ratih. Petir besar itu merayap cepat menuju tiga iblis tersebut.
“Beraninya kau!” Belial mengambil langkah. Dia membuka
lebar telapak tangan kirinya, terarah pada petir besar Gabriel. Bibirnya
merapal cepat sebuah mantera, lalu dengan sihirnya sebuah lingkaran berpola
bintang enam tercipta, menghisap petir besar Gabriel masuk ke dalam lubang
hitam.
Tidak. Jurusnya belum cukup sampai di situ. Belial
menodongkan pedang hitam besarnya pada Gabriel, dan lingkaran sihir baru tercipta
tepat di samping lingkaran sihir pertama. Lingkaran sihir barunya itu
mengeluarkan petir Gabriel yang terhisap sebelumnya, memuntahkan petir besar
itu kepada pemilik aslinya.
“Yang benar saja!” geram Uriel. Malaikat berjubah ungu
ini pun membuka lebar telapak tangan kirinya, lalu terciptalah bola api kecil
yang kemudian membara, membesar, menciptakan sebuah pelindung yang menepis,
beradu dengan serangan petir Gabriel.
“Hebat juga, haha!” tawa Belial melihat jurusnya
berhasil dipatahkan.
Raphael, malaikat berjubah hijau itu siap dengan
tongkat emasnya, ditemani oleh Raguel dengan pedang gergajinya, mereka berdua
pun melesat terbang menghampiri para iblis.
Chika, iblis
berambut pendek ini mengacungkan pedangnya ke langit, seketika itu aura hitam
menyelimuti pedangnya. Bola-bola angin hitam pun tercipta, dan dengan satu
hentakan enam bola itu diluncurkan ke arah Raphael dan Raguel. “Makan malam
sudah siap!”
Melihat datangnya serangan, Raguel pun segera
mengayunkan pedangnya. Bara api muncul dari setiap mata gergajinya, membara
besar dan diayunkan, membakar bola-bola angin Chika dengan mudahnya.
Raphael terbang mendahului Raguel. Tanpa berhenti
sembari terbang mendekat, bola mustika di tongkat emasnya itu menyala hijau,
lalu memunculkan angin ribut menyerupai kepala naga berleher panjang yang
menjalar terbang mendekati para iblis. “Maju!”
Ratih mengampil langkah sigap. Sabit itu berputar di
atas jemari manisnya, mengeluarkan sebuah energi negatif berwarna hitam.
Seketika energi negatif itu berubah menjadi elemen petir hitam berkepala naga
berleher panjang yang juga terbang, hendak beradu dengan naga angin Raphael.
Dan energi mereka berdua berbenturan, meledak,
menciptakan desis angin yang menyapu debu-debu di medan pertempuran.
“Mundurlah!”
Wajah mereka terkejut. Tiba-tiba suara bisikan
terdengar. Di antara Gabriel dan Belial, mereka sama-sama mendengar seruan itu.
Sebuah perintah untuk mundur dari tuannya.
“Kenapa, Rofocale?” batin Belial, melakukan telepati
pada kucing hitam yang nan jauh sedang bersembunyi.
“Pertarungan ini hanya semakin menguak identitas kita.
Aku ingin kau menarik mundur pasukanku sekarang juga.”
“Kau berani sekali kau memerintahku!”
“Lakukan saja, Belial,” balasnya enteng. “Menyerang
tanpa strategi seperti ini hanya membuang waktu dan tenaga kita. Terlebih
mungkin kau bisa saja memancing Michael turun, dan semua rencana akan menjadi
kacau balau.”
Belial mengerang kesal, tapi ucapan Rofocale memang
benar adanya. “Baiklah kalau begitu.”
“Uriel, Raphael, Raguel, kita mundur,” pinta Gabriel,
dan ucapannya tadi membuat ketiganya bingung.
“Tapi kenapa? Kita sudah hampir unggul.”
“Tidak, Uriel,” balas Gabriel. “Pertarungan ini lebih
baik dihentikan. Metatron yang berbicara padaku langsung.”
“J-jadi itu perintah Metatron? Baiklah.” Raguel
mengangkat pedang gergajinya, mengarahkan pada empat iblis yang terbang di
depannya. “Kalian para tikus berhasil lolos hari ini!”
Provokasi Raguel menyulut emosi Sam, iblis kadal ini
tak mau membiarkan mangsa yang sudah di depan mata kabur begitu saja.
“Jangan, Sam!” cegah Belial. “Kita juga mundur.”
“Eh?” Pernyataan Belial tadi membuat bingung Sam,
Chika, dan juga Ratih.
“Rofocale menyuruh aku dan kalian untuk mundur juga.”
Sam menggeram, dia sedikit tidak setuju dengan
perintah Rofocale, tapi karena sudah melakukan perjanjian bahwa dia akan
menuruti kata-katanya, mau tak mau Sam harus mundur sesuai perintah.
Yang lebih dahulu pergi adalah para malaikat. Gabriel,
Uriel, Raphael, dan Raguel lekas terbang meninggalkan bumi dengan kecepatan cahaya,
menyisakan bulu-bulu putih yang rontok jatuh ke tanah.
Bersamaan dengan perginya para malaikat, pasukan iblis
yang sekarang sedang dipimpin oleh Belial juga ikut mundur, kembali ke kamar
apartemen Chika.